BERITA TERKINI

Pengamat AEPI : Pemerintah Masih Ngotot Sandar Pada Oligarkhi Batubara dan Fosil ?




JAKARTA, Khatulistiwa News.com.
Pengamat Ekonomi Politik, Salamuddin Daeng menilai Pemerintah bangkit dengan mega proyek 35 ribu megawatt, dimana proyek yang  bersandar pada pembangkit batubara yang sebagian besar adalah Independent Power Producers, notabene swasta. Sementara, Listrik yang dihasilkan swasta yang wajib dibeli oleh PLN melalui skema Take or Pay dan atau disingkat 'TOP'.

Akan tetapi, menurutnya menyampaikan sekiranya proyek ini gagal, berantakan. Bahkan, pemerintah pun tak berani melaporkan kemajuan proyek ini. Demikian sampai pengamat Ekonomi Politik, yang juga merupakan Direktur AEPI itu menyamaikan pernyataan singkatnya. Jakarta, Kamis (11/6)

Lalu, yang menjadi persoalan ialah mengapa gagal, apa masalahnya, siapa yang menggagalkan dan seterusnya."Semua diam. Bahkan PLN sebagai pihak yang terkena beban merasa bahwa proyek ini membebani mereka," ujarnya curiga penuh tanda tanya besar.

Padahal, kemuka Daeng menjelaskan bahwa sebenarnya sumber kegagalan proyek ini tidak lain dan tidak bukan adalah tidak ada bank yang mau membiayainya.

Pasalnya, para investor tahu bahwa proyek ini sebetulnya melawan arah perubahan dunia."Komitmen dunia untuk mengurangi dan menekan emisi karbon adalah sebab keengganan sektor keuangan dan perbankan," ujar Daeng menerangkan.

"Kecuali bank bank di dalam negeri karena berada dibawah tekanan kekuasaan mereka mau dipaksa membiayai proyek proyek yang tidak properly. Itu lah yang mengakibatkan NPL sektor perbankkan, salah satunya yang paling besar adalah NPL sektor tambang dan sektor energi," bebernya.

Bahwa, kemuka Daeng mengingatkan,"Kalau semenjak kesepakatan Paris, tidak ada lagi lembaga keuangan dan bank yang mau terkena pajak karbon tinggi karena membiayai tambang, energi fosil, dan pembangkit fosil," cetusnya ringan.

"Pajak yang akan menggerus semua keuntungan mereka. Mereka mengincar proyek proyek energi terbaharukan energi ramah lingkungan dan lain sebagainya sebagai sasaran investasi," urainya mencermati.

Sebelumnya, sambung Daeng mengatakan bahwa Bank vs. Perjanjian Paris pada bulan Desember 2017, demikian wacana utama saat ini, yang mana Per Februari 2020 sebanyak 22 bank telah menghentikan pembiayaan langsung ke proyek-proyek tambang batubara termal baru di seluruh dunia; sebanyak 28 bank telah menghentikan pembiayaan langsung ke proyek-proyek pembangkit batubara baru di seluruh dunia. Lihat banktrack.org

"Namun elite dibelakang pemerintahan Jokowi sanggup menutupi mata dari kenyataan ini. Atau jangan jangan mereka menutup mata presiden akan perubahan yang tengah berlangsung," timpal Daeng.

"Hal ini Untuk apa ? Padahal Indonesia telah menandatangani dan meratifikasi komitmen Paris. Presiden Indonesia berpotensi Melamggar UU jika terus melanjutkan proyek fosil. Sementara ada kewajiban untuk mewujudkan 23 % energi terbaharukan dalam komposisi penggunaan energi Indonesia," ujarnya.

Lagipula, menurut Daeng apabila kalau terus menyandarkan diri pada fosil dan batubara, maka kenyataan yahg dihadapi saat ini, dimana penerimaan negara dari dua sektor andalan ini amblas.

"Kalau terus ngotot maka akan keuangan negara makin amblas. Presiden jangan diperdaya lagi. Saatnya berubah !," pungkas Daeng.(Nico)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.