Oleh :
Zainul Marzadi. SH. MH (Dosen Universitas Serasan dan Peneliti Tanah Adat)
dan
Marshal ( Pemerhati Sosial dan hukum Adat Indonesia )
Muara Enim, Khatulistiwa news (21/10) -Hubungan antara manusia dengan tanah sangat terkait yaitu tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang sejak dulu sudah dikuasai oleh masyarakat Hukum adat.
Pengertian Tanah merupakan salah satu sumber daya yang berperan penting terhadap keberlangsungan hidup organisme. Fungsi tanah tidak hanya sebagai tempat berjangkarnya tanaman, penyedia unsur hara, tetapi juga berfungsi sebagai salah satu bagian dari ekosistem.
Tanah berasal dari hasil pelapukan fisis maupun kimiawi dari batu-batuan yang kemudian butir- butir mineralnya membentuk bagian yang padat dari tanah. Berasal dari batuan sedimen ataupun batuan beku yang mengalami proses perubahan bentuk akibat adanya perubahan tekanan dan temperatur kulit bumi.
Menurut Prof. Mahadi, SH, tanah adat itu bukan istilah perundang-undangan, tanah adat itu merupakan istilah yang dikenal dan berasal dari sebutan masyarakat adat sendiri.
Sama halnya dengan istilah Hukum Adat, yang sebetulnya merupakan istilah dari masyarakat adat sendiri.Akan tetapi kemudian terjadi keliru memahami, seolah olah istilah Hukum Adat itu adalah terjemahan dari istilah Adat Recht, yang berasal dari sebutan Prof. Dr. Snouck Hurgronje.
Padahal hal seyogyanya, Snouck Hurgronje yang menerjemahkan istilah Hukum Adat ke dalam bahasa Belanda yaitu Adat Rechts.
Bahwa yang memakai pertama kali istilah Adat Recht tidak lain Snouck Hurgronje.
Tanah Adat adalah hak Ulayat baik yang kosong maupun yang sudah dikerjakan. Tanah Adat ini sudah ada sebelum Indonesia merdeka.
Pada masa Hindia Belanda, tanah adat dimengerti sebagai tanah yang tidak dimiliki seseorang dengan hak eigendom atau dengan kata lain, tanah adat ialah tanah yang tidak tunduk kepada aturan aturan eigendom. Hak Ulayat berlaku keluar dan kedalam.
Maksud berlaku keluar adalah bagi mereka yang bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak boleh mengerjakan tanah dalam wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan, kecuali setelah memperoleh ijin dari persekutuan.
Sedangkan maksud dari berlaku ke dalam adalah semua warga persekutuan bersama sama sebagai satu keseluruhan melakukan hak Ulayat dengan memetik hasil dari pada tanah tersebut beserta tumbuh tumbuhan dan binatang yang hidup disitu.
Objek hak Ulayat adalah Tanah, air, tumbuh tumbuhan yang hidup dan hewan liar yang hidup di habitat tersebut.
Terdapat banyak istilah lokal terhadap tanah yang dikuasai dan merupakan milik bersama masyarakat adat atau tanah persekutuan yang disebut beschikkingsrecht.
Di Sumatera Selatan disebut Marga memiliki atau lebih tepat dengan istilah menguasai, yaitu suatu daerah lingkungan tanah tertentu yang sudah mempunyai batas batas tertentu.
Lingkungan tanah yang dikuasai marga ini adalah yang disebut tanah marga, sebagai hak Ulayat yang pada hakikatnya adalah milik seluruh rakyat yang menjadi anggota sesuatu marga.
Di Jambi hak Ulayat masih kuat, penggunaan tanah tidak mungkin oleh instansi instansi lain tanpa izin persekutuan.
Di Sumatera Utara masih terdapat adanya penguasa tanah secara komunal, ada yang disebut Tano sepanjang Banua sadesa, tarluk atau turkori, di Tapanuli Selatan, Golat atau tanah marga horja, di Tapanuli Utara dan Kesain di tanah Karo sejenis hak Ulayat.
Di Sumatera Barat, hak Ulayat terdiri dari tanah Ulayat kaum, suku dan nagari dengan penguasaan masing masing berturut turut Kepala Kaum atau Mamak Kepala Waris, Kepala Suku atau Penghulu suku dan para Penghulu Suku di nagari.
Di Lampung masih terdapat masyarakat hukum adat yang berkerabat patrilineal, khusus nya dalam lingkungan masyarakat Lampung asli dimana hukum adat atas tanah masih berlaku, walaupun diakui di Lampung Hak Ulayat sudah menipis.
Istilah Pertuanan digunakan untuk menunjukkan Tanah dengan hak Ulayat.
Masing masing masyarakat hukum adat mempunyai Petuanan sendiri sendiri yang meliputi wilayah darat dan sebagian lautan sampai batas tertentu.
Masalah yang dihadapi sekarang adalah pada umumnya di Nusantara, hak Ulayat itu berkurang baik disebabkan oleh sudah banyaknya dilakukan transaksi baik oleh perseorangan maupun kelompok kelompok masyarakat terutama yang ada kegiatan industri baik pertanian maupun perkebunan terutama yang berskala besar, baik oleh pemodal asing maupun pribumi.
Disamping itu pula fungsi pimpinan informal sudah tidak mempunyai wibaws lagi akibat regulasi dari semua bidang pembangunan.
Kita ambil contoh regulasi di bidang hukum setelah berlaku nya amendemen UUD RI 1945 khususnya pasal 18 B ayat 2 Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisional nya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara. Pemerintah Republik Indonesia tidak secara otomatis memberi pengakuan tersebut.
Baik dalam Pasal 28 I ayat 3 Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 maupun berbagai undang-undang organik nya terdapat berbagai klausa klausa dan syarat syarat yang bersifat limitatif bagi pengakuan eksistensi hukum adat.
Klausa yang terdapat dalam Pasal 28 I ayat 3,Tap. MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) No XVII tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Undang Undang no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) adalah:
1. Sepanjang masyarakat hukum adat itu masih ada;
2. Sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban.:
3. Sesuai dengan perinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4. Diatur dalam undang-undang.
Walaupun eksistensi dan hak hak masyarakat hukum adat secara formal diakui di dalam Undang -undang dasar negara republik Indonesia 1945, terutama hak atas tanah Ulayat, namun dalam kenyataannya hak hak tersebut secara berkelanjutan telah dilanggar. Pelanggaran hak hak secara berkelanjutan tersebut merupakan salah satu faktor terjadinya konflik horizontal dan atau konflik vertikal, yang tidak jarang memakan korban jiwa dan harta.(Redaksi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar