BERITA TERKINI

Hardjuno Wiwoho Dukung DPR RI Ungkap Skandal BLBI-BCA

 


JAKARTA, Khatulistiwa news (18/08) – Pengamat hukum dan pembangunan, Hardjuno Wiwoho memberikan dukungan penuh kepada DPR RI untuk mengusut tuntas dugaan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)– Bank Central Asia (BCA).

Sebab, kedua skandal keuangan negara ini sebagai simbol korupsi terbesar di Indonesia. 


Pasalnya, dana yang seharusnya digunakan untuk menyelamatkan bank-bank yang terpuruk akibat krisis ekonomi, justru banyak diselewengkan dan tidak dikembalikan kepada negara yang pada akhirnya menimbulkan kerugian negara yang signifikan. 

“Saya kira, skandal BLBI menjadi catatan kelam dalam sejarah Indonesia dan hingga kini masih menjadi sorotan karena belum tuntasnya penegakan hukum dan pengembalian kerugian negara. Demikian juga dengan BCA,” ujar Hardjuno di Jakarta, Senin (18/8).

Sebelumnya, anggota DPR RI dari Fraksi PKB Abdullah mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas dugaan skandal BLBI–BCA, setelah ekonom Sasmito Hadinegoro menyebut penjualan 51 persen saham BCA pada awal 2000-an bermasalah dan merugikan negara.

Menurut Hardjuno, pernyataan DPR sangat relevan untuk mengingatkan kembali publik terhadap kasus lama yang belum tuntas.


 “Momentum ini penting. Jangan sampai bangsa ini terus dibebani skandal masa lalu yang tidak pernah selesai. Saya mendukung statement dari Fraksi PKB mengenai skandal BLBI-BCA harus diungkap” urainya.

Penjualan BCA Tidak Penuhi Prinsip Tata Kelola


Kandidat Doktor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini menjelaskan, penjualan saham BCA kepada pihak swasta pada 2002 seharusnya dilakukan dengan mengedepankan prinsip good corporate governance. 

Namun sayangnya, transaksi tersebut tidak memenuhi standar tata kelola yang sehat.


“Nilai jual hanya sekitar Rp5 triliun. Padahal BCA punya aset Rp117 triliun dan memegang Obligasi Rekap senilai Rp60 triliun. Angka ini tidak sebanding dengan valuasi sebenarnya. Dari kacamata hukum dan tata kelola, patut diduga ada persoalan serius,” ujarnya.


Masih Ada Utang BLBI

Lebih jauh, Hardjuno mengingatkan bahwa sebagai mantan staf ahli Panitia Khusus (Pansus) BLBI DPD RI, ia pernah menemukan catatan bahwa BCA bisa diduga masih memiliki kewajiban terkait BLBI sebesar Rp26,596 triliun.


“Ini bukan angka kecil. Sampai hari ini, publik perlu tahu apakah kewajiban itu sudah benar-benar dilunasi atau tidak,” katanya.

Menurutnya, masalah BLBI tidak bisa dipandang selesai hanya dengan pembentukan Satgas.

“Transparansi harus jelas, akuntabilitas harus ditegakkan. Kalau tidak, rakyat yang akan terus menanggung bebannya,” tegas Hardjuno yang kini kandidat doktor Hukum Pembangunan Universitas Airlangga.


Obligasi Rekap, Beban Panjang Negara


Selain itu, Hardjuno juga menyoroti keberadaan Obligasi Rekap (OR) yang pernah dimiliki BCA. Obligasi yang diterbitkan pemerintah untuk menyehatkan perbankan pasca-krisis itu menimbulkan beban bunga besar.


“Negara telah membayar bunga rata-rata Rp7 triliun per tahun hingga 2009, dengan total mencapai Rp60,8 triliun. Itu artinya, APBN kita tersedot untuk menutup kebijakan masa lalu, sementara kewajiban pihak swasta belum selesai,” ujarnya.


Pidato Presiden Jadi Sinyal

Hardjuno menambahkan, pidato Presiden Prabowo Subianto pada 16 Agustus 2025 di Sidang Tahunan MPR memberikan sinyal tegas agar negara tidak kalah dari konglomerat nakal.


“Presiden menegaskan tidak ada yang kebal hukum. Itu selaras dengan semangat Hari Kemerdekaan: bangsa ini harus merdeka dari beban skandal ekonomi yang menghantui sejak masa lalu,” tegasnya.


Hardjuno menegaskan, kombinasi desakan DPR, kajian akademisi, serta komitmen Presiden harus ditindaklanjuti dengan langkah nyata. 


“Kalau negara sungguh-sungguh ingin merdeka secara ekonomi, maka kasus BLBI–BCA ini harus dituntaskan. Jangan sampai sejarah mencatat kita gagal menegakkan keadilan,” ujarnya. ( Niko)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.