BERITA TERKINI

Respon Revisi UU No.34 Tahun 2004 Tentara Nasional Indonesia, FPR: Bubarkan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah – FORKOPIMDA melibatkan TNI !

 


JAKARTA,Khatulistiwa news (20/03) - DPR dan pemerintah tetap keukeuh memboyong Rancangan undang-Undang tentang Perubahan UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) dalam sidang paripurna, Kamis (20/03/2025). 


Kalangan masyarakat sipil tak berhenti menyuarakan penolakan terhadap RUU TNI karena substansinya mereduksi supremasi sipil. 


Imbasnya menuai kritikan, juga dari Front Perjuangan Rakyat (FPR) yang merupakan gabungan sedari Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Pemuda Baru Indonesia (PEMBARU-Indonesia), Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI), Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP), Institute for National and Democracy Studies (INDIES).


Sekretaris Jenderal Front Perjuangan Rakyat (FPR), Symphati Dimas Rafi'i menyampaikan pada sidang paripurna 20 Maret 2025, DPR dan pemerintah tetap keukeuh memboyong Rancangan undang-Undang tentang Perubahan UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI).


" Isu yang paling mengemuka dan dibahas serta mendapat penentangan luas dari rencana revisi tersebut mengenai usia pensiun anggota TNI danjabatan sipil yang bisa diemban oleh militer aktif. Bangsa dan rakyat," ungkapnya dalam pernyataan keterangan tertulis singkatnya dirilis awak media.


Indonesia memiliki pengalaman baik dan buruk dengan organisasi militer dan kerja militer dalam rentang waktu yang panjang sejak era kolonial dan hingga sekarang, di era bangsa dan rakyat Indonesia masih berstatus negara Setengah Kolonial sejak 1949.


Pengalaman terbaik dan membanggakan hubungan rakyat dengan organisasi dan kerja militer berlangsung sepanjang kelahiran Tentara Patriotis anti kolonial selama Perang Kemerdekaan Pertama dan Perang Kemerdekaan Kedua. 


Di luar dua (2) peristiwa penting tersebut, hubungan rakyat dengan militer di Indonesia didominasi oleh pengalaman buruk, imbuhnya 


Pertama, pembentukan elit militer pro Amerika Serikat atas insiasi Prof Sumitro Joyohadikusumo, bapak dari Presiden Prabowo Subianto dari Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ia mengirim militer Indonesia yang berada di bawah pengaruh PSI dikirim ke Amerika Serikat untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan militer di tahun 1950-an untuk memperkuat barisan anti komunis dan anti nasionalis-Sukarno atas bantuan U.S Rand Institute dan U.S Ford Fondation. Intelektual dan militer didikan Amerika Serikat bersatu membentuk Lembaga Pertahanan Nasional (LEMHANAS) dan berada dibalik kudeta kekuasaan nasionalis Sukarno dan menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk membangun Orde Baru.


Sepanjang kekuasaan Orde Baru, militer Indonesia menjadi mesin pendindas 

utama kepentingan dan aspirasi bangsa dan rakyat Indonesia untuk bebas dari dominasi imperialis dan feodalisme. 


Tidak terhitung jumlah korban jiwa pada 

saat militer memegang kekuasaan “Dwi Fungsi” dan doktrin “Pertahanan Rakyat Semesta”. Ketakutan rakyat karena implementasi doktrin “Dwi Fungsi” di mana Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadikan dirinya sebagai penjaga ideologi Pancasila dan persatuan negara dengan kekerasan sangat dalam. 


Jabatan gubernur, bupati hingga kepala desa di Jawa dan Luar Jawa dipegang oleh militer aktif. Hanya ABRI dan GOLKAR yang berhak memegang kekuasaan teritorial. 


Undang-Undang No.5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menjadi dasar Keputusan Presiden No.10 tahun 1986 tentang Musyawarah Pimpinan Daerah (MUSPIDA), melegalkan kekuasaan teritorial TNI.


Pada saat Gerakan 1998, TNI saat itu bernama Angkatan Bersenjata Republik 

Indonesia (ABRI) menjadi target utama gerakan reformasi. 


" Masalah utama yang dipersoalkan selama Orde Baru Suharto dan selama Gerakan Rakyat 1998 adalah kekuasaan pemerintahan fasis-bersenjata yang dipegang ABRI secara teritorial terutama oleh Angkatan Darat (AD) yang bersisian dengan “pemerintahan sipil” 

yang esensinya juga berada ditangan militer," jelas Sekretaris Jenderal Front Perjuangan Rakyat (FPR) menyampaikan.


Komando Teritorial mulai dari Markas Besar ABRI, Komando Daerah Militer (KODAM), Komando Resort Militer (KOREM), Komando Distrik Militer (KODIM) hingga Komando Rayon Militer (KORAMIL). 


" Seluruh aksi dan kampanye massa yang lakukan oleh rakyat Indonesia dihadapi oleh ABRI, bukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). ABRI melakukan penahanan aktivis yang menentang negara dan pemerintah RI," paparnya


Menyadari keadaan kelam tersebut, ABRI berusaha “menahan diri” selama Gerakan 

Rakyat Mei 1998.


Hingga era Presiden Abdurrahman Wahid ABRI berada dalam kedudukan “pasif” menghindar dari kemarahan rakyat untuk sementara waktu. Di era Megawati Sukarno Putri, kedudukan ABRI yang berganti nama menjadi TNI perlahan namun pasti meraih kedudukannya kembali sebagai “penjaga ideologi dan persatuan negara”. 


Di era Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan Presiden Joko Widodo, TNI telah meraih kembali hampir seluruh kekuasaannya yang hilang di era Gerakan Reformasi.


Kemukanya menyampaikan, Setelah Gerakan Rakyat Mei 1998, Komando Teritorial TNI tidak pernah dibubarkan, justru semakin ditambah jumlahnya baik KODAM, KOREM, KODIM maupun KORAMIL. Dan seluruh Komando Teritorial tersebut dilegalkan dengan Undang Undang No.34 tahun 2004 yang sekarang direvisi. 


Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjadi dasar bagi Peraturan Pemerintah No.12 tahun 2022 yang menegakkan kembali MUSPIDA dengan nama berbeda Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FORKOPIMDA) di mana TNI tetap berada di dalamnya.


" Berdasarkan sejarah panjang hubungan rakyat dengan TNI, baik dan buruknya, 

revisi fundamental terhadap Undang-Undang TNI 34 Tahun 2004 adalah PEMBUBARAN 

KOMANDO TERITORIAL TNI dan dikeluarkannya TNI dari Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FORKOPIMDA)," imbuhnya 


Di samping itu, Dikatakan Sekretaris Jenderal Front Perjuangan Rakyat (FPR), Symphati Dimas Rafi'i menyebutkan Akar dari seluruh upaya pelegalan penggunaan senjata untuk menindas kepentingan dan aspirasi bangsa dan rakyat Indonesia untuk bebas dari sistem Setengah Jajahan sesungguhnya dan meraih kemajuan adalah kedudukan TNI sebagai alat negara dan kekuatan imperialis untuk menjaga keamanan kapital investasi dan kapital utangnya di Indonesia. 


" TNI adalah alat utama untuk menjaga kapital yang ditanamkan di industrial manufaktur, 

pertambangan besar dan pertanian besar setengah feodal di Indonesia yang berkedok “Obyek Vital Strategis Nasional” dan “Proyek Strategis Nasional”." kemukanya


Belum lama ini Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan TNI untuk menjaga 

perkebunan kelapa sawit sebagai aset nasional.


Menurutnya menilai Revisi Undang-Undang No.34 tahun 2004 yang tengah berlangsung sekarang adalah revisi untuk kepentingan dan aspirasi pemerintah boneka di Indonesia, bahkan bukan tuntutan dari TNI sendiri! Revisi ini diperlukan dan mereka asumsikan dapat “membeli loyalitas TNI” untuk mempertahankan kekuasaan pemerintahan boneka imperialis atas negara. 


Hal yang sama dilakukan oleh Suharto selama Orde Baru, ditegakkan oleh Presiden SBY dan Presiden JOKOWI selam kekuasaannya, tandasnya ( Niko)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.