BERITA TERKINI

" Jajuluk" Tradisi Adat Perkawinan Kumoring



Oleh :

H. Albar S Subari, SH. SU. ( Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan / Peneliti Hukum Adat Indonesia ) &


MARSAL, ( Penghulu  Kecamatan Muara Enim / Pemerhati Hukum Adat )

Prof. Ban Den Berg seorang ahli huknum adat di Hindia Belanda didalam bukunya Pengantar Hukum Adat, membagi tiga kelompok masyarakat adat di Indonesia (Baca Hindia Belanda) yaitu kedalam kelompok masyarakat yang menarik garis keturunan melalui ibu (matrilineal) ada yang melalui garis keturunan bapak (patrilineal) dan yang menarik garis keturunan ibu dan bapak serempak (bilateral).
Pembagian ini secara teoritis masih dirasakan di kalangan akademisi.

Namun kenyataan nya pembagian itu hanyalah suatu strategi pemerintah Hindia Belanda guna politik adu domba mereka.
Hal tersebut pernah disampaikan oleh Prof. M. M Djojodiguno, SH melalui penyampaian lisan Prof. Iman Sudiyat, SH sewaktu penulisan bimbingan thesis dengan beliau. Hal yang sama pernah disimpulkan oleh Prof. Dr. Hazairin, SH bahwa masyarakat Indonesia tidak lagi menganut pembagian itu Secara mutlak. Karena fakta baik pengaruh intern maupun ektern masyarakat indonesia sudah menuju ke bilateral.

Sebagai salah simbul ciri masyarakat patrilineal di Sumatera Selatan khususnya pada masyarakat adat kumoring di dalam acara adat istiadat adalah pemberian jajuluk/gelar atau golar oleh para sesepuh kepada pengantin. Jajuluk kalau kita buka kamus bahasa kumoring ditulis dengan jajuluq (gelar untuk acara perkawinan adat).

Namun jangan diartikan jajuluq/jajuluk simbul stratifikasi sosial. Namun dapat dimaknai nama " timangan".Dalam bahasa komuring aslinya disebut JULUK.

Adat pemberian juluk adalah warisan turun temurun. Perlu diingat juluk itu bukan sembarang sebut tapi juluk berasal dari sejarah nenek moyang mereka jadi sifatnya historis.

Seperti sebutan awal Juluk antara lain adalah berawal Sri, Ratu, Tan, Minak dan lain sebagainya melihat sejarah kehidupan leluhur mereka.

Fungsi jajuluk adalah panggilan di dalam keluarga, kerabat dekat mereka, dan tidak boleh memanggil dengan nama aslinya. Misal penulis bernama Albar saat nikah diberi jajuluk Adi Pati Anom, sehingga keluarga dekat dan masyarakat adat terutama dlm pergaulan sehati hari mereka memanggil saya dengan panggilan jajuluk yaitu misal kiyai Adi Pati sedang untuk isteri dipanggil Nai Adi Pati (Minanga balaq atau tongah).

Akibat perkembangan zaman dan tehnologi untuk beberapa perkawinan adat terutama apabila terjadi perkawinan yang beda adat istiadat maka ini sudah banyak ditinggalkan orang.

Dan pada acara resepsi pernikahan dewasa ini masih dapat kita ikuti acara pemberian jajuluk disisipkan pada acara penerimaan tamu (resepsi), yang biasanya disampaikan minimal tiga orang petugas yaitu masing masing untuk melantunkan pengantar jajuluk dalam bahasa aslinya (kumoring) yang satu menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (mengingat yang  hadir beragam latar belakang undangan) serta satu lagi bertugas memukul tabuhan misalnya sejenis gong, dengan pukulan yang berbeda untuk momen momen penyampaian jajuluk.

Mengingat tradisi ini kalau tidak dilestarikan akan punah maka dengan harapan kepada dinas kebudayaan di masing masing kabupaten dan kota yang bekerja sama dengan pemangku adat setempat dapat di bina dan dilestarikan sebagai budaya lokal. Tentu kalau dikaji secara philosopi hal ini banyak membawa nilai yang sangat tinggi dan mulia. Terutama dalam menjaga ikatan keluarga dan masyarakat. Yang dalam bahasa agamanya mempererat silaturrahmi.(Redaksi)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.