P
Oleh :
H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Pembina Adat Sumsel ).
Dan
Marsal ( Pemerhati Sosial dan Hukum Adat Indonesia )
Muara Enim,Khatulistiwa news (20/06) Masalah Piagam Jakarta, tidak terlepas dari awal pergerakan rakyat Indonesia sejak kebangkitan Nasional mengikuti beberapa aliran (golongan).
Masa Hindia Belanda sampai akhir penjajahan Jepang, pandangan tokoh Pergerakan mengenai hubungan antara Negara dan Agama masih terpecah dua. Golongan Kebangsaan berpandangan bahwa Negara hendak lah netral terhadap agama, dan golongan Islam menyatakan bahwa urusan negara tidak terlepas dari urusan agama.
Pada zaman Jepang kedua golongan ini masih belum bersatu, golongan Kebangsaan tergabung dalam Jawa Hookokai dan golongan Islam tergabung dalam Masyumi
Golongan Kebangsaan masih terbagi dua lagi yaitu golongan yang sepenuhnya memisahkan urusan negara dan agama dan golongan yang tidak sepenuhnya memisahkan urusan negara dan agama.
Demikian juga di dalam keanggotaan BPUPK, menjadi dua golongan yaitu golongan nasionalis dan golongan Islam atau golongan nasionalis sekuler dan golongan Islam.
Kegiatan untuk menyusun" Mukadimah", yang kemudian dinamakan" Piagam Jakarta" ( istilah M.Yamin), sebenarnya menyimpang dari prosedur yang telah ditetapkan oleh penguasa Jepang.
Ir. Sukarno menyadari benar bahwa itu melanggar formalitet. Tetapi Anggota Panitia Kecil berkata: apakah artinya formalitetdi zaman yang sedang belum menentu ini, karena sekutu sudah melakukan serangkaian kegiatan untuk menguasai kembali menjajah kita.
Muhammad Yamin dan dalam Risalah mengatakan bahwa karena kondisi maka formalitet harus diganti dengan formalitet.
Akhirnya pada sidang yang membahas tentang Rancangan Pembukaan UUD dibentuk lah Panitia Kecil yang baru terdiri dari 9 orang.
Dengan anggota terdiri dari ;
Ir. Sukarno, Drs.M.Hatta, Mr.M.Yamin, Mr. Maramis, Mr. Subardjo (golongan nasionalis), sedangkan golongan Islam diwakili oleh KH.Wachid Hasyim, KH.Kahar Muzakir, H.Agud Salim,R. Abikusno Tjokrosuyoso.
Panitia sembilan berhasil menyepakati rumusan yang akan menjadi Pembukaan UUD.
Piagam Jakarta disebut oleh M.Yamin, Sukarno menyebut nya dengan Mukadimah dan Sukiman Wirjosandjojo menamakan Gentleman Agreement.
Rancangan Pembukaan UUD ditandatangani oleh panitia sembilan pada tanggal 22 Juni 1945.
Naskah yang disepakati pada tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan sebagai Pembukaan UUD dibagi ke dalam tiga bagian yaitu. Bagian pertama merupakan pernyataan landasan dari politik negara dan apa yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Pernyataan ini disadari oleh pengalaman bangsa Indonesia yang mengalami kolonialisme selama ratusan tahun. Penderitaan sebagai akibatnya mematangkan keinginan untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah hak dari seluruh bangsa bangsa yang ada di dunia, karena penjajahan tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan.
Bagian kedua menjelaskan hasil dari tuntutan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia mencapai pintu gerbang kemerdekaan untuk mewujudkan cita-cita seluruh bangsa, yaitu masyarakat yang merdeka, bersatu berdaulat adil dan makmur.
Bagian ketiga merupakan pernyataan tentang pembentukan negara dan tugas-tugas nya, yang berupa tugas ke dalam yaitu melindungi bangsa dan tanah air Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum dan keluar melaksanakan ketertiban dunia. Semua tugas itu harus dilaksanakan dengan berdasarkan Pancasila. Di dalam bagian ketiga dari pembukaan UUD terdapat rumusan Pancasila sebagai dasar negara.
Sebagai kajian sejarah tentu timbul pertanyaan bagi generasi membaca naskah Piagam Jakarta yang ditandatangani oleh panitia sembilan pada tanggal 22 Juni 1945 dengan yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, sebagai bagian dari Pembukaan UUD 1945.
Karena di dalam sila Pancasila yang pertama dalam naskah Piagam Jakarta ada tujuh anak kalimat yang tidak tertulis dalam Rumusan Pancasila yang disahkan oleh PPKI.
Tentu sejarah bisa kita uraikan secara singkat.
RM.AB . Kusuma, dalam bukunya berjudul Lahirnya Undang Undang Dasar 1945 ( memuat salinan dokumen otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha Persiapan Kemerdekaan, dengan kata pengantar salah satu adalah Prof.Dr.Jimly Asshiddiqie,SH ketua Mahkamah Konstitusi/ Guru Besar Hukum Tata Negara FH UI) yang diterbitkan oleh Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, halaman 61 mengatakan bahwa Bung Hatta adalah orang yang paling bertanggung jawab terhapusnya" tujuh kata" dari piagam Jakarta.
Beliau konsisten mengikuti ajaran yang dianutnya bahwa beliau tokoh utama yang mengikuti ajaran pemisahan urusan agama dan negara.( Yamin, 1959:115, dan Risalah 1959:38)
Memang sebelumnya sudah menjadi perdebatan yang panjang antara sesama anggota panitia sembilan.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, tokoh tokoh Islam yang ikut menyusun piagam Jakarta terdiri dari KH.Wachid Hasjim, KH.Kahar Muzakir, H.Agus Salim dan R.Abikusno Tjokrosuyoso tidak diajak dalam pertemuan itu.
Dalam sidang konstituante pada waktu golongan Islam mengusulkan agar tujuh kata itu dimasukkan kembali ke Pembukaan UUD 1945, maka golongan nasionalis menyatakan bahwa usul itu melanggar perjanjian luhur, yang dibuat pada tanggal 18 Agustus 1945.
KH.Kahar menjawab tuduhan tersebut dengan menyatakan bahwa beliau ikut menyusun perjanjian luhur yang tercantum di dalam Piagam Jakarta dan dalam sidang BPUPK dijadikan Pembukaan UUD 1945. Menurut beliau yang melanggar perjanjian adalah golongan nasionalis.
Bung Hatta waktu menjelang pengesahan oleh PPKI khusus didalam pembukaan UUD 1945, hanya berunding dengan Ki. Bagus Hadikusumo yang bukan penyusunan Piagam Jakarta dengan janji akan dibahas lagi di sidang MPR yang akan dibentuk.
Pertimbangan beliau hanya didasarkan pada pendapat seorang Jepang yang mengaku utusan dari Indonesia Timur. Beliau tidak menyatakan telah berunding dengan untusan Indonesia Timur yang resmi yakni Dr. G.Ratulangie,Mr.J.Latuharhary, Andi Pangeran Petta Rani, Andi Sultan Daeng Radja dan Mr Ketut Pudja. Utusan Indonesia timur didampingi oleh Mr. Zainal Abidin dan tiga orang Jepang yakni Kishi, Foto, Nakaim.
Dalam sidang Konstituante Mr. Kasman mengemukakan bahwa sekarang waktunya golongan Islam menuntut janji untuk memasukkan kembali " tujuh kata" ke Pembukaan karena menurut perjanjian, hilangnya" tujuh kata", itu hanya untuk sementara ( lihat otobiografi berjudul Hidup itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 tahun , 1982: 213).
Perdebatan tentang Piagam Jakarta timbul lagi waktu sidang Konstituante yang berlangsung dari tahun 1956-1959. Golongan Islam menginginkan agar anak kalimat" dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya" dicantumkan lagi dalam pembukaan UUD 1945. Tetapi golongan nasionalis menolak karena trauma terhadap interpretasi bahwa adanya tujuh kata itu harus berarti bahwa Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam. Dikhawatirkan bahwa interpretasi seperti itu harus berlaku pula untuk menteri, panglima angkatan dan sebagainya.
Setelah Konstituante tidak dapat memecahkan masalah Dasar Negara, Soekarno mengeluarkan Dekrit untuk kembali ke Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Dengan membuat kompromi bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Pernyataan dalam Dekrit tersebut menunjukkan bahwa Bung Karno tetap konsisten dengan perjanjian luhur yang dibuatnya pada tanggal 22 Juni 1945, dengan catatan bahwa beliau berpendapat kata yang beragama Islam tidak perlu dicantumkan dalam pasal yang berbunyi " Presiden ialah orang Indonesia asli" (ibid, hal.24).(Redaksi)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar