BERITA TERKINI

JANGAN SAMPAI TERSANDUNG KEMBALI

 

Oleh : 


H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Pembina Adat Sumsel ). 

Dan 


Marsal ( Penghulu KUA Kecamatan Muara Enim )



Muara Enim,Khatulistiwa News- (16/01) Agar terhindar dari kasus hukum yang sama atau setidaknya punya kemiripan maka Pejabat Tata Usaha Negara sebelum melakukan pembuatan suatu keputusan TUN, perlu memahami dan mengetahui apakah hal serupa sudah ada keputusan pengadilan tata usaha negara (PTUN),guna menghindari tersandung untuk yang kedua.

Fachruddin,2004:333, mengatakan bahwa Pemahaman dari Pejabat Tata Usaha Negara mengenai arti penting putusan Peradilan Tata Usaha Negara masih belum memadai.

Pejabat Tata Usaha Negara belum menjadi norma Putusan Tata Usaha Negara yang bernilai Yurisprudensi menjadi acuan dalam bertindak dan mengambil kebijakan atau dijadikan sebagai kebijakan sendiri.

Belum tumbuh nya sikap self respect atau self obidence dari pejabat TUN, tampak nya menjadi kendala operasional dalam penegakan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Di dalam 13 asas-asas pemerintah yang bersih dan berwibawa, pada urutan pertama dinyatakan jenis AAUPB , itu berasaskan pada Kepastian Hukum.

Yaitu dalam yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.

Salah satu ciri khas Asas Kepastian Hukum dalam prinsip AAUPB adalah Suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang telah diterbitkan dan memberikan hak kepada subjek hukum perdata,maka itu tidak boleh DICABUT kembali, walaupun terdapat kekeliruan dalam keputusan itu (W.Riawan,2009).

Apalagi misalnya yang bersangkutan (penggugat) masih mempunyai dasar yang kuat yang menentukan masih menduduki jabatan/tugas masih dalam periode waktu yang ditentukan (masih dalam tugas), apabila sampai menimbulkan kerugian baik material maupun spiritual.

Contoh kasus yang dijadikan pertimbangan putusan Peradilan Tata Usaha Negara adalah kasus pemberhentian Direktur Operasional PT.SEG, sehingga PTUN (PTUN tingkat pertama sampai Kasasi,isi putusan membatalkan SK pelantikan direksi baru dan tetap memposisikan penggugat sebagai Direktur Operasional.

Salah satu pertimbangan hukum nya adalah penggugat saat itu masih menjadi Direktur Operasional yang masa jabatannya masih berlangsung dan tidak pernah memberhentikan atau memanggil penggugat (Sripo,11 Januari 22 hal 11).

Karena kasus ini sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga sudah bersifat publik dan sudah terpublikasi pula , maka tidak salah nya kita dalami kenapa sampai terjadi.

Menurut penulis sebagai pengamat hukum memang ada hal hal yang telah dilanggar oleh tergugat yaitu asas asas dari pemerintah yang bersih dan berwibawa sebagai mana kita sudah uraikan di atas maupun tulisan tulisan yang berkaitan.

Terutama di dalam asas kepastian hukum.

Seseorang yang memiliki tugas dalam waktu ditetapkan (misalkan 5 tahun tercantum dalam SK), maka yang bersangkutan tidak boleh dihentikan ditengah jalan apalagi menimbulkan akibat hukum yang lain, walaupun menurut tergugat ada masalah yang tidak sesuai).

Timbul pertanyaan siapa yang berhak memberhentikan yang bersangkutan (penggugat), tentu jawabannya baik secara teori ilmu hukum dan dalamnya Yurisprudensi adalah hakim kalau sampai menjadi sengketa.

Tetapi kalau tetap dipaksakan agar melanggar asas asas yang lain misalnya terjadi kesewenangan wenang dari Pejabat TUN atau sudah menyalahi Kewenangan yang telah di berikan oleh negara kepada Pejabat Tata Usaha Negara itu.

Mudah mudahan kasus di atas menjadi pelajaran buat kita semua, yang bisa dijadikan pedoman seandainya hak hak perdata sebagai subjek hukum yang hidup di negara kesatuan republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila akan terjamin sesuai dengan Rechtsidee dalam konstitusi kita yaitu Undang-undang dasar negara republik Indonesia 1945.(Redaksi)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.