BERITA TERKINI

Melalui Lagu Belum Merdeka dan Terjerat Hutang Abadi, Hardjuno Potret Kemiskinan dan Penuntasan Skandal BLBI

 


JAKARTA, Khatulistiwa news (02/09) - Sekretaris Jenderal Gerakan Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Hardjuno Wiwoho Presiden Prabowo Subianto menilai positif kebijakan Presiden Prabowo Subianto dengan Ketua Umum Partai Politik di parlemen terkait evaluasi besaran tunjangan anggota DPR RI serta moratorium kunjungan kerja ke luar negeri di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (31/8), sebagai respons atas aspirasi publik terkait dinamika demonstrasi di berbagai daerah.


Menurutnya di tengah situasi kesenjangan sosial yang masih tinggi di negeri ini kebijakan yang dilakukan Presiden dan sejumlah elite parpol itu adalah hal yang positif. Apalagi Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPI) dalam surat terbukanya, Sabtu (30/8) menyampaikan rasa kecewa dan mengecam tindakan sejumlah anggota Komisi XI DPR RI yang lebih memilih untuk berada di Australia di saat rakyat Indonesia sedang menyuarakan aspirasi dan melakukan demonstrasi. 


Publik bertanya, mengapa kunker ke Sydney tersebut durasinya hingga akhir pekan, padahal semua orang tahu bahwa tidak ada aktivitas kantor di Australia pada hari Sabtu dan Minggu, sehingga kegiatan bilateral antar negara tidak mungkin dilaksanakan.


Gaya Hidup Mewah Tindakan-tindakan tersebut jelas bukan hanya bertolak belakang dengan rencana pemerintah melakukan efisiensi anggaran, tetapi juga memperlihatkan gaya hidup bermewah-mewahan di tengah derita rakyat. 


Kalaupun menggunakan uang pribadi, kunker tersebut tetap tidak pantas mengingat kondisi negara saat ini sedang tidak baik-baik saja. Apalagi dalam kunjungan tersebut melibatkan beberapa mitra strategis Komisi XI.


“Sikap demikian, jelas memperlihatkan hilangnya empati terhadap penderitaan dan kemarahan rakyat Indonesia. Alih-alih ber-empati, dengan kunker tersebut sejatinya menjelaskan miskinnya empati Anggota DPR sebagai pejabat publik,” ujar Hardjuno dalam keterangan resminya, Selasa, (2/9/2025).


Berbagai perilaku kurang pantas dari pejabat publik yang korup dan memamerkan gaya hidup mewah di saat kondisi serba sulit yang terjadi di masyarakat, menginspirasi Hardjuno untuk memotretnya dengan merilis sebuah lagu berjudul  ‘Belum Merdeka’. 


Baginya lagu ini sebagai refleksi kemerdekaan RI ke 80 Tahun pada 17 Agustus 2025. “Oh Negeriku… Katanya Makmur… Hei…! Siapa Yang Makmur…? Kami atau Mereka…?,” itulah salah satu isi lirik lagu yang diciptakan dan dinyanyikan Hardjuno yang menggambarkan sudahkah kita merdeka atau belum merdeka. 


Katanya, masih banyak rakyat yang tidak bekerja, tidak bisa sekolah, masih lapar dan harus mengais sampah untuk makan. “Lagu berjudul Belum Merdeka ini adalah Potret Kemiskinan Rakyat Indonesia. Dimana ada kesenjangan sosial yang sangat tajam, antara yang kaya dan yang miskin,” ucap Hardjuno sapaan akrabnya.


Tak hanya lagu Belum Merdeka, sebelumnya Hardjuno sudah meluncurkan lagu hits dengan judul Jerat Hutang Abadi. Sebuah lagu jagoan dalam album koruptor-koruptor kakap (2015) yang sengaja diciptakan oleh Ketum dan Sekjen HMS Sasmito Hadinegoro, Hardjuno Wiwoho bersama-sama dengan Bona Paputungan sosok penyanyi yang terkenal kritis dan konsisten melawan korupsi dan mantan gitaris Iwan Fals Digo DZ.


Stop Rakyat menanggung beban, Stop Rakyat menanggung Hutang, Stop menanggung penderitaan, dari jerat hutang yang abadi. Demikian nukilan lagu Jerat Hutang Abadi. 


Menurut Hardjuno, lagu menjadi media yang paling tepat untuk menyuarakan sesuatu. Pada akhirnya kami berharap melalui lagu Jerat Hutang Abadi kampanye penuntasan kasus BLBI menjadi lebih bisa dicerna oleh kalangan yang lebih luas, tidak hanya kalangan intelektual saja. Apalagi lagu-lagu kritis bertema kritik sosial khususnya tentang pemberantasan korupsi sudah lama tidak hadir di negeri ini.  


“Saya berharap, dengan mendengarkan lagu Terjerat Utang Abadi ini, orang akan lebih peduli dengan kasus BLBI. Orang mendengar lagunya terhibur, kemudian menjadi peduli dan paling tidak mendukung penuntasan kasus BLBI yang hingga kini belum tuntas,” ungkap Hardjuno. 


Selanjutnya selain meluncurkan beberapa lagu bertema kritik sosial, Harjuno menilai untuk memunculkan simpati dukungan rakyat, selain kebijakan moratorium kunker DPR dan evaluasi tunjangan DPR yang sudah dilakukan. Hardjuno juga berharap Presiden Prabowo menugaskan aparat penegak hukum (APH) memberi perhatian serius pada kasus-kasus hukum yang belum selesai seperti skandal BLBI, pagar laut di Tanggerang dan Bekasi, dan beberapa kasus hukum lain yang “penuntasannya diduga” tidak menjawab rasa keadilan masyarakat. 


Terkait kasus pagar laut di Tangerang dan Bekasi oleh para oligarki yang bekerja sama dengan pemegang kebijakan, Dirinya menilai sampai saat ini persoalan pagar laut belum cukup jelas akan dibawa ke mana. “Perlu langkah konkret dari lembaga penegak hukum untuk menuntaskan persoalan ini. Apakah itu Kejaksaan Agung atau Kepolisian, publik perlu segera mendapat sinyal penegakan hukum yang jelas dan tidak berputar-putar di soal administratif seperti yang melibatkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),” ujar Hardjono.


Hardjuno mengingatkan, skandal BLBI telah menimbulkan kerugian negara yang amat besar. “Kerugian negara akibat BLBI mencapai ratusan triliun rupiah. Dalam catatan Pansus, potensi kerugian yang tidak tertagih bisa menembus lebih dari Rp110 triliun. Ini bukan angka kecil, dan pemerintah tidak boleh abai,” tegasnya.


Hardjuno menyoroti kembali temuan terbaru bahwa Bank Central Asia (BCA) masih memiliki kewajiban sebesar Rp26,5 triliun terkait BLBI, sebagaimana diberitakan media nasional pada Agustus 2024 lalu.


Fakta ini, kata dia, menunjukkan persoalan BLBI belum benar-benar selesai meski sudah lebih dari dua dekade berlalu. “



" Bagaimana mungkin sebuah bank besar yang kini menjadi penopang sistem keuangan nasional masih menyisakan utang BLBI triliunan rupiah? Ini membuktikan rekomendasi Pansus DPD agar dilakukan penagihan tegas tidak pernah sungguh-sungguh dijalankan,” kata Hardjuno.


Ia menambahkan, penyelesaian BLBI bukan sekadar urusan masa lalu, melainkan juga menyangkut kredibilitas negara dalam menegakkan hukum dan keadilan. “Jika pemerintah tidak serius menindaklanjuti rekomendasi Pansus, publik bisa menilai ada standar ganda dalam penegakan hukum. Kasus ini ujian bagi integritas negara,” ujarnya.


Hardjuno mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk menjadikan momentum ini sebagai bagian dari agenda reformasi ekonomi. “Presiden harus menunjukkan keberanian politik untuk menutup babak BLBI dengan adil, transparan, dan berkeadilan. Jangan sampai rakyat terus menanggung beban akibat praktik masa lalu,” cetusnya. ,( )

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.