Oleh : H. Albar Sentosa Subari ( Pengamat Hukum dan Sosial )
Dan
Marshal ( Pemerhati Sosial dan Politik )
Muara Enim. Khatulistiwa news (07/09) Judul artikel di atas terinspirasi oleh berita yang beredar di media sosial, bahwa Kades Akan Dihapus. ?.
Apakah berita tersebut benar benar adanya sebagai suatu langkah pemerintah atau hanya HOAX,
Terlepas dari kesemuanya itu, maka penulis sebagai mantan akademisi juga yang menggeluti kelembagaan adat baik secara teoritis maupun praktis mencoba mengkajinya dari sudut sejarah maupun kajian kemungkinan kemungkinan yang dapat diambil dasar kebijakan pemerintah yang akan datang.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa lahirnya atau dikenal nya istilah KADES berawal dari lahirnya Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 dan Undang Undang Nomor 5 tahun 1979.
Serta beberapa peraturan perundang-undangan lainnya.
Lahirnya kedua undang undang tersebut tidak lain waktu itu kita Indonesia menganut sistem pemerintahan yang SENTRALISTIK, semua diatur oleh pusat yang dan sistem nya sama seluruh wilayah Indonesia.
Istilah Kades sebelumnya dikenal di Jawa dan untuk luar Jawa Madura memiliki sistem pemerintahan terendah sendiri sendiri dan memiliki istilah masing-masing daerah berbeda beda. Contoh saja misalnya di Sumatera Barat sistem pemerintahan saat itu adalah Kenagarian, Sumatera Selatan disebut sistem pemerintahan MARGA.
Memang sebenarnya kita tidak melupakan beberapa kebijakan kolonial saat itu yang mencampurkan sistem ASLI dengan sistem kolonial, Antara lain Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan aturan yang seragam ( berlaku di Jawa dan luar Jawa yaitu aturan tentang dasar hukum pemerintahan terendah dengan mengeluarkan apa yang diistilahkan dengan *IGO : Intergovernmental Organzation ( untuk Jawa Madura)Sementara IGOB : Islandsche Gemeente Ordinantie Biutengewsten ( untuk luar Jawa).*
Karena kedua aturan dimaksud ( IGO dan IGOB) bernuansa politis dan bertentangan dengan asas " Nasionalisme", maka aturan itu dihapunten oleh pemerintah Republik Indonesia saat itu dengan UU No. 5/1974 Jo UU No. 5/1979).
Maka saat itu dikenalkan istilah " Kades" ( kepala desa).
Desa konsep Jawa, sebenarnya tidak dikenal di luar Jawa, yang dikenal saat itu adalah Wali Nagari ( Sumbar). Pasirah ( Sumsel: dibaca istilah lainnya bentuk asli adalah Kaipati, Jurai Tue, dan lain lain istilah).
Pertanyaan selanjutnya apakah Kades mau dihapus??.
Secara teoritis hal itu memang didukung oleh sistem peraturan perundang-undangan saat ini.
Apalagi setelah diamendemen nya UUD 45 antara lain diatur dalam;
1, Pasal 18 B ayat 2 UUD NRI tahun 1945, Pasal 28 I ayat 3 UUD NRI tahun 1945.
2, Undang Undang tentang Hak Asasi Manusia;
3, Undang Undang Tentang Pemerintahan Daerah
4, Undang Undang tentang Pemerintahan Desa.
Yang sebelumnya juga diatur dalam Ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat Republik Indonesia tahun 1998, dan dilanjutkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang lainnya.)
Untuk Sumatera Selatan terakhir tentang Undang Undang Provinsi Sumatera Selatan). Di dalam Pasal 5 ayat 3 mengatur dan mengakui kesatuan masyarakat hukum adat ( analisis penulis ini kembali kepada susunan asli- bukan marga berdasarkan IGOB yang telah di hapus kan oleh Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 142/KPTS/III/1983 tanggal 23 Maret 1983 dan berlaku terhitung 1 April 1983- yang menurut penulis kembali ke sistem pemerintahan terendah yang ASLI, sebagaimana dimaksudkan oleh penjelasan umum UUD 45 yang asli.
Dengan mengingat peraturan perundang-undangan di atas maka kesimpulannya dari artikel ini nuansa untuk menghapus sistem pemerintahan terendah yang dipimpin oleh Kades bisa saja direalisasikan.
Namun secara praktis hal ini masih menyisakan persoalan persoalan politik, sosial-budaya.
Kita ambil contoh saja dari sisi sosial budaya, apakah masih ada orang orang yang yang menguasai aturan aturan adat budaya. Karena saat itu seorang pimpinan masyarakat adalah juga seorang figur KEPALA ADAT, Yang selama ini telah terabaikan. Walaupun dalam bukunya Prof. Dr. Soerjono Soekanto SH, berjudul Kepala Desa Sebagai Hakim Perdamaian Desa?.
Yang diharapkan saat itu Kades bisa menangani persoalan persoalan masyarakat hukum adat di wilayah nya.
Namun fakta nya masih menyisakan sejumlah kendala,
Sebagaimana kita ketahui bahwa dimasyarakat hukum adat ada berlaku hukum yang disebut dengan HUKUM ADAT.
Atau Hukum Kebiasaan - Hukum Tradisional dan lain sebagainya.
Undang undang nomor 2 tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang akan berlaku 2 Januari 2026, menggunakan istilah Hukum yang hidup dalam masyarakat. Ditambah lagi dengan kebijakan kepolisian dan kejaksaan Republik Indonesia yang mulai menerapkan sistim Perdamaian Adat dengan istilah Restoratif Justice ( RJ)., ini memerlukan orang orang yang paham masalah hukum sosial ( hukum Perdamaian Adat) sehingga dapat hasil yang optimal. Di sini juga sebenarnya peran utama dari Lembaga Adat yang berada di semua tingkatan mulai dari desa/dusun, kecamatan, kabupaten kota dan provinsi) yang harus diduduki orang orang yang paham tentang nilai nilai budaya masyarakat hukum adat.
Bukan hanya sekedar simbol simbol saja seperti kesenian ( tari, nyanyi dan lain sebagainya). Tapi orang yang betul betul dapat menganalisa perkembangan rasa keadilan masyarakat hukum adat yang sebenarnya.
Di dalam undang undang Pemerintahan Desa yang baru istilah Desa yang selama ini dikenal bisa disebut dengan istilah lain, contoh istilah nagari dipimpin oleh wali nagari, marga dipimpin oleh istilahnya Pasirah.
Dengan demikian memungkinkan untuk tiap provinsi dan kabupaten serta kita di Indonesia menyesuaikan dengan aturan yang terbaru.
Namun semuanya itu kembali kepada pemegang kekuasaan + legislatif dan eksekutif) untuk membuat aturan dengan menghormonisasi kan aturan perundangan undangan yang berlaku saat ini?.
Semua nya ini tidak mudah karena menyatukan kebijakan ( eksekutif dan legislatif), akibat sistem yang berlaku sekarang ini. Misalnya memerlukan integritas yang tinggi untuk memakmurkan rakyat Indonesia, dan didukung pula kualitas dari masing masing lembaga.
Allah Yang Maha Tahu.
Kebijakan tersebut tentunya melalui Peraturan Daerah ( PERDA). ( Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar