JAKARTA, Khatulistiwa news (15/07) - Perekonomian Indonesia berada di ambang risiko sistemik jika Pemerintah tidak segera membenahi fondasi industri dan menghapus praktik pajak siluman yang menjerat dunia usaha sebagai mesin pertumbuhan ekonomi.
Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko menjelaskan bahwa persoalan struktural seperti kebergantungan pada barang impor murah asal Tiongkok yang mematikan industri dalam negeri, ditambah beban pajak siluman (tidak resmi) membuat industri nasional tidak memiliki lagi daya saing yang cukup untuk bertahan, apalagi berkembang.
“Kalau industri nasional terus ditekan dari dalam oleh pajak siluman dan dari luar oleh banjir impor, maka mustahil kita bisa berbicara soal daya saing,” ujar Aditya dalam keterangannya dilansir. Jakarta, Senin (14/7).
Dia mengingatkan bahwa meskipun pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 6 persen atau lebih, angka tersebut tidak akan pernah tercapai jika kebijakan fiskal dan industrialisasi tidak didasarkan pada realitas di lapangan.
Aditya menyoroti lemahnya strategi pembangunan industri substitusi impor dan perlindungan terhadap sektor-sektor strategis nasional. Pemerintah seharusnya membangun kerja sama konkret dengan swasta untuk memperkuat industri substitusi impor, terutama pangan dan bahan baku.
“Pemerintah dan swasta harus bekerja sama dan bisa membangun impor substitusi, ?industri yang mempunyai daya saing,” katanya.
Kalau hanya mengandalkan swasta, rasanya tidak akan mungkin, karena pajak siluman tinggi. Pemerintah tegasnya harus membela habis industri nasional yang dibutuhkan masyarakat Indonesia supaya tidak kehilangan daya saing
“Kalau ini dilakukan dengan serius, pajak akan naik secara alami karena basis ekonominya tumbuh, dan lapangan kerja pun terbuka,” jelasnya.
Selain tekanan terhadap industri nasional baik serbuan barang impor dan dari oknum yang menarik pajak siluman, Aditya juga menyoroti iklim investasi di Indonesia yang belum kondusif.
Jika dibandingkan iklim usaha di Indonesia dengan negara seperti Tiongkok, maka di dalam negeri sangat jauh tertinggal. Untuk perizinan industri saja di Tiongkok bisa selesai dalam seminggu dan pelaku usaha difasilitasi penuh.
“Di Indonesia, belum jalan sudah dipajakin, belum untung sudah diperas, sehingga tadinya berharap bisa menghasilkan susu (keuntungan-red), tapi susunya sudah tidak keluar. Itu pun masih diperas terus,”papar Aditya.
Seiring dengan ancaman kenaikan tarif barang dari Amerika Serikat (AS) terhadap produk Indonesia, Aditya meminta Pemerintah untuk memikirkan persoalan tersebut secara serius dengan membangun industri hulu, seperti industri susu yang mana saat ini 90 persen masih diimpor.
Pemerintah pun diimbau menawarkan win win solution yang saling menguntungkan perdagangan kedua negara. Dengan demikian, diharapkan AS akan melihat kalau RI sudah berusaha, dan mungkin tarif bisa turun 10-15 persen sehingga ekspor nasional bisa meningkat ke AS.
Sinyal Bangkrut
Tantangan ekonomi lainnya kata Aditya yang penting untuk dicarikan solusi adalah utang negara yang terus bertumpuk tanpa didukung produktivitas ekonomi riil. Hal itu berpotensi mendorong Indonesia menuju jurang kebangkrutan.
“Kalau pertumbuhan utang lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi riil yang produktif, itu bukan lagi risiko, itu sinyal bangkrut,” kata Aditya.
Pada kesempatan berbeda, Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menyebutkan bahwa salah satu akar kebocoran besar yang masih membebani keuangan negara hingga kini adalah skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ia menilai, pemerintah belum memiliki keberanian politik yang cukup untuk menuntaskan perampasan aset-aset negara yang lenyap sejak krisis moneter 1998.
“BLBI itu lubang hitam fiskal. Sudah ribuan triliun menguap. Kalau itu tidak ditutup, percuma kita bicara pajak atau ekspansi industri. Pendapatan pajak tidak akan pernah mengejar kebocoran itu,” kata Hardjuno.
Ia menegaskan bahwa reformasi perpajakan dan industri tidak akan membuahkan hasil jika pemerintah tidak tegas terhadap para pengemplang dana BLBI.
Menurut Hardjuno, solusi jangka pendek yang mungkin ditempuh adalah moratorium utang dan negosiasi ulang dengan kreditur pemegang rekap bond, sembari menuntaskan penegakan hukum terhadap kasus-kasus mega korupsi yang selama ini membebani anggaran negara.
“Kita sudah tidak kuat lagi menahan beban utang di atas utang. Pemerintah harus duduk dengan para kreditur dan berani moratorium. Ini bukan aib, ini strategi penyelamatan nasional,” kata Hardjuno.
Bonus Demografi
Rakyat Indonesia pun tidak bisa bermimpi ekonomi tumbuh 6 persen jika dasar fondasi perekonomian tidak didesain sekuat mungkin, apalagi berharap ekonomi tumbuh sampai 7 persen, rasanya sangat tidak masuk akal.
Bonus demografi yang diharapkan bisa menjadi daya ungkit pertumbuhan, bisa hilang berlalu begitu saja jika tidak dimanfaatkan dengan baik. Bahkan, bonus demografi bisa berbalik jadi beban, jika waktunya sudah berakhir dan RI di usia emas gagal naik kelas.
Tiongkok salah satu negara yang berupaya memaksimalkan bonus demografinya itu selama 20 tahun sejak awal 1990-an. Mereka berhasil memacu pertumbuhan ekonominya 10-12 persen, sehingga bisa mengangkat 700 juta rakyatnya yang miskin masuk kategori menjadi kelas menengah. Kondisi tersebut terbalik di Indonesia, karena kelas menengahnya malah turun kelas karena kehilangan waktu dan kesempatan akibat mismanagement dan korupsi.
Keduanya juga juga menyoroti potensi jebakan ekonomi jika Indonesia terlalu bergantung pada negara-negara seperti Tiongkok yang kini tengah mengalami gejala involution, situasi stagnasi produktif akibat over-supply dan krisis internal.
“Bonus demografi kita sedang habis begitu saja karena tidak dikelola seperti yang dilakukan Tiongkok pada era 1990-an. Sementara kita malah tergantung pada negara yang sedang melambat,” kata Aditya.
Dengan berbagai tekanan tersebut, keduanya sepakat bahwa jalan keluar Indonesia hanya bisa ditempuh melalui reformasi menyeluruh, yakni bersih-bersih perpajakan, proteksi industri strategis, penegakan hukum atas warisan kebocoran masa lalu, dan realisme dalam perencanaan ekonomi. Tanpa itu, mimpi menjadi negara maju akan tetap menjadi wacana di tengah kenyataan fiskal yang rapuh.
( Niko)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar