Oleh : H. Albar Sentosa Subari ( Pengamat Hukum Adat )
Dan
Marshal ( Pemerhati Sosial dan Hukum Adat Indonesia )
Muara Enim. Khatulistiwa news (13/08) Dari Pekanbaru Riau ke Bangka Belitung begitulah salah satu isi rekomendasi dari hasil kesepakatan musyawarah ke lima Lembaga Adat Rumpun Melayu di kota Pekanbaru Riau yang dilaksanakan dari tanggal 8-10 Agustus 2025 bertempat di ruang Tenas Effendy Balai Adat Lembaga Adat Rumpun Melayu jalan Diponegoro Riau.
Di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga memang ditentukan bahwa kegiatan pertemuan silaturrahmi anggota lembaga adat rumpun Melayu dilaksanakan satu tahun sekali, hasil kesepakatan bersama.
Sedangkan Musyawarah Kerja, yang dulunya tiga tahun sekali namun pada musyawarah kelima dilakukan perubahan yaitu lima tahun sekali seiring dengan pergantian sebagai Ketua LARM se Sumatera.
Untuk tahun 2026 disepakati akan dilaksanakan pertemuan di Kepulauan Bangka Belitung, dalam rangkaian mengevaluasi program program yang telah disetujui pada musyawarah sebelum.
Sebagai informasi bahwa kelembagaan adat yang tergabung dalam LARM se Sumatera adalah: kelembagaan adat yang berasal dari 10 provinsi di Sumatera meliputi Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Bangka Belitung dan Lampung.
Salah satu dari kegiatan lembaga lembaga adat tersebut adalah melakukan pelestarian, pengembangan adat budaya dan hukum adat masing provinsi yang umumnya bernuansa Melayu.
Sekarang yang menjadi fokus utama adalah memperjuangkan agar disahkan nya RUU Masyarakat Hukum Adat menjadi Undang Undang.sebagai mana mandat Konstitusi pasal 18 B ayat 2 UUD RI tahun 1945, Kalau dihitung jangka waktu nya dari awal perencanaan nya sudah hampir memakan waktu dari tahun 2006 saat Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidatonya di Taman Mini Indonesia Indah saat memperingati hari masyarakat hukum adat sedunia.
Sebagai mana dikutip oleh media massa tanggal 10 Agustus 2006.
UU Masyarakat Hukum Adat diharapkan menjadi payung hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yang nantinya diharapkan masyarakat hukum adat dapat memperjuangkan hak hak konstitusional nya, salah satu nya mengenai Tanah Adat ( Hak Ulayat, Tanah Marga). yang sekarang kondisinya belum maksimal dimanfaatkan oleh masyarakat hukum adat.
Apalagi sekarang ada kebijakan pemerintah untuk melaksanakan regulasi peraturan perundang-undangan melalui kementerian Agraria.
Di mana Pemohon atau pemilik dari pemegang Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha yang telah bersertifikat apabila dalam kondisi tidak digarap selama dua tahun berturut-turut akan disita oleh negara, informasi ini membuat masyarakat umumnya maupun masyarakat hukum adat memaknai nya simpang siur, malah dijadikan berbagai bagaimana anekdot anekdot baik yang bersifat bergurau maupun ada rasa ke khawatiran masyarakat.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku: agar menjadikan dirinya sebagai LEGAL STANDING ( memiliki kewenangan sebagai pihak yang dapat berdiri sendiri di muka hukum), maka harus memiliki dasar hukum. Setidak tidaknya adalah Peraturan Daerah Kabupaten dan Kota. Karena undang undang khusus belum ada maka bisa menggunakan undang undang parsial.
Belum lagi di desak keluarnya Undang-undang Nomor 1 tahun 2023, tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana baru, yang mengakomodir berlakunya Hukum Adat dengan istilah Hukum yang hidup dalam masyarakat, sepanjang telah menjadi hukum positif tertulis.
Ini tugas yang sangat mulia dari keberadaan Lembaga Adat Melayu umumnya dan LARM Se Sumatera khusus. Agar semua nya dapat terealisasikan. ( red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar