BERITA TERKINI

Perkawinan Adat Masyarakat " Semende "


Oleh : H. Albar Sentosa Subari. SH. SU ( Ketua Pembina Adat Sum Sel / Dosen STIH perguruan Serasan Muara Enim ) :


 MARSAL ( Penghulu Kecamatan Muara Enim / Pemerhati Hukum Adat )


Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita ( baik secara agama dan adat)  dengan maksud untuk membentuk keluarga yang bahagia lahir bathin.

Prof. Hazairin pernah menulis dalam bukunya bahwa perkawinan adat itu bukan saja urusan pribadi yang mau nikah tapi juga urusan keluarga, kerabat dan masyarakat.

Pada kesempatan kali ini kita ingin mengupas secara selayang pandang perkawinan adat masyarakat adat Semende khusus yang berada di kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan.

Setiap perkawinan akan terlaksana minimal tiga sistem hukum yang berlaku sekaligus yaitu hukum negara, agama dan adat demikian yang disampaikan oleh Prof. Iman Sudiyat, SH saat penulis menyusun thesis di Universitas Gadjah Mada).

Kalau kita bicara perkawinan adat semende minimal ada dua corak atau bentuk yang lazim dilakukan masyarakat disana, yaitu apa yang disebut perkawinan NGANGKIT dan perkawinan NUNGKAT.
Perkawinan ngangkit  adalah suatu perkawinan dimana setelah nikah mempelai wanita ikut atau pindah ke rumah pihak suaminya. Perkawinan seperti ini karena pihak suami mempunyai biaya atau harta warisan tunggu tubang, yang tidak mempunyai saudara perempuan sama sekali yang akan menjadi Tunggu Tubang.

Perkawinan nungkat, ialah perkawinan yang dalam bahasa umumnya adakah perkawinan ganti tikar atau bahasa yang sering didengar dimasyarakat dengan sebutan "turun ranjang".

Hal ini disebabkan oleh beberapa pertimbangan. Khusus nya berkait dengan penerusan demi kelestarian kehidupan dalam menjalankan rukun adat semende yaitu yang disimbulkan dengan lambang dan adab masyarakat Semende seperti yang sudah penulis sampaikan pada opini sebelumnya.

Semua bentuk perkawinan tetap berlaku sistem eksogami dan indogami (istilah Soerojo Wignyodipuro dalam bukunya Perkawinan Adat).
Masyarakat semende sangat menghargai dan mengayomi kaum wanita terutama dapat terlihat sistem "Tunggu Tubang".

Pemegang harta tunggu tubang tetap konsisten  melakukan ketentuan adat. Kalau boleh kita sama kan harta tunggu tubang ini mirip dengan kedudukan " harta pusaka tinggi ' di Masyarakat adat Minangkabau Sumatera Barat.

Terkenal peribahasa puyang : Diruguk kambing ngembek, diruguk kebau nguak. Dan demi menjaga keutuhan keluarga biasanya diadakan persedekahan yang dihadiri oleh Apit Jurai (sanak keluarga) baik yang ada di dusun maupun yang merantau. Terutama saat saat baik seperti hari raya ataupun momen momen tertentu.

Hal ini masih menggambarkan kehidupan yang masih menjaga kegotong royongan. Yang merupakan kearifan lokal yang perlu dilestarikan kita bersama terutama para pemangku adat di masyarakat kita masing masing.

Biasanya pada acara persedekahan atau walimah di daerah semende disebut BAGUK'AN. Pada acara ini bagi yang menyandang Tunggu Tubang, Kepala Pemerintah dan Kepala Adat selalu diminta untuk menyampaikan wejangan yang akan menjadi bekal secara moral bagi kedua mempelai dalam mendayung rumah tangga. antara kain bisa kita kutip beberapa kata kata mutiara :

 Pantang nian nunggu jurai, dindak banyak dik kuwawe sughang, ibarat sapi kumbang ndulu ngipat kedian nyunuk, diajak seghempak njadi penghintal, ndulu dindak seghempak amun kedian dindak mbawe bentalan, amun kah makan te kuah kuah, dianjung beghikan pingging ngerapung.(Redaksi)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.