PALU,Khatulistiwa news (11/11) - Gelombang penolakan terhadap penetapan gelar Pahlawan Nasional kepada Jenderal Besar Soeharto mulai bermunculan dari berbagai daerah, termasuk dari Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Siang hingga malam ini, pada Selasa (11/11/2025), sejumlah aktivis mahasiswa dari berbagai kampus di Palu bersama beberapa tokoh Aktivis 98 menggelar pertemuan dan diskusi terbuka di Sekretariat Himpunan Mahasiswa Sejarah (HIMSA) FKIP Universitas Tadulako.
Pertemuan tersebut mengangkat tema “Tolak Gelar Pahlawan Bagi Soeharto”, yang menjadi wadah refleksi sejarah sekaligus forum konsolidasi untuk menentukan langkah konkret.
Hadir, di kegiatan itu antara lain perwakilan organisasi intra dan ekstra kampus, serta tokoh-tokoh aktivis Palu seperti Agussalim, Yahdi Basma, Yusuf, dan Mey.
Dalam diskusi berlangsung penuh semangat, para peserta menilai bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Jenderal Soeharto melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 116/TK/2025 merupakan bentuk pengingkaran terhadap sejarah dan luka masa lalu bangsa.
Mereka menilai, keputusan tersebut tidak mempertimbangkan berbagai pelanggaran HAM dan praktik otoritarianisme yang terjadi selama masa pemerintahan Orde Baru.
Salah satu inisiator diskusi, Yahdi Basma, yang juga dikenal sebagai Aktivis 98 dan mantan anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah dua periode, menegaskan bahwa langkah yang akan diambil bukan sekadar simbolik.
" Kami akan menempuh jalur hukum dengan mengajukan Gugatan Tata Usaha Negara (TUN) terhadap Kepres No. 116/TK/2025. Namun, gugatan ini kami fokuskan sepanjang dan hanya terkait keberadaan nama Jenderal Besar Soeharto dalam Kepres tersebut,” tegas Yahdi.
Menurut Yahdi, pengajuan gugatan tersebut merupakan bentuk tanggung jawab moral generasi muda dan aktivis reformasi untuk menjaga kemurnian sejarah bangsa.
Dirinya menilai, pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional akan melukai hati para korban pelanggaran HAM, aktivis yang pernah ditahan, serta keluarga korban tragedi politik masa lalu.
Selain langkah hukum, para peserta pertemuan juga sepakat menggalang perlawanan masyarakat sipil secara lebih luas. Upaya tersebut akan dilakukan melalui dua jalur, yakni litigasi dan non-litigasi. Untuk jalur non-litigasi, mereka akan mengintensifkan diskusi publik, forum akademik, serta kampanye edukatif dari kampus ke kampus, guna menghidupkan kembali kesadaran sejarah di kalangan mahasiswa dan masyarakat umum.
“Gerakan ini tidak berhenti di ruang wacana. Kami akan mengorganisir konsolidasi lintas kampus, komunitas, dan organisasi masyarakat sipil untuk menyuarakan penolakan terhadap glorifikasi tokoh-tokoh yang punya catatan kelam dalam sejarah bangsa,” ujar Agussalim, salah satu aktivis yang turut hadir.
Para aktivis menyerukan agar pemerintah lebih berhati-hati dalam memberikan gelar kehormatan negara. Mereka menilai, penganugerahan gelar pahlawan seharusnya melalui proses yang transparan, berkeadilan, dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan.
“Kami tidak menolak pemberian gelar pahlawan secara umum, tapi kami menolak jika itu diberikan kepada sosok yang rekam jejaknya penuh kontroversi. Ini bukan soal politik, ini soal kebenaran sejarah dan tanggung jawab moral terhadap generasi mendatang,” tegas salah satu peserta diskusi dari perwakilan mahasiswa FKIP Untad.
Diskusi yang berlangsung hingga larut malam itu diakhiri dengan pembacaan pernyataan sikap bersama, yang intinya menolak penetapan gelar pahlawan bagi Jenderal Soeharto dan mendesak pemerintah untuk meninjau ulang keputusan tersebut.
Ke depan, HIMSA bersama jejaring aktivis kampus berencana menggelar Diskusi Serial Sejarah dan Demokrasi di sejumlah fakultas dan perguruan tinggi di Kota Palu. Kegiatan tersebut diharapkan menjadi ruang edukasi publik untuk menumbuhkan kesadaran kritis dan memperkuat komitmen terhadap nilai-nilai reformasi serta penegakan hak asasi manusia.
Dengan langkah hukum dan sosial yang mereka canangkan, para aktivis Palu berharap gerakan ini dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat di daerah lain turut ikut menyuarakan pandangan yang sama — bahwa gelar pahlawan bukan sekadar penghargaan simbolik, tetapi cerminan moral bangsa yang harus dijaga dari distorsi sejarah. ( Niko)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar