Oleh : H Albar Sentosa Subari, SH SU ( Ketua Lembaga Adat Melayu Peduli Marga Batang Hari Sembilan ) dan Marshal ( Pengamat Sosial dan Hukum Adat Indonedia )
Muara Enim. Khatulistiwa news (15/12) Hukum Adat khususnya Hukum yang membahas tentang " delik adat" ( istilah Prof. Dr. R. Soepomo SH) , merupakan hukum positif tidak tertulis di samping hukum positif tertulis.
Hukum adat ( hukum tidak tertulis) bersama sama dengan hukum tertulis adalah " hukum dasar" ( istilah penjelasan umum dari Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945- asli.).
Prof Dr. R. Soepomo SH dalam bukunya Bab Bab Tentang Hukum Adat menggunakan istilah delik adat. Karena di dalam sistem hukum adat tidak mengenal pemisahan antara hukum publik dan hukum privat seperti sistem hukum Romawi yang kita anut di Indonesia sekarang ini dampak dari asas konkordansi, unifikasi dan modifikasi.
Demikian juga Prof. Iman Sudiyat SH guru besar ilmu hukum adat universitas Gadjah Mada ( pembimbing thesis penulis) menggunakan istilah delik adat dalam hal bila terjadi pelanggaran adat.
Namun Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH ( mantan ketua Mahkamah Agung dan Prof. H. Hilman Hadikusuma SH., guru besar ilmu hukum adat universitas Lampung memakai istilah " pidana adat".
Penulis akan menggunakan istilah " pidana adat' , karena sudah resmi istilah tersebut digunakan oleh Kitab Undang Undang Hukum Pidana Nasional ( KUHP Nasional).
KUHP Nasional akan diberlakukan mulai tanggal 2 Januari 2026. ( Pasal 624 KUHP Nasional), tiga tahun sejak KUHP Nasional disahkan oleh Presiden Republik Indonesia 2 Januari 2023. Sehingga ada yang menyebutnya KUHP 2023. Namun secara resmi tetap digunakan istilah KUHP ( pasal 623).
Istilah yang digunakan KUHP sebagai mana dimuat dalam penjelasan pasal demi pasal yaitu Pasal 2 ayat (1), Tindak Pidana Adat.
Tindak pidana adat secara secara global terrumus di dalam Pasal 597 , yang menggunakan istilah " hukum yang hidup dalam masyarakat".
Yang bermakna sama dengan istilah ' nilai nilai yang hidup dalam masyarakat ( istilah dalam Pasal 23 dan 27 UU No 14 tahun 1970- UU Pokok Kehakiman).
Secara teoritis merumuskan hukum adat berdasarkan simposium Nasional yang diselenggarakan di fakultas hukum universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1975, sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Tambun Anyang , SH, Hukum Adat adalah Hukum Asli Indonesia yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia dan di sana sini mengandung unsur agama.
Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1),
Yang dimaksud dengan ' hukum yang hidup dalam masyarakat " adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana.
Hukum yang hidup di dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, Peraturan Daerah mengatur mengenai Tindak Pidana adat tersebut.
Ayat ( 2 ) , Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan" berlaku dalam tempat hukum itu hidup " , adalah berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana adat di daerah tersebut.
Ayat ini mengandung pedoman dalam menetapkan hukum pidana adat yang keberlakuan nya diakui oleh undang undang ini.
Ayat (3) Peraturan Pemerintah dalam ketentuan ini merupakan pedoman bagi daerah dalam menetapkan hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Peraturan Daerah.
Dengan membaca ketentuan ketentuan Pasal pasal serta dalam penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal yang berkaitan dengan " hukum yang hidup dalam masyarakat" .
Bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut disebut hukum adat . Untuk pelanggaran hukum adat disebut Tindak Pidana adat.
Suatu tindak pidana adat yang merupakan suatu perbuatan yang menyimpang dari hukum adat ( hukum yang hidup dalam masyarakat), baru diakui sebagai bentuk hukum pidana tambahan setelah pidana adat tersebut dimasukkan lebih dahulu kedalam peraturan perundang-undangan melalui Peraturan Daerah ( PERDA) kabupaten dan kota. Yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah maksimal harus terbit PP nya.
Jadi disini jelas korelasinya antara keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana pasal 597 KUHP Nasional, peran pemerintah daerah adalah untuk membuat Perda lebih dahulu.
Tentu untuk merumuskan Perda dimaksud harus adanya kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten dan kota dengan pihak akademisi atau tokoh- ketua lembaga adat di masing masing dimana hukum yang hidup dalam masyarakat hukum berlaku, untuk dirumuskan dalam bentuk tertulis ( peraturan perundang-undangan) .
Setelah disahkan nya Peraturan Daerah ( PERDA). Itu nanti maka selama ini hukum pidana adat tergolong dalam kategori " hukum dasar tidak tertulis terangkat menjadi hukum dasar tertulis.
Karena secara otomatis dia akan menjadi bukan lagi sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat tetapi sudah menjadi hukum positif tertulis ( karena telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu PERDA.
Untuk merumuskan Perda dimaksud harus dilakukan dahulu penelitian baru tentang hukum yang hidup dalam masyarakat itu.
Tentu ini kerja keras antara akademisi ( tokoh adat-lembaga lembaga adat yang memang berkompeten dan profesional) untuk bekerja sama mencari dan merumuskan sebelum diperdakan oleh DPRD kabupaten kota bersama pemerintah daerah.
Contoh kasus di Sumatera Selatan ada namanya Kompilasi Simbur Cahaya, Kompilasi Adat Istiadat Kabupaten dan Kota yang disusun oleh Dewan Penasehat dan Pembinaan Adat Istiadat Sumatra Selatan tahun 2001. Bisa menjadi rujukan ( bahan hukum primer - scunder) di samping artikel artikel dan hasil para peneliti.
Khususnya di Sumatera Selatan ada bahan hukum sekunder yang sebut Kompilasi Simbur Cahaya - istilah Prof. Dr. H.M. Koesno, SH, dan hasil penelitian kerjasama antara Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan melakukan penelitian berjudul Kedudukan Lembaga Adat Marga Setelah Berlakunya UU no 5 tahun 1979.
Yang menjadi rujukan Lembaga Adat Melayu Sumatera Selatan menyusun Kompilasi Adat istiadat kabupaten dan kota di Sumatra Selatan.
Yang diketuai oleh H. Ali Amin, SH, Anggota Prof. Drs. A.W. Widjaja, H. Hambali Hasan, SH.MH, H. Moch. Murid, SH, serta H. Albar Sentosa Subari SH SU.( Red)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar