Oleh :
H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Pembina Adat Sumsel ).
Dan
Marsal ( Pemerhati Hukum Adat Indonesia )
Muara Enim, Khatulistiwa News (22/03) Sebelum kita memasuki fokus yang akan dibahas, terlebih dahulu kita pahami apa yang dikandung di dalam judul artikel di atas.
Judul di atas terdiri dari tiga kata yaitu kata Fenomena, kata Perkawinan dan kata beda agama.
Fenomena dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti hal hal yang dapat disaksikan dengan pancaindera dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah.
Perkawinan menurut UU no 1 tahun 1975 tentang Perkawinan adalah Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang mengakibatkan hak dan kewajiban pada masing masing pihak.
Kata beda agama dimaknai sebagai suatu peristiwa hukum dalam hal ini kawin yang dilakukan oleh subjek hukum yang menganut agama atau keyakinan yang berbeda beda.
Pada tulisan ini kita tidak akan menganalisis apakah perkawinan beda agama itu sah atau tidak.
Sebab secara normatif hal tersebut sudah diatur secara jelas di dalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974.
Bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
Memang di dalam kalimat rumusan pasal itu masih memungkinkan orang menafsirkan hal hal yang menurut benar.
Bagi umat Muslim tentu hal yang tidak dapat ditawar lagi bahwa perkawinan tersebut haruslah dilakukan dan dilaksanakan menurut syariat Islam, bahwa kawin beda agama tidak dibolehkan alias tidak sah, dan menurut UU perkawinan beda agama di Indonesia juga belum di atur.
Cuma kelihatan fenomena akhir akhir ini ada penafsiran bahwa perkawinan itu bahasa hukumnya satu peristiwa hukum dalam hal ini kawin dilakukan dengan cara agama atau kepercayaan masing masing dalam waktu yang berbeda seperti, misalnya pagi perkawinan akad nikah cara agama mempelai wanita, siang atau dalam waktu lain lainnya perkawinan menurut kepercayaan atau agama pria.
Sebenarnya di sini ada titik fokus penafsiran yang dibuat oleh orang orang menyimpangi atau bahasa hukum nya penyelundupan hukum.
Selain itu juga ada fenomena menarik, bahwa dua peristiwa perkawinan beda agama yang kita baca di media massa di awal bulan Maret 2022 ini, bahwa mempelai wanitanya adalah muslimah dengan simbol mereka menggunakan jilbab atau hijab menurut kostum muslimah umumnya.
Ada yang menarik kalau boleh kita analisis sebenarnya fenomena apa yang sedang terjadi.
Kalau kita mengutip pandangan imam masjid di Amerika yang dimuat di media on line mengatakan patut diduga memang ada kesengajaan setidak tidaknya menggambarkan bahwa wanita berjilbab itu belum tentu konsekwen melaksanakan syariat agama Islam secara Kaffa.Nauzubillah kita minta ampun pada Allah SWT.
Di sinilah fenomena sosial yang sedang berkembang mudah mudahan hasil analisis imam besar masjid di Amerika tersebut masih bersifat perkasus.
Kalau memang sudah menjadi model hal hal seperti ini sebaiknya dihindari jangan sampai merugikan pihak pihak yang tidak mempunyai kaitan dengan yang bersangkutan.
Dan di sinilah juga sebenarnya apa yang pernah di sampai oleh Prof Dr. Hazairin SH guru besar hukum adat dan hukum Islam di Universitas Indonesia saat mengomentari lahirnya Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan , beliau mengatakan undang undang ini undang undang yang unik.
Penulis H Albar Sentosa Subari teringat saat ujian thesisnya dengan judul Perkawinan dan Perceraian dan Persoalan nya di Desa Minanga Ogan Komering Ulu.
Karena waktu itu niatnya satu agar cepat selesai maka jawaban berbeda saat ditanya penguji yang seiman dan saat ditanya oleh penguji yang beda agama. Pada saat mereka menanyakan pendapat penulis soal makna Pasal 2 ayat 1 Undang Undang no 1 tahun 1974.
Dan aneh nya kedua penguji tersebut mengetahui strategi jawaban penulis saat itu.
Karena sifatnya keilmuan maka tidak menjadi kendala yang penting argumentasi yang diperlukan mereka.
Itulah fenomena yang terjadi.
Sama seperti kasus perkawinan beda agama sebagaimana kita uraikan di atas tadi
Terakhir karena perkawinan ini bukan saja urusan dunia saja tapi urusan akhirat kelak yang kelak dipertanggungjawabkan di akhirat maka hendaklah kita konsekwen menjalankan ajaran agama masing masing secara kaffah.
Sebab tidak mungkin hukum Allah dapat disimpangi oleh hukum buatan manusia dengan mencari dalil dalil misalnya dalil hak azasi manusia dan lain lain.(Redaksi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar