BERITA TERKINI

Masyarakat ( Hukum) Adat, Disuruh Lari Tetapi Kakinya Masih Terikat

 


Oleh : H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan )

Dan 

Marshal ( Pemerhati Sosial dan Hukum Adat Indonesia )


Muara Enim,  Khatulistiwa news  (30/07) Terobosan secara luar biasa telah dilakukan oleh BP MPR RI periode 1999-2004, di dalam menyusun draft amendemen yang melahirkan Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 ayat (3), tentang kesatuan masyarakat hukum adat yang disetujui oleh Sidang Umum MPR RI tahun 2000, namun pada tingkat pelaksanaan, pengakuan dan penghormatan nya dan UUD NRI 1945 pasca amendemen ternyata mengalami kendala. Salah satunya ibarat seseorang dibebaskan dan diperintahkan untuk berlari tetapi kakinya masih terikat.

Diikat dengan persyaratan dan kriteria seperti dinyatakan di dalam Pasal 18 B ayat (2) suatu kesatuan masyarakat hukum adat diakui dan dihormati beserta hak hak tradisional nya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Merujuk kepada kriteria dimaksud maka berarti pasca amandemen,  Konstitusi kita telah memberikan ruang dan mengakui keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat meskipun tidak langsung menunjuk kepada masyarakat hukum adat yang dikenal selama ini.

Penempatan pengaturan masyarakat hukum adat pada Bab , VI di bawah pemerintahan daerah memang tepat karena aturan hukum diterapkan di atas wilayah masyarakat hukum adat adalah aturan aturan hukum (Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki).

Prof. Prajoedi Atmosoedirdjo, memberi nama: hukum daerah atau regional recht.

Masyarakat hukum adat menerapkan hukum hukum daerah di wilayah hukum nya. Tepat kiranya, manakah masyarakat masyarakat hukum adat merupakan bagian tak terpisahkan dari daerah daerah otonom, yang tersebar hampir di seluruh wilayah Nusantara. Hal tersebut berarti bahwasanya pembina dan perlindungan bagi masyarakat masyarakat hukum adat mereka kewenangan negara dalam hal ini pemerintah daerah ( kabupaten/ kota).

Di dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 2 ayat (9), kriteria sebuah masyarakat hukum adat juga disebutkan. Bahwa negara mengakui dan menghormati Kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak TRADISIONALNYA sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya, terkait dengan masyarakat hukum adat di atur di dalam bagian pemerintahan desa terkait dengan pemilihan kepala desa.

Pasal 203 ayat ( 3) UU Pemda menyatakan bahwa pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisional nya sepanjang masih hidup dan diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dengan PERDA dengan berpedoman pada peraturan pemerintah ( PP).


Menurut penulis Perda dimaksud adalah Perda kabupaten/ kota, BUKAN Perda Provinsi. ( Karena provinsi sebagai wilayah administrasi TIDAK mempunyai Yang namanya masyarakat hukum adat ( komunitas berdasar historis dan sosiologis maupun yuridis; IGO- IGOB).

Ketentuan dalam Undang Undang Pemda ( Pasal 203 ayat (3): tersebut menunjukkan bahwa pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat diakui hanya pada tingkat atau terkait dengan pemerintahan desa. Hal ini juga tercermin dalam Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 tentang DESA.

Pengakuan semacam ini tentu BELUM memenuhi amanat konstitusi karena aspek hukum yang tercakup dalam pengertian kesatuan masyarakat hukum adat tidaklah terbatas pada pemilihan kepala desa. Pengakuan juga harus diwujudkan pada aspek KEHIDUPAN masyarakat yang lain, misalnya dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Di sisi lain, pengakuan di dalam UU Pemda dan PP tentang seolah mengidentikkan besaran Kesatuan masyarakat hukum adat sama dengan wilayah administrasi desa tertentu. Padahal kenyataannya eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat, mencakup wilayah yang luas dari satu desa, kecamatan, kabupaten dan kota.


Lantas bagaimana membuktikan masyarakat hukum adat tersebut pada kenyataan masih ada?. Dan melalui apa pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat tersebut diupayakan sehingga hak hak nya dapat ditegakkan?

Untuk pertanyaan yang terakhir, pasal 67 ayat ( 2) menyebutkan; Pengukuhan keberadaan dan hapus nya masyarakat hukum adat sebagai mana dimaksud pada ayat ( 1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sedangkan untuk pertandingan pertama, penjelasan pasal 67 ayat (1), memberikan gambaran sebagai berikut. Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: a). Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban ( rechtsgemeenschap); b, ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa Adatnya; c, ada wilayah hukum adat yang jelas; d). ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati dan, e,) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitar nya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari hari.

Pasal ini sekaligus memberi makna bahwa masyarakat hukum adat sesuai dengan perkembangan nya dapat mengembangkan bentuk persekutuan nya menjadi pemerintahan setingkat desa sebagai mana disebut dalam penjelasan pasal 202 ayat (1). Desa yang dimaksudkan dalam ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di Sumatera Barat, Gambyong di Provinsi NAD, Marga di Palembang ( Sumatera Selatan).

Komunitas masyarakat hukum adat berhak menuntut pemerintah daerah masing masing untuk menetapkan wilayah adat mereka. Sebab perlindungan negara terhadap entitas masyarakat hukum adat sudah diberikan melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Yang perlu di dorong, partisipasi politik masyarakat adat mau mendorong setiap pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah guna perlindungan eksistensi masyarakat hukum adat.

Sesuai dengan janji Presiden tahun 2006, akan membentuk UU yang komprehensif tentang masyarakat hukum adat ( SAAT NYA DITAGIH SEKARANG).


Salah satu persoalan nya adalah sebagaimana penulis sampaikan sebagai Nara sumber pada Seminar Nasional tentang Otonomi Daerah - Hubungan Pusat dan Daerah Dalam Kontek Kaji Ulang UUD NRI tahun 1945 , dan sepenuhnya sependapat dengan hasil kajian Kolaborasi Purnawirawan TNI/Polri bersama 60 Perguruan Tinggi se Indonesia di dalam Naskah Akademik nya, pada tanggal 25 Juni 2025 di Kampus Universitas Sriwijaya Palembang.

Bahwa perlu pemberian otonomi daerah yang seluas luasnya kepada kabupaten dan kota untuk menyusun perda tersebut tanpa menunggu perintah atau persetujuan dari Provinsi lagi. 

Mengingat secara normatif hal itu merupakan kewenangan desentralisasi yang diberikan kepada kabupaten dan kota. Dengan segera terbentuk nya Perda Kabupaten tentang Eksistensi, Perlindungan Masyarakat Hukum Adat sambil menunggu UU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang telah dijanjikan oleh presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono di Taman Mini Indonesia Indah saat memperingati Hari Masyarakat Hukum Adat Se- Dunia. Agustus 2006, dimana penulis hadir langsung sebagai utusan masyarakat hukum adat dari Sumatera Selatan. ( red)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.