Oleh : H Albar Sentosa Subari, SH SU ( Ketua Lembaga Adat Peduli Marga Batang Hari Sembilan )
dan
Marshal ( Pemerhati, pengamat Sosial dan Adat )
Muara Enim. Khatulistiwa news (12/12) Pertanyaan awal adalah dimana korelasi antara Pemerintah Kabupaten dan Kota dalam rangka menyongsong Kitab Undang Undang Hukum Pidana Nasional.
Kitab Undang Undang Hukum Pidana Nasional ( Undang Undang Nomor 1 tahun 2023) , yang selanjutnya disingkat KUHP, disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 2 Januari 2023, dan diundang pada tanggal 2 Januari 2023 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1.
Dalam Pasal 624, dikatakan Undang Undang ini mulai berlaku setelah 3 ( Tiga) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan.
Dengan demikian berarti pada tanggal 2 Januari 2026 akan diberlakukan secara sah di seluruh Nusantara.
Apa kaitannya dengan Pemerintah Kabupaten dan Kota.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pemerintah daerah baik kabupaten dan kota adalah wilayah di mana berdomisili nya komunitas masyarakat hukum adat yang memiliki satu sistem hukum yang disebut " hukum yang hidup dalam masyarakat ( istilah KUHP Nasional).
Dalam teori ilmu hukum adat modern bermakna sama digunakan juga istilah" Nilai Nilai yang hidup dalam masyarakat ( istilah UU Nomor 14 tahun 1970- undang undang pokok kehakiman). Istilah yang populer dalam masyarakat di sebut " hukum adat '( adatrecht).
Walaupun Guru besar ilmu hukum adat Universitas Gadjah Mada membedakan antara istilah dan makna hukum adat dengan adatrecht tersebut.
Hukum adat berlaku untuk pribumi ( tidak tertulis) sedangkan adatrecht berlaku untuk Timur asing ( sebagian ada yang tertulis).
Di dalam bab XXXIV, tentang tindak pidana berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat - Pasal 597 KUHP Nasional;
(1), Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana.
(2), Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemenuhan kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf g.
Pasal 66 ayat (1) huruf g berbunyi" pemenuhan kewajiban adat setempat.. yang merupakan pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf b.
Dalam penjelasan pasal 597: yang dimaksud dengan" perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang " dilarang" mengacu pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini.
Di dalam Pasal 1 ayat (1), Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana/ tindakan, kecuali ada kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1),
Yang dimaksud dengan ' hukum yang hidup dalam masyarakat " adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana.
Hukum yang hidup di dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, Peraturan Daerah mengatur mengenai Tindak Pidana adat tersebut.
Ayat ( 2 ) , Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan" berlaku dalam tempat hukum itu hidup " , adalah berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana adat di daerah tersebut.
Ayat ini mengandung pedoman dalam menetapkan hukum pidana adat yang keberlakuan nya diakui oleh undang undang ini.
Ayat (3) Peraturan Pemerintah dalam ketentuan ini merupakan pedoman bagi daerah dalam menetapkan hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Peraturan Daerah.
Dengan membaca ketentuan ketentuan Pasal pasal serta dalam penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal yang berkaitan dengan " hukum yang hidup dalam masyarakat" .
Bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut disebut hukum adat . Untuk pelanggaran hukum adat disebut Tindak Pidana adat.
Suatu tindak pidana adat yang merupakan suatu perbuatan yang menyimpang dari hukum adat ( hukum yang hidup dalam masyarakat), baru diakui sebagai bentuk hukum pidana tambahan setelah pidana adat tersebut dimasukkan lebih dahulu kedalam peraturan perundang-undangan melalui Peraturan Daerah ( PERDA) kabupaten dan kota. Yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah maksimal harus terbit PP nya.
Jadi disini jelas korelasinya antara keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana pasal 597 KUHP Nasional, peran pemerintah daerah adalah untuk membuat Perda lebih dahulu.
Tentu untuk merumuskan Perda dimaksud harus adanya kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten dan kota dengan pihak akademisi atau tokoh- ketua lembaga adat di masing masing dimana hukum yang hidup dalam masyarakat hukum berlaku, untuk dirumuskan dalam bentuk tertulis ( peraturan perundang-undangan) .
Sumatera Selatan memiliki sejumlah 17 Kabupaten dan Kota. Yang masing masing kabupaten kota sudah memiliki pedoman yang disebut kompilasi hukum adat di Sumatra Selatan ( sebelum pemekaran waktu itu ada 10 Pemda kabupaten kota).
Kompilasi tersebut disusun Dewan Penasehat dan Pembinaan Adat Istiadat tahun 2001, di mana penulis termasuk dalam tim penulisan, yang diawali penelitian dan pengeditan.
Jadi dengan modal kompilasi ini bisa dilakukan penelitian ulang oleh tiap tiap kabupaten kota disesuaikan dengan kondisi sekarang sebagai hukum yang adat yang masih berlaku. Masih berlaku nya itu di dasarkan pada adanya Peraturan Daerah ( PERDA).
Kompilasi Adat Istiadat tersebut disusun berdasarkan konstruksi di dalam Simbur Cahaya.
( Ada yang menyebutnya Undang Undang atau Kitab Undang Undang Simbur Cahaya).
Penggunaan istilah Kompilasi bermakna himpunan pemikiran atau penelitian. Seperti istilah Kompilasi Hukum Islam, penjabaran para ahli fiqh Islam yang mengutip dari hukum syar'i. Yang menjadi pedoman bagi hakim untuk memutuskan perkara di Pengadilan Agama.
Sama nanti dengan Kompilasi Hukum Tindak Pidana yang menjadi pedoman bagi hakim di pengadilan umum untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa kewajiban adat yang harus dijalani oleh terpidana.
Setelah kompilasi tersebut disusun menjadi suatu aturan bernama Peraturan Daerah ( PERDA). (Redaksi)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar