BERITA TERKINI

Hukum VS Politik.

 


Oleh : H. Albar Sentosa Subari ( Pengamat Hukum )

Dan 

Marshal ( Pemerhati Sosial  dan Politik )


Muara Enim. Khatulistiwa news (25/08) Semakin lama semakin bingung kita melihat suasana kondisi dewasa saat ini.

Baru saja usai mendengar pernyataan pernyataan dari pihak Eksekutif melalui beberapa kementerian yang sampai sampai menjadi viral di dunia Maya, ataupun juga sudah berdampak pada kehidupan sosial politik masyarakat.

Sekarang menyusul pernyataan dari pihak legislatif yang rasanya secara yuridis normatif sesuatu yang tidak logis.

Di mana pada hari Rabu 20 Agustus 25 saat sidang rapat kerja komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK)., wakil ketua komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Ahmad Sahroni, minta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk berkomunikasi dulu dengan pimpinan partai, seandainya kader partainya Operasi Tertangkap Tangan ( OTT), alasannya bahwa tanpa komunikasi merasa partai DILECEHKAN.

Kalau kita pilah pilah secara akal sehat bahwa dua lembaga dimaksud ( KPK lembaga penegak hukum - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia adalah lembaga legislatif), yang masing masing sudah mempunyai kewenangan nya masing masing sebagaimana mana telah di atur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Belum lagi kalau dianalisis secara yuridis, lembaga penegak hukum mempunyai kemandirian ( independen) untuk menjalankan tugasnya bagi oknum yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum ( korupsi).

Kalau seperti ini dicampur adukkan satu sama lainnya dari tugas dan fungsi lembaga negara tentu akan menimbulkan tumpang tindih satu sama lain.

Tentu secara ilmu inteligen, yang namanya operasi Tertangkap Tangan adalah cara kerja secara sembunyi sembunyi terhadap seseorang yang diduga melakukan pelanggaran hukum: seandainya sebelum nya, harus dikomunikasikan dengan partai politik seandainya kader partainya berbuat tentang namanya bukan lagi kena operasi. Bukan tidak mungkin patut diduga nanti akan berdampak yang lain. Sehingga penegakan hukum sia sia.

Padahal di dalam konstitusi sudah jelas jelas negara kita negara hukum.


Pasal 3 ayat ( 3) UUD NRI tahun 1945 berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum.

Sebagai negara hukum tentu maksud adalah hukum yang berdaulat bukan politik. Hukum menjadi pengawal jalan nya pemerintahan. 

Semua orang sama di muka hukum dan pemerintahan. Apabila terjadi pelanggaran maka akan melanggar hak asasi manusia.

Walaupun mungkin secara faktual itu sangat sulit untuk di jangkau oleh orang orang yang tidak memiliki kekuasaan dan kekuatan.

Kembali kepada pernyataan wakil ketua komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia itu, maka akan terjadinya praktik praktik yang tidak sesuai dengan negara hukum.

Seseorang kader partai politik yang melakukan tindak pidana umumnya atau tindak Pidana Khusus ( korupsi). Itu adalah perbuatan nya yang menyimpang yang dilakukan secara individual, tidak ada kaitannya sebagai salah satu dari partai politik di mana dia menjadi kader.

Apakah yang sebenarnya ini memalukan partai yang bersangkutan, kok kayaknya harus terlebih dahulu dikomunikasikan dengan partai yang bersangkutan??.

Seharusnya partai yang bersangkutan kalau memang terbukti kadernya melakukan tindak pidana maka segera di non aktifkan. Jangan sampai mencemarkan nama baik kelompok nya.


Ironisnya hal tersebut tidak akan pernah terjadi malahan yang bersangkutan dilindungi bahwa mungkin akan mengganggu independensi penegak hukum lainnya ( jaksa hakim dan sebagai.).

Hal ini sebenarnya dalam negara hukum tidak boleh terjadi, karena semua orang sama di muka hukum tanpa kecuali . Sebagaimana termuat dalam pembukaan UUD 45. Negara menjamin keadilan bagi semua warganya itulah makna dari kemerdekaan. (Red)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.