BERITA TERKINI

PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT



Marsal ( Pemerhati Sosial dan Hukum Adat Indonesia )

Bersama :

Zainul Marzadi .SH.MH. ( Dosen Univ Serasan Dan Peneliti Tanah Ulayat )




Muara Enim, Khatulistiwa news ( 16/10) Hak Ulayat itu di jamin Konstitusi, dan juga lebih kuat dari sertifikat tanah,

dalam sejarah perkembangan ke agrariaan/pertanahan di Indonesia pada umumnya dan dalam pembaharuan Hukum Agraria/Hukum Tanah Indonesia pada khususnya. Karena pada tanggal tersebut, 24 September 1960, Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno mensahkan Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria yang dikenal dengan nama Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 104 tahun 1960. (Harsono, 2008 : 1)

Sejak dahulu tanah memiliki daya tarik tersendiri  dan  selalu berkaitan dengan kekuasaan. Seorang raja yang Jaya atau makmur pada zaman dahulu digambarkan dengan luasnya tanah kekuasaannya. Seorang bangsawan dikatakan kaya jika dia memiliki sejumlah tanah yang luas. Tanah menjadi target penguasaan sebuah rezim atau dinasti yang berkuasa, perang selalu berakhir dengan hasil yang mengakibatkan pihak kalah memberikan tanah mereka kepada pihak yang menang. Reformasi telah memberikan peluang untuk memberikan perlindungan konstitusionalnya yang lebih kuat terhadap masyarakat hukum adat serta hak hak tradisionalnya.

Perlindungan terhadap masyarakat hukum adat ini secara kronologis tercantum dalam Pasal 41 Ketetapan MPR RI Nomor Tap XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia dan dalam Pasal 18 B ayat (2) serta Pasal 28 I ayat (3) Undang Undang Dasar amendemen kedua tahun 2000. 


Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiiki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun.

Pada dasarnya, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ini termaktub dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (“UUD 1945”),

Pengakuan hak ulayat juga terdapat pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Untuk Masyarakat Hukum Adat agar dapat diakui dan mendapatkan Perlindungan Berdasarkan Pasal 5 (2) PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 52 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT harus Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mencermati:

Sejarah Masyarakat Hukum Adat;

Wilayah Adat; Hukum Adat;

Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan

Kelembagaan/sistem pemerintahan adat.

Sejarah Masyarakat Hukum Adat

Kesatuan masyarakat hukum adat sendiri adalah sekelompok orang yang memiliki identitas budaya yang sama, hidup secara turun temurun di wilayah geografis tertentu berdasarkan ikatan asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, memiliki harta kekayaan dan/atau benda adat milik bersama serta sistem nilai yang menentukan pranata adat dan norma hukum adat sepanjang masih hidup sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. [2] Pasal 1 angka 1Permen ATR/BPN 18/2019

Wilayah Adat 

Wilayah Adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat ( Pasal 1 aayat 2 PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 52 TAHUN 2014 )

Pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan sepanjang frasa “sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, yang selengkapnya berbunyi:

Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya berhak:

a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;

b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan

c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

Persekutuan masyarakat hukum adat dalam memelihara dan mempertahankan hak ulayat dilakukan dengan cara : 

a. Persekutuan berusaha meletakkan batas-batas di sekeliling wilayah kekuasaannya itu. Tetapi usaha ini lazimnya tidak dapat diselenggarakan secara sempurna, lebih lebih apabila masyarakat persekutuan tersebut, tempat tinggalnya tersebar dalam pendukuhan - pendukuhan kecil atau apabila daerah persekutuan tersebut, meliputi tanah-tanah kosong yang luas. 

b. Menunjuk pejabat-pejabat tertentu yang khusus bertugas mengawasi wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan.

 Petugas-petugas itu sering disebut  jarring (Minangkabau), teterusan (Minahasa), kepala kewang (Ambon), lelipis lembukit (Bali). Disamping petugas khusus ini, biasanya diadakan pula patrol perbatasan. 

c. Dilakukannya surat-surat pikukuh atupun piagam yang dikeluarkan oleh raja-raja dahulu, yang dikeluarkan sebagai keputusan hakim-hakim kerajaan ataupun hakim-hakim pemerintah kolonial Belanda dahulu atau oleh pejabat-pejabat pamong praja lainnya yang berwenang. Wilayah kekuasaan (beschikkingebied) persekutuan itu adalah milik persekutuan yang pada asasnya bersifat tetap, artinya perpindahan hak milik atas wilayah ini adalah tidak diperbolehkan. 

Dalam kenyataannya terdapat pengecualian pengecualian, oleh karenanya di atas tadi ditegaskan pada dasarnya bersifat tetap Hukum Adat.

Hukum Adat  adalah seperangkat norma atau aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang hidup dan berlaku untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersumber pada nilai budaya bangsa Indonesia, yang diwariskan secara turun temurun, yang senantiasa ditaati dan dihormati untuk keadilan dan ketertiban masyarakat, dan mempunyai akibat hukum atau sanksi. ( Pasal 1 ayat 3 PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 52 TAHUN 2014 )

Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat

Benda adalah segala sesuatu yang dapat dipunyai oleh seseorang dan/atau masyarakat hukum adat baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Hak kebendaan ada- lah kewenangan yang melekat pada seseorang dan/atau masyarakat hukum adat baik karena alam maupun oleh hukum adat/moral

Kelembagaan/sistem pemerintahan adat

Lembaga Adat adalah Lembaga Kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu. ( Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan )

 *Lembaga Adat mempunyai tugas membina, melestarikan dan melindungi budaya dan adat istiadat serta hubungan antar tokoh adat dengan Pemerintah Desa dan Kelurahan* 

Dalam melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, bupati/walikota membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota . Pengakuan dan perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 52 TAHUN 2014 dilakukan melalui tahapan: 

a.Identifikasi Masyarakat Hukum Adat;

b. Verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat; dan 

c. Penetapan Masyarakat Hukum Adat.

Penatausahaan Tanah Ulayat Selain itu, untuk menjamin kepastian hukum, pemerintah juga menyelenggarakan penatausahaan tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat di seluruh wilayah Republik Indonesia. (Pasal 5 ayat (1) Permen ATR/BPN 18/20198]

 

Penatausahaan tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat dilakukan berdasarkan penetapan pengakuan dan perlindungan kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.( Pasal 5 ayat (2) Permen ATR/BPN 18/2019 )


Permohonan penatausahaan tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat.( Pasal 5 ayat (3) Permen ATR/BPN 18/2019 )

Penatausahaan tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat, meliputi: 

Pengukuran;

Pemetaan; dan

Pencatatan dalam daftar tanah. ( Pasal 5 ayat (4) Permen ATR/BPN 18/2019) 

 

Pengukuran dilaksanakan terhadap batas-batas bidang tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat yang telah ditetapkan. ( Pasal 6 ayat (1) Permen ATR/BPN 18/2019 )

 

Pemetaan 

Setelah dilakukan pengukuran, dilakukan pemetaan atas bidang tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat dalam peta pendaftaran tanah.(  Pasal 6 ayat (2) Permen ATR/BPN 18/2019 )

Pencatatan dalam daftar tanah

 Pengukuran dan pemetaan dilaksanakan sesuai dengan kaidah pengukuran dan pemetaan bidang tanah. Bidang tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat diberikan nomor identifikasi bidang tanah dengan satuan wilayah kabupaten/kota. Tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat dicatat dalam daftar tanah. ( Pasal 6 ayat (3), (4), dan (5) Permen ATR/BPN 18/2019 )

 

Jadi, agar tanah ulayat itu dapat diakui dan dilindungi, masyarakat hukum adat terkait harus terlebih dahulu diakui dan ditetapkan oleh bupati/walikota. Kemudian, baru dapat dilakukan penatausahaan tanah ulayat, sehingga tanah ulayat dapat didaftarkan di daftar tanah. (Redaksi) 

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.