Oleh : KH. Taufik Hidayat, S Ag
Pendiri dan Pemimpin Pondok Pesantren La Roiba Kabupaten Muaraenim Sumatera Selatan.
Muara Enim Khatulistiwa news (16/07) Jika kita memberikan segenggam beras kepada anak yatim sebagai penghafal Al-Qur'an, kita sedang membuat perjanjian kepada Allah, bahwa hidup ini bukan hanya tentang kita. Bahwa harta kita bukan milik kita. Bahwa memberi bukan mengurangi, tapi menanam dan akan memetik hasilnya.
"Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tangkai ada seratus biji..." ( Surah Al-Baqarah ayat 261 ).
Subhanallah. Itulah matematika surghawi. Satu jadi tujuh ratus. Dan kita tahu bahwa Allah SWT. bisa melipatgandakannya tanpa batas.
Bayangkan jika yang kita beri sekilo gram beras pada anak yang setiap hari membaca Al-Qur'an. Maka setiap ayat yang ia baca, setiap huruf yang ia lafalkan, akan mengalir pahalanya kepada kita, tanpa kita harus duduk menghafal, tanpa kita harus memaksakan diri membaca Al Qur an di malam hari yang dingin. Inilah yang disebut amal jariyah. Mengalir terus, bahkan saat kita sudah jadi tanah.
Sering kita merasa kasihan kepada anak yatim dhuafa. Kita mengasihani mereka. Tapi sesungguhnya, kitalah yang membutuhkan mereka. Merekalah penjaga peradaban Qur'ani. Merekalah benteng dari dunia yang makin jauh dari nilai-nilai ilahi.
Kalau mereka tidak kita bantu, siapa yang akan menghafal Al-Qur'an di masa depan ? Siapa yang akan menghidupkan ayat-ayat Allah ketika dunia sibuk dengan hiburan kosong dan tayangan TikTok?
Mereka butuh makan, kita butuh keselamatan, kita butuh Syafaat kita butuh timbangan amal yang berat di hari yang tiada pertolongan kecuali amal Jariah kita.
Ketika kita bisa membayangkan ada seorang anak yang mengunyah sesuap nasi dari beras sedekah kita Sambil menyuap makanan yang sederhana itu, ia menghafal firman Allah SWT.
Bibirnya lirih menyebut kalimat-kalimat langit: Alif Laam Miim, Dzalikal kitaabu laa raiba fiih... Lalu setelah ia kenyang, ia lanjutkan hafalan berikutnya. Ia menyimpan ayat demi ayat di hatinya, menjadikan dadanya tempat tinggal Kalamullah. Dan engkau ? Engkau tidak tahu. Tapi Allah tahu.
Dalam sabdanya yang ringkas dan menggugah, Nabi bersabda:
"Jagalah dirimu dari api neraka, meskipun hanya dengan (sedekah) sebutir kurma."
(HR. Bukhari & Muslim)
Ini bukan sekadar anjuran bersedekah. Ini adalah undangan cinta dari langit kepada bumi---dari Tuhan kepada hamba.
Bayangkan, hanya dengan sebutir kurma di qiyaskan dengan segenggam beras, secuil niat tulus, kita bisa menjauh dari panasnya neraka. Allah tidak menilai besar kecilnya benda, tetapi berat ringannya keikhlasan. Dalam dunia komunikasi, pesan itu bukan pada volume suara, tapi getaran makna.
Maka dalam dunia amal, kebaikan bukan diukur dari besar kecilnya benda, tetapi dari seberapa dalam ia lahir dari hati. Sedekah, bagi orang beriman, adalah bahasa cinta yang diterjemahkan lewat tindakan.
Maka Rasulullah tidak meminta emas, perak, atau dinar. Beliau hanya menyebut sebutir kurma---karena Tuhan kita adalah Tuhan kasih yang memuliakan niat lebih dari nilai.
Lalu mari kita bawa renungan itu ke kenyataan: jika sebutir kurma bisa menjadi tameng dari api neraka, maka bagaimana dengan sebutir beras yang kita berikan kepada seorang anak yang sedang menghafal Kalam Tuhan?
Anak yang setiap hari menyimpan ayat demi ayat di dadanya. Anak yang mungkin makan hanya sekali sehari, tapi suaranya bergetar memanggil nama Tuhan dalam tiap lantunan.
Kita mungkin tak pandai berkhutbah. Kita bukan ahli tafsir. Tapi ketika kita memberikan beras untuk menguatkan langkah mereka, sesungguhnya kita sedang menanam pohon cahaya di ladang akhirat kita.
Mereka membaca ayat, kita menanam pahala. Mereka menangis dalam rindu kepada Allah, kita menampung air matanya dengan karung beras. Maka jangan remehkan sedekah. Jangan menunggu kaya untuk memberi. Karena yang menyelamatkan bukan besarnya benda, tapi besarnya cinta dalam memberi.
Anak-anak yatim dhuafa di pesantren kecil itu tidak minta banyak. Mereka tak ingin viral. Mereka tak butuh hadiah mewah. Mereka hanya ingin belajar. Mereka hanya ingin hafal Al-Qur'an. Dengan tikar usang, dengan lampu seadanya, dengan perut kadang kosong.
Tapi mata mereka bersinar. Seperti mata Bilal bin Rabah saat pertama kali mendengar adzan. Seperti mata Salman Al-Farisi ketika menemukan kebenaran setelah ratusan mil perjalanan. Betapa mulianya mereka.
Dan betapa celakanya kita kalau tidak peka terhadap anak yatim penghafal Al-Qur'an. Mereka tidak punya ayah yang menyuapi. Tidak punya ibu yang membelikan seragam baru.
Tapi mereka tetap hadir di majelis tahfiz. Duduk tegak di hadapan Al-Qur'an. Menjadi saksi bahwa Islam tetap hidup, bahkan di tengah kesederhanaan yang menyayat hati.
Dan kita bisa menjadi bagian dari mereka. Bukan dengan menghafal, bukan dengan mengajar. Tapi cukup dengan sekarung beras, bahkan hanya sebungkus pun, yang kau niatkan untuk mereka.
Sebutir kurma atau segenggam Beras yang Menyelamatkan.
Kisah nyata ini pernah diceritakan oleh para ulama: Ada seorang lelaki sederhana, yang di dunia tak terkenal. Ia bukan kyai, bukan penceramah, bukan donatur besar. Tapi ketika amalnya ditimbang di akhirat, ternyata ada satu yang membuat timbangannya berat: ia pernah setiap hari memberi makan anak yatim, meski hanya sesuap nasi.
Di hadapan Allah, makanan itu bersaksi. Ia berkata; "Aku diberikan kepada anak yang membaca ayat-Mu. Aku menjadi tenaga untuk menghafal Kalam-Mu."
Lalu Allah berkata: "Bukalah pintu surga untuknya, karena Aku telah menerima sedekahnya."
Bagi Wahai Ayah, Bunda, dan para dermawan yang masih ragu.
Tak ada sedekah yang terlalu kecil. Karena Allah tidak menilai besar kecilnya pemberian, tapi besar kecilnya keikhlasan.
Bahasa Cinta yang Tak Terucap.
Dalam komunikasi, ada yang disebut dengan nonverbal expression --- pesan yang tak diucapkan tapi sangat terasa. Seperti tatapan mata ibu saat anaknya lapar. Seperti pelukan ayah saat anaknya gagal.
Dan seperti sekarung beras yang diam saja, tapi memberi pesan: "Aku mencintaimu karena Allah. Aku ingin kamu kuat. Aku ingin kamu jadi penjaga Al-Qur'an."
Begitulah sedekah. Diam, tapi menggema. Tidak bicara, tapi menyelamatkan.
Mari Kita Kirimkan Beras Hari Ini. Tak harus menunggu kaya. Jangan tunggu ada lebih. Bersedekahlah saat sempit, karena itulah sedekah yang paling dicintai Allah. Kirimkan beras ke pesantren tahfiz yatim dhuafa. Cukup 1 liter. Cukup 1 genggam. Tapi dengan cinta.
Dan siapa tahu, ketika kita berdiri dengan gemetar di hadapan Allah, lalu amal kita begitu sedikit, datanglah seorang anak yang berkata:
"Ya Allah, aku bisa hafal ayat-Mu karena nasi dari tangannya."
Lalu Allah berkata: "Bukalah pintu surga untuknya."
Kita Tidak Akan Pernah Rugi,
Dalam setiap butir beras yang kita sedekahkan, ada cinta. Dalam setiap genggam nasi yang masuk ke perut anak yatim, ada harapan. Dalam setiap suapan yang menguatkan hafalan, ada cahaya yang memancar ke langit.
Jangan tunggu nanti. Jangan tunggu mampu. Jadilah bagian dari perjuangan mereka. Jadilah penyumbang cahaya dalam gelapnya dunia. Sebutir beras hari ini, bisa menjadi mahkota kemuliaan di akhirat nanti.
"Maa naqoshot Shadaqatun Min maalin.( Tidaklah sedekah itu mengurangi harta ) (HR. Muslim)
Dan janji Rasulullah tidak pernah salah.
(Marshal red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar