Oleh :
H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Pembina Adat Sumsel ).
Dan
Marsal ( Pemerhati Sosial dan Hukum Adat Indonesia )
Muara Enim, Khatulistiwa news (17/11)- Sila ke empat dari Pancasila yaitu " Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan"., sebagai mana tercantum dalam mukadimah Undang Undang Dasar tahun 1945.
Demokrasi semacam ini telah berabad-abad lamanya dipakai dan dijalankan dalam masyarakat adat Indonesia, berdasarkan sistem musyawarah yang memberi kemungkinan untuk mengambil keputusan secara bersama.
Namun demikian, sampai kini pemerintah belum berhasil merumuskan lembaga adat ( baca musyawarah) dalam suatu bentuk yang dapat digunakan dalam mengambil keputusan nasional. Asas yang terkandung dalam lembaga adat musyawarah ini dalam ilmu politik dikenal dengan asas kerakyatan.
Kerakyatan antara lain didasarkan atas hikmah kebijaksanaan untuk bersama sama membahas suatu masalah yang perlu dipecahkan oleh masyarakat. Gagasan ini hidup dan dijalankan di komunitas komunitas masyarakat hukum adat di Nusantara ( desa desa, marga-dusun , nagari dan lain sebagainya.)
Idee ini lahir bersumber dari kekuatan mutlak rakyat, yang dalam ilmu politiknya adalah kedaulatan rakyat. Yang terilhami dalam teori barat yaitu kontrak sosial.
Kontak sosial adalah berdasarkan suatu pemikiran di mana manusia dianggap hidup dalam keadaan bebas dan mempunyai derajat yang sama dengan manusia yang lainnya. Karena manusia dibekali akal dan kemauan bebas, maka manusia bebas dan sama tersebut juga bebas berusaha untuk hidup sesuai dengan keinginannya serta memberi isi kepada kehidupan tersebut.
Karena manusia dibekali akal oleh sang Pencipta maka dia dapat mempersiapkan diri untuk mencapai masyarakat yang tenang dan aman, manusia sepakat untuk mencegah terjadinya benturan dengan jalan melalui suatu permusyawaratan yang oleh cendekiawan disebut kontak sosial.
Maka dapat lah dimengerti bahwa kedaulatan rakyat di sini mempunyai arti kedaulatan yang disandarkan atas kesamaan dan kebebasan masing masing pribadi dalam masyarakat.
Kedaulatan rakyat adalah di tangan semua pribadi, dan hanya dapat dijalankan bila semua pribadi itu telah menyerahkan kemauan bersama mereka demi untuk kepentingan bersama.
Jadi dalam hal ini, dalam kedaulatan rakyat tidak ada seorang anggota masyarakat atau warga yang memiliki keistimewaan karena adanya faktor kolusi dan nepotisme, seperti yang telah kita saksikan bersama di akhir menjelang pilpres tahun 2024.
Ini tidak berarti, bahwa masing-masing pribadi tidak boleh memiliki pendapat sendiri dalam soal soal yang menyangkut kepentingan bersama. Cara berpikir demikian menghendaki bahwa kemauan tiap pribadi dan pikirannya dipertimbangkan masak-masak oleh mereka sendiri dan masyarakat sekelilingnya, untuk diuji apakah gagasan tersebut akan merusak keselarasan dalam bermasyarakat/ bernegara atau tidak. Keselarasan dimaksud bukan berarti keselarasan yang ada dalam arti mempertahankan yang lama, tetapi dimaksudkan adalah keselarasan dalam tiap tahap perkembangan masyarakat. Dalam cara berfikir demikian, bukan kemauan atau pikiran dari pada yang terkuat atau dengan suara terbanyak, tetapi nilai nya yang menentukan isi dari gagasan atau kehendak, yang dimajukan.
Sebuah gagasan atau keinginan diselaraskan untuk dinilai apakah ia sesuai dengan kepentingan bersama atau/dan sesuai dengan perkembangan harmonis dari seluruh masyarakat/warga negara; atau apakah gagasan itu patut dijadikan bahan pembahasan bersama.
Pembahasan itu tidak perlu memperhatikan dari mana datangnya, atau siapa yang memajukan gagasan itu. Dan ini apakah merupakan kemauan bersama. Orang lebih memperhatikan isi dan nilai gagasan tersebut. Jika gagasan tersebut membuktikan, bahwa ia cocok untuk kepentingan bersama, dan membawa kemajuan bagi kepentingan bersama, serta berfaedah bagi masyarakat dan bagi keselarasan dalam masyarakat, maka gagasan tersebut diterima seluruh nya oleh masyarakat.
Penerimaan tersebut tidak di dasarkan pada pemungutan suara. Tetapi gagasan tersebut diterima berdasarkan kenyataan, bahwa ia diakui kebenarannya oleh seluruh masyarakat.
Gagasan tersebut diterima dengan alasan, bahwa ini adalah kemauan bersama, karena merupakan KEBULATAN KEHENDAK, yang pada saat itu berlaku dalam masyarakat.
Untuk mencapai kebulatan kehendak tersebut, masyarakat adat sejak berabad abad lamanya telah memakai sistem pembahasan yang dinamakan MUSYAWARAH. (Redaksi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar