JAKARTA,Khatulistiwa news (14/07) - Ketua Umum Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), Sasmito Hadinegoro, menyebutkan kala diwawancarai oleh awak media cetak pada hari Selasa (12/7), pembayaran bunga obligasi rekap makin membuat konglomerat tersebut makin menguasai hajat hidup orang banyak.
Akan hal tersebut, Pemerintah diminta mengambil sikap tegas mengenai obligasi rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan menghentikan (moratorium) pembayaran bunga sesegera mungkin
Lantaran, membebani keuangan negara dan mengorbankan hak rakyat kecil. Karena, pajak yang seharusnya digunakan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan bersama, malah dibayarkan ke konglomerat bank yang makin memperkaya mereka dan perusahaannya.
Padahal, mereka seharusnya yang bertanggung jawab atas krisis ekonomi 1998. Dengan obligasi rekap justru terus dibiayai negara hingga saat ini. Padahal harga energi dan pangan terus naik dan ditanggung rakyat.
Pemerintah membayar kepada para konglomerat dari keuangan negara, dan konglomerat tersebut melalui berbagai perusahaan yang berbeda, namun terafiliasi, dengan leluasa membeli kembali aset - aset negara strategis, seperti jalan tol yang produktif." Ini sama saja dengan memberi mereka modal untuk membeli aset negara yang produktif. Jadi sudah menjadi penyebab krisis 1998, malah sekarang mengambil semua aset strategis negara," kata Sasmito.
Hal itu disampaikannya dengan mengacu pada pemberitaan mengenai transaksi pembelian tol layang Jakarta - Cikampek (Japek) atau yang sekarang dikenal dengan jalan tol layang Mohamed Bin Zayed (MBZ). Ruas tol yang dioperasikan Jasa Marga itu diberitakan akan diambil alih 40 persen sahamnya oleh PT Marga Utama Nusantara (MUN) senilai empat triliun rupiah. MUN sendiri merupakan anak usaha dari PT Nusantara Infrastructure Tbk (META) yang dimiliki Salim Group.
Timpal Sasmito, kelompok usaha Salim Group saat krisis moneter 1998 selain menerima dana tunai Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), bank miliknya saat itu Bank Central Asia (BCA) juga menerima obligasi rekap yang bunganya terus dibayar oleh negara sampai saat ini
Untuk BLBI yang berupa uang cash keras, kelompok usaha itu, kata Sasmito, patut diduga menerima BLBI sebesar 33 triliun rupiah dan hanya dibayar kembali dengan uang senilai delapan triliun rupiah ditambah 93 persen saham BCA. Kemudian, saham BCA tersebut dijual kembali atau privatisasi oleh pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) hanya senilai lima triliun rupiah untuk 50 persen sahamnya.
Sebenarnya, jelas Sasmito, kelompok usaha itu patut diduga melakukan rekayasa keuangan dengan mengambil kredit dari bank yang sahamnya dimilikinya senilai 53 triliun rupiah. Dari 53 triliun rupiah tersebut waktu ditagih oleh BPPN, mereka hanya membayar tunai 100 miliar rupiah ditambah menyerahkan seluruh perusahaannya sebanyak 108 perusahaan.
Dengan fakta itu, Sasmito mengaku heran mengapa bisa dengan enak Salim Group dianggap telah beres membayar kewajibannya, hingga patut diduga ada upaya dengan sengaja diatur melalui penandatanganan Master Settlement Agreement Acquisition (MSAA) sehingga dianggap lunas oleh negara.
Sekarang setelah 24 tahun berlalu, kelompok usaha itu dengan enteng melakukan akuisisi 40 persen saham tol layang MBZ dengan biaya empat triliun rupiah.
"Fenomena permainan taipan ini yang borong-borong aset negara harus dicermati oleh Pansus DPD RI karena diduga kongkalikong atau hengki pengki dengan pengambil kebijakan sehingga kok ujug-ujug utangnya lunas. Kalau lunas kapan bayarnya, di mana, dan berapa besarnya?" papar Sasmito.
Apalagi, di saat yang sama BCA juga memegang obligasi rekap senilai 60 triliun rupiah yang mendapat pembayaran bunga atau kupon dari pemerintah enam triliun rupiah per tahun.
Kelompok usaha seperti Salim Group, kata Sasmito, mesti menjadi perhatian utama dari Satgas BLBI maupun Pansus BLBI Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI karena sedemikian merugikan negara dan malah menjadi penguasa aset-aset penting negara.
Diketahui, sebelumnya, Badiul Hadi Manajer Riset Seknas Fitra sempat mengatakan pembayaran obligasi rekap telah memaksa pemerintah mengalokasikan dari belanja negara tiap tahun sekitar 50 - 60 triliun rupiah.
" Bunga tersebut diterima bank sebagai penerimaan lain-lain, padahal awalnya ditujukan untuk memperkuat modal bank agar tidak kolaps saat krisis," jelas Manajer Riset Seknas Fitra.
Setelah krisis berlalu dan bank-banknya sudah berdiri kokoh dengan modal yang sangat kuat, kenapa negara harus terus menopang mereka padahal sudah tidak sakit lagi ?, Pungkas Badiul, seraya penuh tanda tanya(Niko)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar