Oleh :
H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Pembina Adat Sumsel ).
Dan
Marsal ( Pemerhati Sosial dan Hukum Adat Indonesia )
Muara Enim,Khatulistiwa news (7/9) Negara (dan hukum modern) adalah sebuah konstruksi yang rasional yang dibangun di atas puing puing tatanan lama. Negara diorganisir secara spesial dengan struktur dan pembagian kerja rasional.
Bangunan atau organisasi sosial yang demikian itu menjawab tantangan zaman waktu itu, yaitu suatu perkembangan cara cara produksi baru yang teknologi -industrial dan kapitalis serta ramifikasi politik nya.
Tatanan lama yang melayani sistem ekonomi dan politik praindustri harus minggir untuk memberi kepada kehadiran Negara modern. Negara kemudian menjadi organisasi dan kekuasaan yang hegemonial, sesudah berhasil menyingkirkan pusat pusat kekuasaan " asli", demi munculnya konsep kedaulatan negara. Sejak itu satu satunya kekuasaan yang ada dalam suatu wilayah tertentu adalah negara. Apabila masih ada kekuasaan lain di dalamnya, maka itu semata mata atas izin negara itulah. Sekalipun fungsi fungsi yang ada harus ditransformer menjadi kelengkapan negara, seperti hukum negara, pengadilan Negara, polisi negara dan pemerintahan negara. Birokrasi dan birokratisme muncul
Ini menimbulkan situasi dikotomi antara " yang ada dalam rumusan" dan " yang diluar rumusan" yang dibuat oleh negara.
Contoh nya adalah " empat persyaratan yang perlu dipenuhi agar dapat diakui sebagai masyarakat hukum adat menurut Undang Undang Dasar 1945.( sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang, Pasal 18 B ayat 2 ).
Dari uraian di atas diketahui,bahwa negara modern adalah suatu konstruksi rasional dan dengan demikian bersifat artifisial, bukan suatu yang otentik.
Sebagai suatu konstruksi, maka ia juga akan mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan lingkungan nya.
Kalimat dalam Pasal 18 B ayat 2 UUD 45 tersebut di atas masih ditulis dalam tradisi kemutlakan dan hegemonial serta menunjukkan betapa negara memiliki sekian banyak kekuasaan ( authority ) dan kekuatan ( power) untuk menentukan apa yang terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini , termasuk apakah hukum adat masih berlaku atau tidak.
Dalam memahami dan membaca Pasal Undang Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 tersebut di atas, salah satu kajian adalah kajian sosiologi hukum tentu nya tidak berangkat dari kemauan dan perintah undang-undang, melainkan dari kenyataan mengenai hukum adat itu sendiri.
Kehadiran hukum adat tidak memikirkan dan mempertimbangkan apakah dia akan diakui atau tidak oleh kekuasaan negara, melainkan karenanya ia harus muncul. Kata kata harus " muncul" menunjukkan otensitas hukum adat. Pada dasarnya ia muncul dari dalam kandungan masyarakat sendiri secara otonom dan oleh karena itu disebut otentik.
Dengan meminjam istilah Hart, maka hukum adat lebih dekat kepada orde " primary rules of obligation"daripada hukum negara yang dibuat dengan sengaja (purposeful) dan karena itu lebih dekat kepada orde " secondary rules of obligation ( Hart, dalam Satjipto Rahardjo,2005).
Hukum adat itu berayaman dan berkelindan kuat dengan budaya setempat. Kata " budaya" di sini menunjukkan adanya unsur emosional tradisional yang kuat dari hukum adat. Ia juga merupakan hukum yang sarat dengan penjunjungan nilai nilai tertentu. Bahkan di wilayah wilayah tertentu di Indonesia seperti Aceh, bagi para pemeluknya, hukum adat adalah identik dengan hukum agama. Maka dengan menerima dan menjalankan hukum adat, orang sekaligus merasa berbudaya.
Indonesia adalah sebuah negara yang sangat majemuk dengan ratusan lingkungan etnis. Wilayah wilayah di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang sama. Pada umumnya Jawa lebih bersifat masyarakat perkotaan dibandingkan dengan bagian besar wilayah di luar Jawa. Jawa telah terkena dampak yang kuat dari industrialisasi dan penetrasi modernitas.
Sebagai negara kepulauan, isolasi wilayah menjadi kuat dan sangat mempengaruhi perataan perkembangan.
Perkembangan yang berbeda tersebut boleh memunculkan dikotomi antara daerah daerah yang mengalami penetrasi industrialisasi dan daerah perawan.
Dalam keadaan yang demikian diperlukan kehati-hatian yang luar biasa pada badan legislatif kita agar mampu mendudukkan diri di atas konfigurasi masyarakat Indonesia yang demikian itu. Indonesia tidak bisa diatur dan dihukumi menurut kacamata " komunitas"orang Senayan, sebab salah salah menimbulkan malapetaka. Hukum yang dibuat dengan mind-set modern tanpa memperhatikan dan mengantisipasi efek nya di tingkat lokal, bisa melahirkan produk yang kriminogenik .
Posisi hukum adat terhadap hukum negara berbeda dari posisi nya berhadapan dengan hukum kolonial. Hukum kolonial tidak merasa hukum adat bagian dari tubuhnya. VOC dan kemudian pemerintah kolonial datang untuk mengeruk keuntungan yang kemudian diangkut ke negara induk. Hukum kolonial juga lebih menekankan pada kepentingan politik nya sebagai penjajah.
Konfigurasi sekarang sudah berubah sekali. Hukum adat adalah bagian organik dari hukum negara. Maka jika rusak hukum adat, rusak pula lah sebagian dari tubuh negara itu. Hukum negara sangat berkepentingan untuk menjaga dan memelihara Hukum adat.
Mungkin kita perlu membaca kembali kata kata di dalam Pasal 18 B ayat 2 UUD 45 tersebut " Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisional sepanjang masih hidup," , Rumusan itu lebih memiliki nuansa ekonomi dari pada antropologis.
Marilah kita renungkan kalimat tersebut dan memproyeksikan nya dengan Pembukaan Undang Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, yang mengatakan bahwa Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Memang di dalam berbagai perundangan, seperti Undang Undang Agraria, dinyatakan, bahwa hukum adat menjadi basis. Tetapi dengan hanya bertindak secara retoris seperti itu bangsa kita, khusus nya para ahli hukum telah membunuh hukum adat secara perlahan lahan. Dikatakan demikian, oleh karena ibarat kita telah memasukkan kambing ( hukum adat) dalam satu kandang bersama dengan singa (hukum negara yang notabene adalah hukum modern).
Para ahli hukum kita berfikiran terlalu normatif, upaya kesadaran antropologis dan sosiologis tanpa dianalisis.
Politik hukum kita seharusnya segera menyiapkan kelengkapan yang memadai untuk melindungi hukum adat dari terkaman hukum modern.
Rakyat di hutan hutan pelosok Nusantara dibiarkan " bertempur" sendiri melawan orde hukum modern dan orde sertifikat yang diwakili oleh pengusaha hutan.
Problem tersebut tidak hanya merupakan porsi yang harus dihadapi oleh legislator, tetapi juga pengadilan yang ada di garis depan..
Sekarang lah saatnya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan retoris di masa lalu, sebagai diuraikan di atas, yang mengakibatkan hukum yang ada cenderung terpuruk dalam naungan hukum modern.Hukum adat memerlukan penjagaan dan pemeliharaan serta perawatan, sehingga dapat sejajar dengan hukum negara ( baca hukum modern).
Bertindak afirmatif, partisipatif, progresif, berarti menghindarkan diri dari membuat keputusan keputusan yang bersifat status quo dan secara aktif dan kreatif mengusahakan agar hukum adat dapat bertahan di zaman modern sekarang ini.
Selama ini, praktek menjalankan negara hukum dan hukum di Indonesia lebih banyak didominasi oleh kultur asing, sehingga kita lebih bersifat submisif terhadap hukum yang ada. Paradigma liberalisme liberal menghendaki agar orang menjalankan peraturan sebagai mana adanya. Campur tangan akan mengganggu permuliaan terhadap kemerdekaan individu. Oleh karena itu, apabila diharapkan agar sekalian institusi bertindak progresif, maka diperlukan teori yang tidak liberal, melainkan progresif. Salah satu pilar teori progresif disini adalah yang berani melakukan pembahasan terhadap dominasi sistem dan kultur liberal
Contoh di atas hanya ingin menunjukkan, bahwa hukum tidak bisa hanya melihat ke dalam dirinya sendiri dan berpatokan pada " rule and logic". Cara demikian ini hanya akan menghambat berlangsung proses proses produktif dalam masyarakat. Negara tidak hanya membutuhkan hal hal praktis yang didasarkan pada " the logic of the law" , melainkan juga " social reasonableness".
Pasal 18 B ayat 2 UUD 45 memang sudah menjadi bagian dari hukum positif Indonesia dan oleh karena itu dijalankan. Namun tidak dijalankan seperti mesin otomat yang tinggal memencet tombol ( subsumptie automaat ) (Redaksi)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar