BERITA TERKINI

Sanksi Adat Dalam KUHP


Oleh : 


H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Pembina Adat Sumsel ). 

Dan 


Marsal ( Pemerhati Sosial dan Hukum Adat Indonesia )


Muara Enim, Khatulistiwa news Channel(23/07) -Undang undang nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Lembaran negara tahun 2023 nomor 1, Tambahan Lembaran Negara nomor 6842. Diundang pada tanggal 2 Januari 2023. Mulai berlaku setelah 3 tahun sejak diundang.

KUHP berisi 624 pasal, yang terdiri dari dua buku. Buku kesatu tentang Aturan Umum; Buku kedua tentang Tindak Pidana.

Khusus mengenai Pidana Adat ( sanksi adat) diatur di dalam Bab . XXXIV tentang Tindak Pidana Berdasarkan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat. Pasal 597 ayat (1).  Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana.

Ayat 2 nya; Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa pemenuhan kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf f.

Kitab Undang Undang Hukum Pidana pada hakekatnya merupakan suatu perwujudan dari perubahan dan pembaharuan berbagai aspek dan kebijakan yang melatar belakangi perlunya pembaharuan hukum pidana.

Dengan demikian, pembaharuan pidana yang dilakukan mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai nilai sosio-politik, sosio-filosofis, dan Sosio kultural masyarakat. Secara umum Hukum Nasional yang terwujud harus memperhatikan perbedaan latar belakang sosial budaya dan perbedaan kebutuhan hukum yang dimiliki oleh kelompok kelompok tertentu

Ismail Saleh (1991;69), mengatakan bahwa dimensi pembangunan hukum menuju sistem hukum nasional yang kita cita-citakan, yaitu dimensi pemeliharaan, pembaharuan dan penciptaan sedapat mungkin menggunakan pembangunan hukum nasional.Dengan demikian, cita cita unifikasi dalam bidang hukum tertentu yang kita usahakan akan sekaligus mampu menjamin tertuang ya aspirasi, nilai nilai maupun kebutuhan hukum dari berbagai ragam kelompok masyarakat kedalam sistem hukum nasional ( Ismail Saleh, ibid).

Bicara Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat, tentu menimbulkan pertanyaan apakah hal itu tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang merumuskan;

Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan / atau tindakan, kecuali adat kekuatan peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan tersebut.( Asas legalitas).

KUHP memperluas perumusan secara materil atas asas legalitas sehingga tidak mengurangi berlaku hukum yang hidup dalam masyarakat, beda dengan asas legalitas dalam WvS yang melihat dari sisi formal belaka.

KUHP masih memberikan tempat kepada sumber hukum yang tidak tertulis yang ada dalam kenyataan masyarakat sebagai dasar untuk mendapatkan patut dipidana ya suatu perbuatan ( Barda Nawawi).

Terhadap masalah ini, Muladi mengemukakan bahwa dasar yuridis untuk mengaktualisasikan atau rekriminalisasi hukum adat pidana dalam kerangka hukum pidana nasional sudah jelas, yaitu Pasal 5 ayat (3) sub. b UU Nomor 1 Drt tahun 1951 dan Pasal 5  ayat (1) UU nomor 48 tahun 2009. Dasar teoritiknya adalah ajaran sifat melawan hukum materil dalam fungsi nya baik positif maupun negatif ( Muladi, 1994; 3-4).

Pengakuan pidana adat juga dapat dicatat di dalam beberapa yurisprudensi yang memberikan kedudukan hukum pidana adat sebagai sumber hukum tidak tertulis dalam memutuskan suatu kasus adat.

Selain itu pula KUHP, kita harus kembalikan pada pemahaman tentang istilah hukum pidana nasional, maka istilah nasional harus diartikan secara relatif, karena muatannya mau tidak mau harus mencakup.

1. Aspirasi ideologi negara nasional;

2. Aspirasi kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa;

3. Kecendrungan internasional yang diakui oleh bangsa bangsa beradab.( Dewa Made Suartha, 2015; 297).

Jika direduksi, maka tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan adanya ketertiban. Tujuan ini tentu nya sejalan dengan utama hukum yaitu, mengatur. Ketertiban merupakan syarat dasar bagi adanya suatu masyarakat manusia. Para penganut teori hukum positif menyatakan bahwa kepastian hukum sebagai tujuan. Kerangka berfikir positivisme hukum beranjak dari ketertiban ataupun keteraturan, tidaklah mungkin dapat terwujud tanpa adanya garis garis perilaku kehidupan yang pasti. Keteraturan akan ada jika ada kepastian, untuk adanya kepastian hukum haruslah dibuat dalam bentuk tertulis.

Anggapan ini dibenarkan oleh banyak kalangan ahli hukum, karena faktanya memang demikian. Tetapi sangatlah penting untuk diingat kembali berbagai kritik terhadap hukum yang tertulis, karena bentuk nya yang demikian, hukum dapat terjebak oleh sifatnya yang kaku ( rigid) sehingga sulit mengantisipasi kebutuhan hukum masyarakat. Bertolak dari itu, kepastian hendaknya jangan ditafsirkan secara kaku, tetapi kepastian yang fleksibel, bukan dalam arti dapat ditafsirkan secara luas, melainkan bersifat lengkap, konkret, prediktif dan antipatif.

Berangkat dari pemikiran pemikiran tersebut di atas tepat lah bahwa KUHP kita tetap mengakui Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat, dengan beberapa argumentasi yaitu;

1. Tidak semata mata bertujuan pembalasan dalam arti bersifat perkasus.

2. Harus menimbulkan kerugian atau korban yang jelas ( bisa aktual dalam delik materil dan bisa potensi dalam delik formil)

3. Apabila ada cara lain yang lebih baik dan efektif, hendaklah hukum pidana tidak dipergunakan.

4. Kerugian yang ditimbulkan akibat pemidanaan, harus lebih kecil apabila dibandingkan dengan akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana.

5. Memperoleh dukungan masyarakat dan

6. Dapat diterapkan secara efektif. (Redaksi) 

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.