BERITA TERKINI

Perlindungan Keselamatan Kerja Bagi Tenaga Kerja (Buruh).

 

Oleh : 



Dr. Hamonangan  Albariansyah, SH. MH  (  Ahli hukum pidana bidang keselamatan kerja ). 

Dan 



Marsal ( Pemerhati Sosial dan Hukum Adat Indonesia )



Muara Enim, Khatulistiwa news (29/05) Awal Mei setiap tahun, tepat tanggal 1 Mei , Masyarakat Dunia khususnya Indonesia merayakan hari peringatan buruh internasional. Baik yang dilakukan secara damai maupun menimbulkan gerakan demonstrasi. Dan saat itu dijadikan liburan bagi kegiatan pemerintahan dan lain sebagainya.

Para kesempatan kali ini kita ingin mencoba menelaah , apakah semua hal hak dan kewajiban kewajiban para pihak ( baik majikan ataupun buruh ,serta instansi yang terkait sudah melakukan hal dan kewajiban sesuai dengan nilai nilai kemanusiaan.

Salah satu variabel nya apakah peraturan perundang-undangan sudah mengakomodir hak pekerja atau buruh , bila terjadi Kesalahan kesalahan di dalam proses produksi, sehingga matinya atau cacat permanen bagi tenaga kerja atau buruh akibat kealpaan pengguna jasa tenaga kerja.

Tentu maksud dilihat dari sisi peraturan yang ada.

Secara global peraturan perundang-undangan tenaga kerja yang memuat kebijakan yang terkait dengan masalah di atas, adalah antara lain.

Di masa kolonial diatur dalam statsblaad no. 406 yaitu Veilligheidsreglemen 1910 dan Undang Undang Uap 1930.

Setelah kemerdekaan antara lain ada diatur dalam Undang-undang nomor 33 tahun 1947, tentang pembayaran ganti kerugian kepada buruh yang mendapat kecelakaan berhubungan dengan hubungan kerja.

Undang undang nomor 12 tahun 1948 tentang Undang Undang Kerja.

Undang undang nomor 14 tahun 1969 tentang ketentuan ketentuan pokok mengenai tenaga kerja. Undang undang nomor 1 tentang keselamatan kerja.

Dan pasal 359 kirab undang undang hukum pidana (terjemahan).

Menurut data sebagai mana termuat dalam disertasi Dr. Hamonangan Albariansyah SH MH, bahwa selama 20 tahun , kisaran diangka 100.000 kasus kecelakaan, diantaranya 1500 meninggalkan dunia per tahun nya.

Dewan Keselamatan Kerja Nasional mencatat bahwa kasus kematian kecelakaan kerja yang selama ini tidak menunjukkan angka kematian yang sebenarnya terjadi, mengingat angka tersebut hanya mewakili sejumlah pekerja yang menjadi peserta BPJS ketenagakerjaan saja, maka angka kematian yang mengakibatkan kecelakaan kerja akan lebih besar. Pekerja yang terdaftar di asuransi jaminan sosial ketenagakerjaan baru sekitar 10.257.115 orang atau sekitar sepertiga dari jumlah pekerja yang seharusnya.(ibid h.3 ringkasan).

Tentu hal ini akan menimbulkan pertanyaan, sedang secara normatif sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, dan putusan putusan dari pengadilan sudah cukup banyak.walaupun ancaman hukuman nya relatif ringan baik pidana maupun denda.

Kalau kita telusuri secara objektif dan kajian mendalam, memang beberapa peraturan seperti tersebut di atas belum lengkap dan mempunyai kelemahan, antara lain adalah:

1. Pasal 15 Undang Undang Nomor 4 tahun 1970:

a. Sebagai instrumen hukum pidana khusus untuk melaksanakan falsafah hukum keselamatan kerja, yakni preventif dan reparatif yang dimaksudkan agar kecelakaan kerja dikurangi dan tidak terulang di kemudian hari. Memuat sanksi pidana terkait pelanggaran syarat keselamatan kerja saja, sedangkan akibat kematian yang ditimbulkan karena pelanggaran tersebut tidak dikualifikasikan sebagai tindak pidana.

b. Pengurus, manajemen perusahaan atau penyelenggara sistem keselamatan kerja didudukkan sebagai subjek hukum. Kesalahan yang mengakibatkan kecelakaan kerja merupakan tanggung jawab mutlak, sepanjang dapat dibuktikan sebaliknya oleh penyelenggara sistem keselamatan kerja.

c. Walaupun sanksi pidananya relatif ringan dengan hukuman kurungan selama lamanya 3 ( tiga) bulan atau denda setinggi tingginya Rp.100.000 ( seratus ribu rupiah), namun sanksi Pidana dijatuhkan pada jabatan, bukan individu perseorangan. Disisi lain, meskipun regulasi ini menganut falsafah pemidanaan yang bersifat preventif dan korektif, namun regulasi juga menganut sanksi retributif. Tidak ada sanksi khusus atas perbuatan yang bersifat korektif maupun preventif sebagai mana falsafah yang dianut regulasi ini. Hal ini dapat dilihat dari jenis sanksi pidananya, yakni kurungan dan denda saja.

2. Pasal 359 KUHP

a. Sebagai instrumen hukum pidana terkait penanggulangan tindak Pidana kelalaian/kealpaan yang mengakibatkan kematian pada orang lain yang sifatnya retributif.

b. Pertanggungjawaban pidana atas kelalaian hanya sebatas dibebankan untuk pelaku individu pribadi, organisasi perusahaan/ pengurus tidak dapat dijadikan sebagai terpidana.

c. Ancaman hukuman pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.

d. Putusan Pengadilan tidak mengembalikan kewajiban yang sebelumnya tidak diindahkan oleh organisasi perusahaan, pengurus untuk perbaikan kondisi kerja yang tidak aman dan pemulihan bagi korban, keluarga korban, masyarakat yang terkena dampak terjadinya kecelakaan kerja yang bersumber dari Kesalahan perusahaan sebagai bentuk kompensasi akibat tindak Pidana.( Dr. Hamonangan Albariansyah, ibid.h.51)

Tentu hal ini tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang selalu menuntut persamaan hak sebagai warga negara yang patuh hukum.

Sehingga ini segera dicarikan jalan pemecahan nya.

Yaitu  setiap terjadi nya tindak Pidana yang berakibatkan pekerja meninggalkan dunia dikarenakan kealpaan dari penggunaan jasa tenaga kerja adalah melalui proses menggunakan asas keadilan restoratif.


Heirich , menerangkan bahwa penentu terjadinya kecelakaan kerja adalah perilaku kerja tidak aman dan kondisi kerja tidak aman, sebagai kunci yang menentukan terjadi atau tidaknya kecelakaan kerja. 

Bird menindak lanjuti nya dengan mengatakan bahwa terjadinya kecelakaan kerja yang bersumber dari perilaku kerja tidak aman dan kondisi tidak aman, maka perusahaan lah yang bertanggung jawab kesalahan nya.( Ibid, 7).

Hukum kausalitas digunakan untuk membaca suatu kemungkinan, menentukan seberapa besar potensi dan kontribusi masing-masing faktor faktor yang mempengaruhi suatu peristiwa, sehingga terjadi suatu peristiwa. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya mengenai persoalan menyalahkan moral, tetapi perbuatan nya itu menimbulkan bahaya terhadap konsekuensi di masa depan. H.L.A. Hart and AM. Honore, dalam Hamonangan Albariansyah).

Sedangkan keadilan restoratif berarti memulihkan korban, yang lebih berpusat pada korban, memulihkan pelaku dan masyarakat. Memulihkan korban maksudnya sebagai tindakan menyembuhkan kerugian harta benda atau luka pribadi, memulihkan rasa aman, memulihkan martabat, memulihkan keberdayaan, memulihkan demokrasi musyawarah, kerukunan sosial. 

Keadilan restoratif membuka ruang bagi pihak pihak untuk mengungkapkan kebenaran yang sebenarnya terjadi, mengakui kesalahannya, pelaku berkomitmen membayar kesalahannya dengan sejumlah tindakan perbaikan, pemulihan dan pencegahan agar di masa depan tidak terulang lagi.(Redaksi) 

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.