JAKARTA, Khatulistiwa news (20/11) - Jelang tahun 2024, tak terasa konstelasi politik mengiringi pencapresan tokoh - tokoh politik tanah air menjadi perbincangan, bahkan pemberitaan. Hal ini menjadi rasa penasaran tiap orang tentunya, apakah parpol bisa dibeli atau adakah parpol bisa dijual.
Menurut Hendri Satrio yang merupakan Analis Komunikasi Politik menyebutkan jika bisa dibeli, barang tentu bisa dijual. Kemudian, apabila ada kelompok yang ingin menguasai Indonesia, secara sadar di promosikan semua lewat parpol.
Lantaran, Parpol yang mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden, ujarnya saat di serial diskusi Ngopi Dari Sebrang Istana diselenggarakan Lembaga Survei KedaiKOPI bertajuk “Partai Politik bisa Dibeli ? Gosip atau Fakta ?" digelar di kawasan Juanda, Jakarta Pusat. Ahad (20/11/2022)
Mencermati peristiwa politik yang berlangsung di negari Jiran, ungkap Satrio apabila ditelaah secara Geopolitik, menoleh pada Malaysia pemilu pada kelompok Anwar Ibrahim unggul tipis dari kelompok Melayu Islam baru baru ini berlangsung
" Bahkan, UMNO yang dianggap Golkar nya di Malaysia peroleh suara kecil sekali. Di samping itu, Anwar Ibrahim belum tentu menjadi PM lantaran tergantung dari Sultan," tukas Hendri Satrio.
Lalu, yang menjadi perlu ditelaah apakah parpol ini, seperti vission ibarat seperti yang di Malaysia, bahwa Sultan yang menentukan PM ?, imbuh Analis pengkaji Komunikasi Politik penuh tanda tanya.
Soalnya, secara mikro perspektif, nampak Parpol dikerubungi oleh Lembaga Survei
Ada 3 nama tokoh besar bergelimpangan, namun parpol belum mengiyakan sampai saat ini seperti lembaga survey sudah mengeluarkan beberapa nama.
Menurut UUD 1945 hanya partai politik dan gabungan partai politik yang peserta Pemilu yang berhak mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, Berdasar hal tersebut bagi mereka yang ingin berkuasa namun tidak tergabung ke dalam partai politik manapun akan mencari peluang bagaimana caranya agar keinginan dan kehendak mereka dapat bertransformasi menjadi keinginan dan kehendak partai politik.
Sementara, Titi Anggraini yang merupakan peneliti dan perwakilan sedari lembaga survey menjelaskan Pemilihan di dalam konstelasi politik ini menciptakan anomali, dikarenakan menyebutkan ambang batas pemilihan calon dan wakil presiden, dan harus punya 20% dan atau 25 suara sah. sistem Presidensil rasa Parlementer, ujarnya.
Secara fakta, kemuka Titi bahwa parpol bisa dibeli atau tidak, motif tersebut nampak dan ada praktek demikian dalam pemilihan Kepala Daerah.
" Studi benturan kepentingan, oleh KPK saat Pilkada 2015, 2017 dan 2018. KPK mensurvey calon kepala daerah yang kalah. Sedari yang kalah mayoritas lebih dari 60%, menyerahkan uang kepada Parpol namun tidak dilaporkan dalam pendanaan partai ataupun kampanye," bebernya.
Dalam hal ini, ambang batas pilkada, sumbernya ada di DPRD kalo pemilu di DPR, hampir sama.
Partai rentan ada praktek praktek (jual beli) seperti itu. Ada jual beli, minimal ada sejumlah yang kalah mengeluarkan sejumlah uang, dan tidak dilaporkan sebagai dana kampanye, kata Titi Anggraini.
Dirinya sembari memberikan contoh permisalan bahkan menjelaskan bahwa perihal 'Candidasy Buying' tidak ada menguak.
" Di Jatim ,ada 45 miliar pencalonan Pilgub. Namun tidak ada pengungkapan sampai sejauh ini. Dibuat sangat sulit mengungkapkan praktek praktek semacam ini," ujarnya.
Sistem pemilu kita, ini sistem baru atau apa ? Menghindari kohenrensi dan konsistensi hingga menimbulkan anomali anomali baru
Sehubungan dengan kanalisasi itu tersedia dalam parpol. Mereka dipaksakan untuk bergabung, dan transaksi berupa bagaimana kabinet ke depan. Mau tidak mau, tidak alamiah, karena bangunan koalisi dan membentuk pencalonan bahkan tiket pencalonan
" Daripada kader saya tidak diterima oleh orang lain, maka itulah ambil diluar partai saja. Sayangnya, pragmatis tidak memiliki titik temu, karena transaksional uang . Problem besar anomalinya pemilu pemilu. Kalau dalam praktek pilkada itu bisa saja terjadi, kalaupun uangnya dari sana," ujarnya.
Hampir senada dengan narasumber sebelumnya, Haris Azhar, salah seorang penggiat HAM dan demokrasi mengemukakan, jikalau dibilang parpol bisa dibeli atau tidak, ungkap Haris bahwa sebenarnya, bisa. Karena, pasal 6 di konstitusi, Pilpres itu harus parpol. Maka bisa dicalonkan, lalu bisa dengan kursi 20%.
" Mati perdata itu orang orang partai. Semisalnya saja partainya hanya capai 7 persen, maka itulah mereka mesti patungan. Sementara, yang punya hajat siapa ?," bebernya.
Terindikasi ada 'praktek oligopoli', yang mana perencanaan harga siapa yang dapat dan lain - lain sebagainya, kemuka aktivis penggiat HAM tersebut.
" Simulasinya, beli saja nikel yang ada di partai tersebut. Booming baru nikel saat ini, namun uang bukan hanya Nikel. Kalau dulu emas, batu bara dan minyak sawit soalnya Konsumsinya sangat luar biasa," jelas Haris.
Ungkap Haris Azhar, jangan jangan yang main tambang di sumatera selatan, sama dengan yang main tambang di Sulawesi. Lahir dan berkembang di parpol , atau ikut parpol. Di soal sektor, ada dimana sekali sentuh bergerak semua.
Organisasi yang bekerja dan sangat mentereng sekali. Ada lagi wilayah dan pemetaan, mobilisasi di daerah daerah baru. Sayangnya, warga tidak mempunyai kapasitas untuk mengikuti itu semua. Seperti, ada hal hal tertentu di bandar atau pelabuhan. Padahal, itu memang perencanaan APBN dan BUMN, serta masyarakat tidak boleh diketahui.
" Soalnya, modal dan informasi dikuasai. Jika mengamati nyaris ga bisa. Dan ada ruang sedikit, dimana warga atau masyarakat men- demokratis kan sistem yang tidak demokratis ini," tukasnya
Akan tetapi, menurut Haris hanya Parpol yang konsisten secara ideologi. Mungkin, yang kuat itu adalah PDI P, karena secara prosentase dia bisa sendiri. Dan sudah 'show on', dan itu sebenarnya modal menyelamatkan mereka.
Kalau dibeli dan membeli, PDI P belum sampai ke sana. Karena ga mau gampang komunikasi dengan yang lain. Masih terjebak dengan adanya Puan, dan Ganjar Pranowo (GP). Parpol ini mesti dijagain, dimana tidak mudah dibeli dan dijual, pungkas Haris (Niko)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar