BERITA TERKINI

JAM-Pidum Menyetujui 10 Restorative Justice, Salah Satunya Perkara KDRT di Tebing Tinggi

 



JAKARTA, Khatulistiwa news (30/04) - Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 10 (sepuluh) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Rabu 30 April 2025. jakarta 


Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Jhony Wijaya Sumbayak alias Jhony dari Kejaksaan Negeri Tebing Tinggi yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.


Kronologi bermula pada hari Senin tanggal 14 Oktober 2024, sekitar pukul 18.15 WIB, Tersangka Jhony Wijaya Sumbayak alias Jhony berada di halaman rumah orang tuanya yang beralamat di Jalan Kutilang, Lingkungan II, Kelurahan Lubuk Baru, Kecamatan Padang Hulu, Kota Tebing Tinggi. Pada saat itu, Saksi Korban meminta Tersangka untuk masuk ke dalam rumah. Namun, Tersangka menolak permintaan tersebut dan pergi meninggalkan lokasi.


Beberapa saat kemudian, masih di hari yang sama, Tersangka kembali datang ke rumah Saksi Korban Desmon Saragih dengan cara mengetuk jendela rumah dan meminta agar diizinkan masuk. Saksi Korban kemudian membuka pintu dan mengizinkan Tersangka masuk ke dalam rumah.

Setelah berada di dalam rumah, Tersangka meminta sejumlah uang kepada Saksi Korban sebesar Rp25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) dengan alasan untuk modal usaha. Permintaan tersebut ditolak oleh Saksi Korban dengan alasan tidak memiliki uang.


Penolakan tersebut memicu kemarahan Tersangka, yang kemudian mendekati Saksi Korban dan melakukan kontak fisik dengan membenturkan bahunya ke arah tubuh Saksi Korban sebanyak kurang lebih enam kali.

 Tersangka kemudian membenturkan bahunya ke arah wajah Saksi Korban hingga mengenai bagian bibir, yang menyebabkan luka terbuka dan mengeluarkan darah.


Akibat tindakan kekerasan tersebut, Saksi Korban mengalami luka gores pada bibir bagian bawah, sebagaimana dibuktikan dalam hasil Visum Et Repertum Nomor: 593 / VER / IX / 2024 / RSBTT, tertanggal 14 Oktober 2024, atas nama korban Desmon Saragih.


Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Tebing Tinggi, Muchsin, S.H., M.H., Kasi Pidum Septeddy Endra Wijaya, S.H., M.H. serta Jaksa Fasilitator Heppy Kristina Sibarani, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.


Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Saksi Korban. Lalu Saksi Korban meminta agar proses hukum yang dijalani oleh Tersangka dihentikan.


Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Tebing Tinggi mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Idianto, S.H., M.H


Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Rabu, 30 April 2025.


Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap 9 (sembilan) perkara lain yaitu:

Tersangka Nur Imam Subiyantoro bin Muriyono dari Kejaksaan Negeri Sambas, yang disangka melanggar Pertama Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Kedua Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.


Tersangka Toni Alias Oton anak dari Ajodin (Alm) dari Kejaksaan Negeri Mempawah, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga.


Tersangka Muhammad Rizqi Aryadinata alias Rizqi Ak Absul Razak dari Kejaksaan Negeri Sumbawa, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (4) jo. Pasal 5 huruf a Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.


Tersangka I Hazrul Falah alias Azrul, Tersangka II Deny Ihwan Al Iksana ls Denis, Tersangka III Muhamad Alfarid, Tersangka IV Mavi Adiek Garlosa, Tersangka V Rifqi Rahman als Rifqi dan Tersangka VI Kharisman Samsul als Samsul dari Kejaksaan Negeri Mataram, yang disangka melanggar Pasal 170 Ayat (1) KUHP tentang Pengeroyokan.


Tersangka Fander Sasue dari Kejaksaan Negeri Kepulauan Talaud, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.


Tersangka Muhammad Tayib dari Kejaksaan Negeri Buleleng, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.


Tersangka Erwin Johannes Simanungkalit  dari Kejaksaan Negeri Natuna, yang disangka melanggar Pertama Pasal 378 KUHP tentang Penipuan atau Kedua Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.


Tersangka I Joni Kantor als Pak Acok bin Ali Alaito dan Tersangka II Cecep Supriyoto dari Kejaksaan Negeri Bintan, yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.


Tersangka I Cecep Supriyoto  dan Tersangka II Joni Kanto als Pak Acok bin Ali Alaito dari Kejaksaan Negeri Bintan, yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.


Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:

Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;

Tersangka belum pernah dihukum;

Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;

Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;

Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;

Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;

Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;

Pertimbangan sosiologis;

Masyarakat merespon positif.


“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum. ( Niko)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.