BERITA TERKINI

Mudik Cermin Budaya Resepsi Agama.

 

Oleh : 


H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Pembina Adat Sumsel ). 

Dan 


Marsal ( Pemerhati Sosial dan Hukum Adat Indonesia )


Muara Enim, Khatulistiwa news (08/05) Kata mudik salah satu istilah yang digunakan dari satu adat istiadat (budaya), yang dilakukan menjelang hari raya idul Fitri umumnya.

Di samping istilah" mudik", banyak istilah istilah lain yang mempunyai makna yang sama antara lain yaitu istilah pulang kampung, balik ke dusun, mulang tiuh (bahasa daerah kumoring) dan lain lain.

Mudik merupakan adat istiadat yang mendapat resepsi dari agama masyarakat Indonesia.

Sebab hal itu terjadi di saat perayaan idul Fitri yang sebelumnya dilaksanakan puasa Ramadhan.

Salah satunya makna nya adalah guna menyambung silaturahmi anggota keluarga dan masyarakat kampung di mana mereka berasal.

Tradisi mudik sudah mendarah daging dalam masyarakat hukum adat walaupun secara tekhnologi sebenarnya untuk menyampaikan atau berjumpa tidak cukup dilakukan dengan menggunakan cara cara menggunakan alat tekhnologi seperti handphone dan lain, karena perjumpaan secara fisik tidak dapat digantikan.

Resepsi agama terhadap hukum adat secara teoritis dikembangkan oleh sarjana Belanda antara lain oleh Van Keyzer dan Prof.van den Berg yang terkenal dengan teori mereka disebut sebagai teori Receptio in complexu, bahwa adat merupakan cerminan atau pengaruh agama dari masyarakat hukum adat itu sendiri.

Pada tahun 1975 di pertegas kembali di dalam hasil simposium Nasional tentang Hukum Adat di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, di mana dirumuskan bahwa Hukum Adat adalah hukum asli Indonesia yang tidak mendapat pengaruh hukum perundangan dan mendapat pengaruh agama.

Jelas di sini bahwa tradisi mudik lebaran tersebut tidak terlepas dari ajaran agama antara lain untuk menyambung silaturahmi dengan anggota keluarga serta masyarakat, karena lama tidak berjumpa.

Sekarang pada acara silaturahmi mudik lebaran, ada satu tradisi yang sebenarnya perlu diperhatikan apakah tradisi itu berdampak positif atau negatif.

Yaitu memberikan sejumlah uang oleh orang orang tertentu kepada sanak saudara terutama yang masih anak anak sejumlah uang sesuai kemampuan mereka.

Kalau disampaikan kepada mereka (anak anak) tadi sebagai hadiah anak anak telah selesai melaksanakan puasa Ramadhan sebulan penuh kemudian berdampak positif, tapi kalau pemberian tersebut yang biasanya mereka namakan pemberian THR  perlu dianalisis lagi, apakah tidak akan merusak jiwa mereka yaitu mendidik anak menjadi " pengemis" ,


 *_Kaadal faqru an yakuuna kufran_* (kemiskinan itu mendekatkan pada kekufuran)

Berdasarka hadis Nabi yang di Riwayatkan Dari Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu: Bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

Tangan yang diatas lebih baik dari pada tangan yang di bawah.

Tangan yang diatas adalah yang memberi (mengeluarkan infaq) sedangkan tangan yang di bawah adalah yang meminta.

Maknanya:


Anjuran untuk memberi dan tidak meminta-minta.


Motivasi agar kita bekerja dan berusaha mencari nafkah, agar bisa menjadi tangan yang di atas dan memberi orang lain yang membutuhkan.


Untuk itu kita jangan malas mencari nafkah di muka bumi Allah SWT ini untuk hidup di dunia dan membantu sesama, bahkan dalam nominal pun kita bisa membantu orang yang membutuhkan.(Redaksi) 

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.