BERITA TERKINI

Perkembangan " MARGA " Di Sumatera Selatan.


Oleh : H. Albar S Subari, ( Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan / Peneliti Hukum Adat Indonesia )


 MARSAL, ( Penghulu Kecamatan Muara Enim / Pemerhati Hukum Adat )

MARGA TAHAP AWAL
Pada tahap awal dari perkembangan marga yang kita kenal sekarang, jelas pada mulanya merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang bersendikan asas turunan darah ( Nasab menurut Islam ) ( geneologische rechtgemeenschap).

Dalam masyarakat hukum dengan asas seperti ini maka kekuasaan dengan sendirinya dipegang oleh JURAI TUA yang kedudukan nya sebagai pemimpin  (primus inter pares). Karena diantara mereka terjalin hubungan sedarah dan merupakan kelompok homogen, maka tiada perbedaan diantara mereka. Kewajiban pemimpin tiada lebih dari memelihara dan mempertahankan hukum yang mereka sepakati dan dijadikan adat bagi sesama mereka. Oleh karena itu pemimpin mereka disebut sebagai pengandang, yang berarti pemelihara atau penjaga batas batas wilayah dan menjaga batas batas antara yang boleh dan yang dilarang. Pelanggaran adat, sebagai mana juga berlaku dalam lingkungan Masyarakat lainnya.

Pada tahap kesatuan masyarakat hukum adat berasaskan turunan sedarah ( Nasab ) ini, sistem pemerintahan dari ketiga rumpun suku bangsa diuluan Sumatera Selatan berbeda beda nama. ( suku bangsa di uluan berasal dari masyarakat sekala berak yang menurunkan masyarakat komering, ranau dan Lampung peminggir. Sementara Yang berasal dari gunung dempo cikal bakal masyarakat pasemah,  Mayarakat Semende , Serawai, Lematang, Enim, Lingsing, Musi Tengah, Ogan, kisam.
Di daerah batang hari komering kelompok seturunan itu Menempati daerah yang disebut "MORGA". Dikepalai oleh seorang sepuh yang berfungsi sebagai RATU MORGA dengan gelar KAI-PATI.

Dalam jabatan sistem kekerabatan didaerah komering disebut "barop".Dalam jabatan mewakili Ratu Morga atau Kai-Pati, disebut PEMBAROP dengan gelar Penyimbang Ratu. Apabila anak tua itu belum dewasa maka jabatan Pembarop diberikan dipundak adik atau Saudara Ratu dengan gelar Mangku Marga. Di daerah komering orang yang sudah dewasa dan berumah tangga disebut Parawatin.

Apa yang telah terurai diatas dapat disimpul bahwa bentuk dan sistem pemerintahan dari rumpun suku diuluan Sumatera Selatan awal mulanya merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang berasas geneologis. (selanjutnya menjadi asas teritorial dampak masuknya pengaruh luar).

Menurut kami penulis makna kata asli di dalam peraturan perundang undangan yang pernah berlaku maupun yang sedang menjadi hukum positif adalah menunjuk kesatuan masyarakat hukum adat yang berada di uluan Sumatera Selatan adalah masyarakat hukum Adat yang berasas geneologis. Seperti Nagari di masyarakat hukum adat Minangkabau.

Marga masa kesultanan
Setelah kita membahas marga tahap awal, yaitu marga dalam makna masyarakat hukum adat yang berasas geneologis. Maka kita akan mengupas secara singkat hubungannya dengan kesultanan Palembang.
Wilayah basis daerah kesultanan Palembang berada sekitar kota Palembang ditambah dengan daerah daerah langsung dibawah pemerintahan Sultan yaitu daerah BELIDA dan PEGAGAN (Ogan Ilir). Sistem PERDIKAN yang merupakan daerah bebas pajak di Jawa, dibawa dan diterapkan

di Palembang dengan nama " daerah sikap "
Usaha untuk menundukkan daerah uluan oleh penguasa Palembang telah dimulai semenjak Adipati Karang Widara yang berkuasa ditahun 1485..Dengan menelusuri kepedalaman dengan melalui empat muara sungai yang berada di sungai Musi. Dan berhasil menundukkan kurang lebih seratus dusun. Dan sekaligus memberikan gelar gelar kehormatan yaitu Pangeran. Gelar ini tampak nya sebagai upaya menanamkan pengaruh dengan jalan Angkenan Saudara  karena pangeran adalah gelar keluarga Kesultanan.

Oleh karena campur tangan Raja terhadap sistem pemerintahan marga di kesatuan masyarakat hukum adat terbatas baik tenaga, biaya dan lain lain, maka primus interpares saat itu menjadi Raja Kecil yang sistem otonomi penuh. Guna memperbesar kas Pemerintah Pusat. Dengan cara berbeda beda satu dengan daerah yang lain Pertama adalah daerah sikap yang semula memang menjadi basis wilayah raja Palembang (.Daerah Belida, Pegagan dan Banyuasin. Wilayah ini tidak mempunyai pemerintah sendiri, seperti daerah uluan lainnya  tetapi diperintahkan langsung oleh pegawai yang ditunjuk oleh Raja Palembang.

Dengan beberapa kepala dusun dilakukan perundingan antara lain terjadi kesepakatan dimana daerah daerah tersebut bebas memperdagangkan hasil bumi ke Palembang, Dengan imbalan wajib bayar pajak, dan sewaktu waktu mereka diperlukan diminta pula untuk menyediakan tenaga kerja. Daerah daerah ini dinamakan daerah " kepungutan" yang meluputi daerah Musi Ilir, Lematang Ilir, Ogan Ulu, Komering Ilir dan Komering Ulu. Para kepala marga yang bergelar Depati yang lancar memberikan bantuan akan diakui (Di angken) bersaudara oleh Raja sehingga ia diberi gelar yaitu Pangeran. Taktik seperti ini dimulai kira kira tahun 1485 dan dianggap berhasil..

Kini di daerah uluan (kepungutan) yang  dahulu mengenal pemerintahan lokal, karena persahabatan lambat laun mengalami perubahan sifat yang tidak dapat dielakkan.. Kemerdekaan yang diwariskan dari zaman ke zaman sejak dahulu sudah mulai berkurang. Untuk menjamin kelancaran program kesultanan ditempat kan seorang Jenang yang mengkoordinir kesatuan masyarakat hukum adat dalam satu aliran sungai. Dalam keadaan demikian kekuasaan Raja makin lama makin intensip dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Ratu Sunuhun ( 1630-1642 M)

Pada masa inilah segalanya dilembagakan sehingga dapat mengikat dan mendorong orientasi para kepala persekutuan masyarakat adat menjadi satu kesatuan dengan Ratu Sinuhun adalah penguasa yang dianggap sebagai orang yang membuat peraturan atau melembagakan aturan aturan adat pertama di uluan yang  kelak dikemudian hari tahun 1854 dijadikan Kitab Undang Undang Simbur Cahaya.
Walaupun kini keseluruhan daerah uluan dibawah kekuasaan Sultan namun adat istiadat dan tradisi masing masing tetap berjalan. Inilah yang menjadi kata awal bahwa tradisi tradisi tersebut tetap terpelihara. Yang akan menjadi objek pemetaan adat istiadat masyarakat hukum adatnya yang asli. "

MARGA ZAMAN BELANDA

Setelah kita membahas phase MARGA mulai bermakna sebagai kesatuan masyarakat hukum Adat  (sistim Genoelogis)  yang dalam bahasa Kumoring disebut MORGA yang dipimpin KAI-PATI, dilanjutkan masa kesultanan Palembang, sekarang kita memasuki phase terakhir dari sisi sejarah nya.

Pada tahun 1642 VOC mendirikan lojinya di sungai Aur, yaitu daerah seberang Ulu kota Palembang sekarang . Perselisihan antara VOC dengan pihak kesultanan sering terjadi dan mencapai puncak nya dibawah pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II ditahun 1819 dan 1821 M.

Dibawah Jendral V de Kock  Belanda mengadakan expedisi militer secara besar besaran ke Palembang. Pada tanggal 6Juli 1821 Sultan Mahmud Badaruddin II dapat ditahan Belanda, yang untuk seterusnya diasingkan ke Ternate pada bulan Maret 1822 M. Sultan terakhir adalah Sultan A. Najamuddin III yang diturunkan pada tahun 1823, dan diganti oleh Pangeran KRAMA JAYA sebagai PEPATIH dan sebagai pegawai Residen Palembang sampai tahun 1855.Sesudah itu berakhir lah pemerintahan Kesultanan Palembang.

Semenjak VOC diambil alih oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1799. Tampak dualisme kekuasaan ( kesultanan dan Batavia). Akhir dari segalanya lahirlah Plakaat yang dikeluarkan oleh Muntinghe pada tanggal 1 September 1818 yang berbunyi. Hak dari Dipati dipati dan Proatin didaerah Hulu sungai tetap berlaku baik dalam soal soal pidana maupun perdata untuk masing masing menetap kan hukum dab melaksanakan nya dengan kesempatan untuk naik banding ke ibukota dalam semua perkara, hal mana dari dahulu merupakan kebiasaan.

.Sistem pemerintahan Belanda banyak mengadopsi sistem yang diterapkan di Jawa dakam menghadapi Bupati. Karena di Sumsel tidak dikenal Bupati, namun fungsinya berada ditangan DEPATI kepala Marga.
Plakaat Muntinge tahun 1818 memberi gambaran kepada kita adalah suatu kebijakan yang memberikan rakyat pribumi di Morga morga untuk tetap tinggal dibawah dan kekuasaan langsung dari kepala kepala nya sendiri (KAI PATI bhs kumoring). Pada zaman kesultanan ada namanya Jenang okeg Belanda dihapus diganti dengan gelar Controleur (pengawas) baru dikenal tahun 1827 (stbl 109).

Pada tahun 1854 kolonel De Brauw atas perintah Residen Van den Bosch mengadakan kompilasi yang memuat aturan aturan di daerah uluan.
Tata tertib yang semula merupakan aturan adat istiadat di masyarakat hukum adat, kemudian berkembang menjadi aturan aturan yang nengakui kekuasaan sultan serta kehidupan sosial mereka kasih nama SIMBUR CAHAYA dan SINDANG MERDIKE, kemudian berlanjut pula menjadi aturan adat yang dibukukan serta dicetak pertama tahun 1865 dengan aksara Arab Melayu. Simbur Cahaya hasil kompilasi itu terdiri dari 5 bab dengan 178 pasal.(Redaksi)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.