Oleh :
H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Pembina Adat Sumsel ).
Dan
Marsal ( Penghulu KUA Kecamatan Muara Enim )
Muara Enim,khatulisriwa news.com-(15/10) Pada alinea pertama bagian Pembukaan UUD dinyatakan" Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajah diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." . Pada bagian lain, khusus alinea keempat, disebutkan bahwa tujuan pembentukan pemerintahan negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta turut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
Wilayah masyarakat adat baca desa di Nusantara ini bermacam persoalan antara lain disebabkan adanya kebijakan agraria yang kurang menyentuh kepentingan masyarakat.Hal ini bila dicermati secara umum disebabkan antara lain bahwa pertama kebijakan tidak dibangun atas dasar realitas sosial budaya yang nyata; kedua, banyak diantara kebijakan tidak ditujukan untuk mencapai cita cita kemerdekaan yang sesungguhnya, melainkan untuk melanggengkan kekuasaan semata.
Untuk diketahui bahwa wacana seputar desa adalah tentang sekumpulan manusia yang mengambil kediaman bersama disuatu wilayah, memiliki pemerintahan, pemimpin,dan serangkaian peraturan sendiri. Lebih dari itu sebagai suatu perkumpulan hidup, masyarakat adat merupakan organisasi yang telah tua umurnya, mendahului masyarakat hukum sekarang dinamakan negara.
Berbagai peraturan yang mengatur kehidupan dalam persekutuan masyarakat disebut hukum adat.Sebagai kompleks adat istiadat, hukum adat umumnya tidak dikirab, tidak dikodifikasi, tetapi memiliki kekuatan untuk mengatur warga nya,serta memiliki sanksi bagi para pelanggarnya.
Karena itulah, masyarakat desa dapat pula disebut sebagai masyarakat adat.
Apa yang dimaksud dengan masyarakat adat dalam tulisan ini adalah apa yang dalam literatur literatur ilmu hukum adat disebut Rechts gemeenschap;adat gemeenschap;adatrechts gemeenschap;dan volksgemeeschap.Keseluruhan dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai; masyarakat hukum adat atau persekutuan hidup adat.
Sedangkan istilah sumber agraria bisa meliputi:tanah atau bumi dan barang barang atau benda benda yang terkandung didalamnya, segala yang hidup permanen di areal kawasan tertentu baik air udara dan tidak menjadi terpilah pilah.
Selama ini ada kekeliruan penafsiran hak Ulayat.Lebih banyak ditafsirkan sebagai hak permanfaatan bersama. Konsep ini sebenarnya tidak sepenuhnya keliru.Sebab , dalam konsep hak Ulayat memang terkandung pengertian bahwa wilayah tertentu adalah wilayah yang dimiliki/ dikuasai secara bersama sama oleh seluruh warga persekutuan hidup setempat.
Meski demikian, bukan berarti tidak ada bagian walayah yang dimiliki/dikuasai oleh individu sejauh bagian wilayah itu masih digarap individu yang bersangkutan atau keluarga nya(Soekanto,1998)
Jika dianalogikan, wilayah Indonesia adalah hak Ulayat nya bangsa Indonesia.
Jadi pengaturan atau pengakuan atas hak hak adat itu tidak hanya menyangkut keberadaan tanah Ulayat dan atau hak Ulayat dalam pengertian hak pemanfaatan bersama sebagai mana sering terjadi dalam peraturan perundang-undangan sekarang.
Pengakuan hak Ulayat baca hak adat seharusnya juga mengacu pada hak hak pemanfaatan yang bersifat pribadi sebagai mana yang diatur dalam hukum adat yang bersangkutan.
Jadi , jika memang negara mengakui hak Ulayat persekutuan masyarakat hukum adat sebagai mana dimaksudkan dalam Pasal 18 B ayat 2, UUD, maka pengakuan itu harus meliputi Pengakuan atas kedaulatan persekutuan hidup setempat atas sumber sumber daya yang menjadi liebenstraum (sumber sumber kehidupan baik secara simbolis maupun realis) masyarakat adat yang bersangkutan.
Tanpa pengakuan yang demikian,yakni pengakuan pada unsur organisasi sistem pemerintahan pada tingkat persekutuan hidup setempat, pengakuan hak hak masyarakat adat hanya menjadi retorika politik belaka.
Sejarah menggambarkan bahwa IGO dan IGOB, tidak untuk menciptakan suatu pemerintahan masyarakat hukum adat yang baru, tetapi justru memberikan pengakuan hukum terhadap struktur pemerintahan adat (walaupun sebenarnya dengan tujuan agar mereka legal mewakili kepentingan Hindia Belanda).
Hasil penelitian Yayasan ilmu ilmu sosial (YIIS) menunjukkan bahwa pemerintahan ditingkat pedesaan sebelum berlakunya Undang-undang nomor 5 tahun 1979 masih tetap seperti yang pernah ditulis oleh para ahli hukum adat pada zaman penjajah Belanda, seperti Van Vollenhoven,Ter Haar maupun ahli hukum adat bangsa Indonesia sendiri.Bahkan sepuluh tahun berlalu nya undang undang tersebut,masih banyak pemerintahan desa yang perubahannya baru pada tingkat struktur formal nya saja (Selo Sumardjan dan Sarjono Djatiman).
Sehingga tepat bahwa untuk menghidupkan kembali keberadaan masyarakat hukum adat sudah menjadi kewajiban pemerintah pusat beserta Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk segera mengesahkan undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.
Ditingkat Kabupaten dan Provinsi untuk mendorong terbentuknya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat adat.Yang dalam hal ini merupakan tugas pokok dari Pembina Adat baik di Provinsi terutama di Kabupaten.(redaksi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar