Oleh :
H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Pembina Adat Sumsel ).
Dan
Marsal ( Pemerhati Sosial dan Hukum Adat Indonesia )
Muara Enim, Khatulistiwa news (16/11) Menyongsong industrialisasi abad 21 orang Melayu generasi baru harus merubah beberapa nilai nilai yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman tanpa mesti merubah jati diri aslinya.
Kita harus berlandaskan Manusia Melayu hari esok harus lebih baik dari pada hari ini.
Landasan pertama ialah harus sepenuhnya mengenal jati diri Melayu itu. Memang Melayu menganut agama Islam, tetapi sejauh manakah mereka menyakini, menghayati dan mempraktekkannya?.
Rasa rendah diri ( golongan lain lebih hebat dari kita) dan ketergantungan pada bantuan orang lain masih membelenggu kita dan jika ini terus dibiarkan akan leluasa membunuh keyakinan, motivasi dan kreativitas kita. Jika Melayu terus bersikap negatif dan pasip, ia tidak mempunyai daya saing dan sekedar penonton dan meletakkan nasib dan Marwah mereka kepada orang lain. Kita tidak boleh melulu mencari kambing hitam terhadap nasib kita ini, sebagai jalan yang paling mudah untuk menutupi kelemahan sendiri. Sejarah perlu dikaji bukan untuk disalahkan tetapi harus mencetuskan reaksi dan pemikiran baru ke arah yang lebih baik.
Adapun konsep persaingan bukannya memusuhi lawan, tetapi adalah proses memperbaiki dan mengembangkan diri sendiri. Bahwa sebenarnya pada kita banyak unsur positif dan progresif, tetapi kurangnya motivasi tidak dapat ditingkatkan. Sebagai contoh para nelayan dan petani Melayu membanting tulang dari subuh hingga senja hari, tetapi hasilnya yang diperoleh sangat minim karena produktivitas ini disebabkan kekurangan bimbingan dari segi teknologi modern. Sistem pendidikan kitapun lebih banyak konsumtif dari pada arah penciptaan sesuatu yang baru. Jadi Melayu nanti harus lah punya falsafah yang tidak ngawur tetapi jelas identitasnya dan arahnya (visi) dan mempunyai adabtabilitas yang tinggi, menjadi pemimpin perubahan teknologi atau pemikiran dan menjadikan Islam sebagai teras segala aspek.
Kita lihat sejak masa kolonial orang Melayu lebih senang dikatakan " orang kampung", dengan kehidupan yang santai, sederhana, motif untuk secukupnya hidup saja, cukup banyak waktu untuk mengatai orang lain, iri dan dengki kepada kebolehan kawan, tidak produktif, membuang waktu secara mubasir, tidak dirangsang untuk persaingan meskipun banyak juga nilai yang positif seperti gotong royong, semangat berjiran dan lain lain.
Sudah tiba masanya potensi masyarakat Melayu di desa tertinggal dibangunkan dengan menggalakkan industri ringan, industri kerajinan tangan, industri pariwisata, perkebunan, peternakan dan lain lain yang dibina secara komersial.
Persaingan harus ada diantara mereka supaya kualitas meningkat dan mereka lebih kreatif dengan ide ide baru dalam pemasaran juga. Yang kita lihat sementara ini dikalangan kita ialah bahwa usaha yang baik yang didirikan oleh generasi pertama tidak dapat bertahan lama karena generasi berikutnya sering cekcok karena kurang baiknya manajemen menimbulkan rasa kecurigaan kepada yang lain. Oleh sebab itu kita tidak mau melihat lagi usaha yang cemerlang yang dibuat generasi pertama orang Melayu menjadi air yang tumpah ke daun keladi, tidak dikembangkan, malahan digagalkan oleh generasi penerus.
Meskipun tradisi Melayu di zaman abad 15 membanggakan ilmu, tetapi sejak akhir abad ke 19 ilmu tidak lagi didukung oleh para pemikir Melayu secara berkembang sehingga jauh tertinggal dari bangsa lain. Minat baca orang Melayu sangatlah rendah, padahal Islam menempatkan ilmu ditempat yang tinggi.
Begitu juga orang Melayu kini tidak lagi dapat menggunakan bahasa sendiri dengan baik, apalagi asing adalah kunci ilmu karena bangsa bangsa itu menjadi pemimpin ilmu dan teknologi.
Kelemahan kita ialah tidak dapat menghayati dan menterjemahkan pemikiran, falsafah dan ajaran Islam baik yang tersurat maupun yang tersirat.
Segala potensi kita sudah lengkap, unsur kegemilangan Islam dan Melayu, pemakaian nilai Islam, pada orang Melayu, jalinan budaya Islam dengan budaya Melayu dan amanah Islam yang tinggi adalah dari sekian alat yang menunggu kesungguhan orang Melayu untuk menggerakkan nya dan melahirkan Melayu baru.
Islam sendiri lahir untuk memberantas kebodohan dan kejahilan tetapi selama ini umat Melayu yang Islam itu membawa pandangan yang kontras kepada motif Islam itu sendiri.
Pendidikan ibu dan bapak di dalam rumah tangga juga memainkan peranan yang sangat penting untuk menjadikan anak Melayu menjadi " orang".
Tangan kaum ibu Melayu yang menghayunkan buaian bisa menggoncang dunia!.(Redaksi)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar