Penulis : Dr. TM Luthfi Yazid, SH, LLL. M. Founder of Jakarta International Law Office (JILO)
JAKARTA, Khatulistiwa news (01/01) - Putusan No 9/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan pada tanggal 25 November 2021 menyatakan bahwa Uu No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kera (UUCK) "inkonstitusional" bersyarat Berkenaan dengan ini, Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan waktu 2 (dua) tahun untuk melakukan penyempurnaan dan memerintahkan agar pemerintah tidak mengeluarkan peraturan pelaksanaan apapun terhadap UUCK yang sifatnya strategis Putusan MK adalah sebuah norma baru sebagai - positive legislative- yang harus dipatuhi sebagai hukum, dan UUCk sejatinya merupakan sebuah transplantasi hukum yang dilakukan dengan metode omnibus law Kemudian, muncul beberapa pertanyaan, apakah putusan MK-yang disebut dengan the -guardian of the constitution- tersebut, dilaksanakan ?
Nyatanya, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, justru memberi Kado tahun baru dengan mengeluarkan Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Alasannya, dalam bagian pertimbangan (hurut f) justru Perppu ini pemerintah keluarkan untuk melaksanakan Putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020, Pada bagian pertimbangan (hurut g dan h), disebutkan alasan adanya dinamika global yang disebabkan terjadinya harga energi dan harga pangan, perubahan iklim (climate change) dan terganggunya rantai pasokan (supply chain) yang telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional, maka keadaan itu telah memenuhi parameter sebagai kepentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perppu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 (1)UUD I945.
Namun apakah pertimbangan yang disebutkan dalam Perppu tersebut memenuhi syarat "kepentingan yang memaksa" MA, dalam putusannya, yakni Putusan MA Nomor 138/PUU-VII/2009 pada bagian menimbang, menyebutkan bahwa Perppu dapat dikeluarkan apabila memenuhi tiga (3) syarat atau Kategori Pertama (1), ialah adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang - undang.
Kemudian, yang Kedua (2), undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, adau ada tetapi tidak memadai. Sementara yang Ketiga (3), Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa Karena akan memakan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan,
Dari ketiga syarat yang disebutkan NMA pada putusannya tersebut. maka perlu untuk dikritisi, termasuk "kepentingan memaksa" yang mana Perppu 2/2022 ini ? Atau mungkin karena faktor ekonomi nasional ? Bicara mengenai itu, Kalau memang persoalan ekonomi nasional menjadi alasan, bukankah katanya ekonomi nasional kita 'kokoh dan surplus'
Lebih tegas lagi, berdasarkan Pasal 185
Perppu No 2/2022. maka UU No II Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Anehnya dalam Pasal 184 (b) Perppu ini, disebutkan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksana dari UUCK masih tetap berlaku. Menilik dari ketentuan kedua pasal dalam Perppu ini saja sudah saling bertentangan atau kontradiktif.
Upaya short-cut dan by-pass dengan mengeluarkan Perppu semacam ini, tentu
menimbulkan banyak pertanyaan, apalagi kita mengetahui Perppu menyangkut kehidupan masyarakat luas.
Adanya Perppu UUCK yang kontroversial ini, boleh jadi, hal ini sebenarnya untuk menghindari meaningful participation, partisipasi publik, dan juga untuk mengejar bulan November 2023. Sebab, Jika sampai November 2025 belum ada revisi atau putusan MK tidak dijalankan, maka yang akan terjadi adalah UUCK inkonstitusional permanen Memang.
Presiden menurut Pasal 22UUD 1945 berhak menetapkan Perppu. Pasal 22 Ayat 1 menyebutkan, "Dalam hal ikhwal kegentingan yang Memaksa Presiden berhak menetapkan Perppu." kemudian, Ayat 2 menegaskan, " Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan Dewan yang berikut, dan Ayat menyatakan, Jika tidak mendapat persetujuan. maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut."
Tetapi, apakah situasi sekarang memenuhi syarat untuk dikeluarkannya "Perppu". Apakah landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis terpenuhi untuk dikeluarkannya Perppu itu sepenuhnya merupakan "hak subjektif Presiden"
Kewenangan menetapkan Perppu oleh Presiden ini memang sangat riskan apabila tidak dibuat dengan pertimbangan yang sangat terukur dan matang sebab seorang Presiden bisa saja mengeluarkan Perppu. misalnya, Pemilu 2024 ditunda 3 tahun, jabatan presiden perpanjangan lalu Perppu apapun berdasarkan pertimbangan subjektif Presiden atas dasar 'kegentingan yang memaksa'. Banyak pendapat misalnya, mengatakan Perppu ini adalah -Contempt of Court-, pengangkangan terhadap UUD 145, dan hanya mengutamakan kepentingan pengusaha.
Ada juga yang mengatakan Perppu tersebut telah mengkudeta konstitusi dan sebagainya. Sekarang kita belum mendengar sikap Parlemen terhadap
persoalan ini dan masih menunggu sidang DPR terkait Perppu tersebut.
Besar harapan parlemen dapat bersikap kritis, objektif, dan profesional dalam memberikan evaluasinya terhadap Perppu tersebut yang ujungnya memberikan sikap menolak menyetujui Perpu tersebut sehingga harus dicabut (Pasal 22 ayat 3 UUD I945) karena Perppu No 2 Tahun 2022 constitutionaly invalid (cacat secara konstitusional)
catatan: Penulis juga merupakan, Vice Chairman Indonesian PhD Council (IPC) Vice President's of Kongres Advokat Indonesia (KAl), Wakil Ketua I Dewan Penasehat Indonesian Association of British
Alumni (LABA), Salah Satu pendiri Japan Indonesian Lawyers Association (JILA) (Niko)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar