BERITA TERKINI

PENYELESAIAN RESTORATIF* *MENCERMINKAN KEADILAN

 


Oleh :


H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Pembina Adat Sumsel ). 

Dan 


Marsal ( Pemerhati Sosial dan Hukum Adat Indonesia )



Muara Enim, Khatulistiwa news (03)10) -Keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan untuk menyelesaikan konflik hukum dengan menggelar mediasi diantara korban dan terdakwa, dan kadang-kadang juga melibatkan para perwakilan masyarakat secara umum.

Keadilan Restoratif juga disebut penerapan hukum progresif ( Satjipto Rahardjo, 2008).

Salah satu aksi progresif hukum adalah berusaha keluar dari belenggu atau penjara yang bersifat positivistik dan legalistik. 

Dengan pendekatan yuridis sosiologis, diharapkan selain akan memulihkan hukum dari keterpurukan, juga yang lebih riil, pendekatan yuridis sosiologis diyakini mampu menghadirkan wajah keadilan hukum dan masyarakat yang lebih substantif.

Apalagi cara cara penyelesaian Restoratif atau juga penerapan hukum progresif sudah lama dikenal oleh masyarakat hukum adat yang ada di Nusantara ( catatan Komnas HAM ada 1.027 suku atau etnis di Indonesia), yang disebut dengan Perdamaian Adat ( delik adat- istilah Prof Dr. R. Supomo SH) yang tujuan penyelesaian adalah keseimbangan akibat telah terjadi gangguan dari seseorang atau sekelompok orang terhadap orang atau sekelompok orang yang berakibat kerugian baik material maupun non material.

Di tengah keterpurukan praktek berhukum di Indonesia yang mewujud dalam berbagai realitas ketidakadilan hukum, terutama yang menimpa kelompok masyarakat miskin, sudah saatnya kita tidak sekedar memahami dan menerapkan hukum secara legalistik positivistik, yakni cara berhukum yang berbasis pada peraturan hukum tertulis semata ( rule bound), tetapi perlu melakukan terobosan hukum.

Dr. Hamonangan Albariansyah SH MH, dalam disertasi berjudul Penyelesaian Tindak Pidana Kealpaan Yang Mengakibatkan Kematian Pada Kecelakaan Kerja Melalui Keadilan Restoratif ( 2023) , menawarkan suatu proses penyelesaian di bidang ketenagakerjaan secara penerapan hukum restoratif . Dengan cara penerapan hukum progresif/ restoratif akan memuaskan keadilan bagi semua pihak, ( majikan dan pekerja). Yang selama ini selalu dipersalahkan adalah pekerja/ buruh saja, padahal kemungkinan peristiwa tersebut akibat kealpaan yang dilakukan oleh majikan. Sehingga perlu ditemukan titik keseimbangan nya.

Adapun dasar pemikirannya antara lain bahwa:

Pertama, karena kasus ketidakadilan hukum yang menimpa masyarakat miskin - maupun kasus besar terus menjadi fenomena dan sorotan tajam dari masyarakat dan media massa, baik cetak maupun elektronik. Publikasi yang begitu massif atas kasus kasus ketidakadilan hukum yang menimpa masyarakat miskin telah mendapat aksi solidaritas, simpatik dan empatik dari masyarakat luas;

Kedua, selama ini berbagai kajian dan penelitian terkait dengan kasus hukum yang terjadi di masyarakat, terutama yang menimpa kelompok masyarakat miskin, lebih banyak menggunakan pendekatan yuridis - normatif, yakni pendekatan yang berbasis pada apa yang telah tertulis dalam perundang-undangan. Sementara pendekatan sosiologi hukum masih sangat minim.( Satjipto Rahardjo, 2010).

Ketiga, karena adanya pemahaman yang kurang komprehensif dari aparat hukum kita dalam melihat dan menangani kasus kasus hukum yang menimpa kelompok masyarakat miskin. Para aparat hukum kita lebih bersandar pada pemahaman dan penerapan hukum normatif tertulis. Apalagi pemahaman hukum positivistik - legalistik ini diwarnai intervensi kekuatan politik - kekuasaan dan ekonomi. Ini yang kemudian melahirkan praktek diskriminatif hukum yang masif banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Dan masyarakat miskin terus menjadi korban hukum yang dirancang oleh kelompok tertentu yang memiliki akses politik - kekuasaan dan ekonomi ( istilah yang populer dewasa ini disebut dengan istilah oligarkis).

Pemahaman hukum secara sosiologis atas kasus hukum yang menimpa masyarakat miskin akan lebih mendekatkan pada lahirnya keadilan substantif, yakni keadilan di dasar pada moral dan kemanusiaan publik ( istilah O. Notohamidjojo, dalam bukunya Filsafat Hukum dan Keadilan menggunakan istilah Memanusiakan Manusia).

Di dalam kehidupan masyarakat yang mengalami perubahan perubahan transformatif yang sangat cepat, terkesan kuat bahwa hukum ( positif) tak dapat berfungsi efektif untuk menata perubahan dan perkembangan masyarakat. ( Prof. Soetandyo, 2002).

Bahwa berlaku nya hukum di tengah tengah masyarakat, mengembangkan tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya. Untuk menuju pada cita cita pengadilan sebagai pengayom masyarakat, maka pengadilan harus senantiasa mengedepankan empat tujuan hukum di atas dalam setiap keputusan yang dibuat nya. Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi dasar berpijak nya hukum yaitu " hukum untuk kesejahteraan masyarakat.

Prof. Dr. HM . Koesnoe SH menyebutkan sebagai cita hukum ( Rechtside di dalam pembukaan UUD NKRI tahun 1945).

Hukum yang lebih substansial, bukanlah hukum yang beroperasi dalam pasal pasal yang sangat kaku, dan eksklusif. Hukum dalam perspektif sosiologis adalah hukum yang bergerak dan beroperasi dalam dinamika nya yang aktual dan faktual dalam sebuah jaringan sosial kemasyarakatan. Hukum sosiologis lahir, hidup dan berkembang ( istilah Prof. Imam Sudiyat, SH adalah dinamis dan plastik. Istilah Prof. Djojodiguno bersifat mulut mengkerut).

Hukum sosiologis memiliki varian mekanisme sosio- yuridis dalam menyelesaikan pelbagai konflik sosial yang muncul dalam masyarakat.

Kasus terakhir dan menarik perhatian masyarakat/ warga negara Indonesia adalah kasus di Rembang Propinsi Kepulauan Riau.

Penyelesaian tidak dapat dilakukan dengan yuridis - normatif saja namun harus mengedepankan penyelenggaraan normatif empiris ( pendekatan hukum progresif atau disebut juga penyelesaian secara restoratif justice.


Kasus Rembang berawal dari rencana pemerintah pusat untuk membangun pabrik kaca di pulau Rempang Galang tersebut. Namun ditolak masyarakat di sana, karena mereka mau digusur ( peristiwa 7 September 23 pada awalnya). Karena di sana telah ada pemukiman penduduk asli Melayu, sebagai keturunan dari para pejuang kerajaan Lingga melawan penjajah.

Menurut beberapa sumber yang dipercaya mereka telah hidup secara turun temurun mulai abad 17 - 18 M.

Mereka mendiami 16 kampung tua dengan pola kehidupan sebagai nelayan dan petani, guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari hari.

Tentu mereka telah terbiasa dengan kultur serta adat istiadat mereka sebagai suatu komunitas masyarakat hukum adat yang tentunya di dalam nya terdapat nilai nilai budaya asli yang telah berakar kokoh.

Mengutip pendapat Prof. Koesnoe, bahwa tidak mungkin dapat hidup suatu masyarakat yang tidak memiliki atau menguasai tanah tempat mereka, lahir, hidup dan berkubur disana. 

Sehingga dengan demikian pola penyelesaian adalah tidak lain dengan pendekatan: culture, sosiologis dan agamais agar terdapat kesepakatan bersama antara pihak pihak yang bersengketa. Tidak elok kalau hanya diselesaikan dengan cara normatif yuridis semata, tapi juga harus dengan pendekatan sosiologi hukum ( dengan cara keadilan restoratif/ penerapan hukum progresif/ mencari keseimbangan sebagai pola kita bangsa Indonesia yang sudah turun temurun sejak nenek moyang kita dahulu. Hal itu tercermin dalam sila ke lima dari Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. (Redaksi) 

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.