Oleh :
H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Pembina Adat Sumsel ).
Dan
Marsal ( Pemerhati Sosial dan Hukum Adat Indonesia )
Muara Enim, Khatulistiwa news (18/09) - Hak Ulayat itu di jamin Konstitusi, Tanah Ulayat ( Tanah Kelompok Masyarakat adat ) Tanah Ulayat masyarakat adat lebih tinggi dari Sertifikat Hak milik, hak milik formalnya sesudah Undang Undang Pokok Argraria di daftarkan menjadi Sertifikat, Tanah milik sebelum kemerdekaan ini ada kalau di Sumatera disebut tanah Ulayat.
24 September sebentar lagi akan datang yaitu salah satu tanggal yang bersejarah dalam sejarah perkembangan agrarian/pertanahan di Indonesia pada umumnya dan dalam pembaharuan Hukum Agraria/Hukum Tanah Indonesia pada khususnya. Karena pada tanggal tersebut, 24 September 1960, Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno mensahkan Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria yang dikenal dengan nama Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 104 tahun 1960. (Harsono, 2008 : 1)
Sejak dahulu tanah memiliki daya tarik tersendiri dan selalu berkaitan dengan kekuasaan. Seorang raja yang Jaya atau makmur pada jaman dahulu digambarkan dengan luasnya tanah kekuasaannya. Seorang bangsawan dikatakan kaya jika dia memiliki sejumlah tanah yang luas. Tanah menjadi target penguasaan sebuah rezim atau dinasti yang berkuasa, perang selalu berakhir dengan hasil yang mengakibatkan pihak kalah memberikan tanah mereka kepada pihak yang menang.
Reformasi telah memberikan peluang untuk memberikan perlindungan konstitusionalnya yang lebih kuat terhadap masyarakat hukum adat serta hak hak tradisionalnya.
Perlindungan terhadap masyarakat hukum adat ini secara kronologis tercantum dalam Pasal 41 Ketetapan MPR RI Nomor Tap XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia dan dalam Pasal 18 B ayat (2) serta Pasal 28 I ayat (3) Undang Undang Dasar amendemen kedua tahun 2000.
Dengan kata lain, visi kenegaraan para pendiri negara tentang pentingnya penghormatan terhadap semangat paguyuban - yang antara lain terkandung pada tatanan masyarakat hukum adat - pada tahun 1945 itu baru dapat dituangkan ke dalam instrumen hukum positif tertulis setelah berlalu waktu yang panjang dan setelah terjadi goncangan besar dalam kehidupan politik dan kehidupan ekonomi.
Walaupun demikian, pengakuan Juridis konstitusional terhadap masyarakat hukum adat serta hak hak tradisional nya tersebut tidaklah dapat ditindak lanjuti secara serta Merta, oleh karena keseluruhan sistem hukum positif nasional yang berkembang selama lebih dari setengah abad bukan saja tidak memberikan legal standing kepada masyarakat hukum adat, tetapi juga telah mengeluarkan demikian banyak kebijakan, peraturan, serta keputusan yang secara efektif telah menegasikan masyarakat hukum adat serta hak hak tradisional mereka. Sebagai akibat nya, telah terjadi demikian banyak konflik, sebagian di antaranya telah menimbulkan kerugian harta dan nyawa, terutama berkisar pada masalah pertanahan, antara masyarakat hukum adat dengan pihak ketiga, baik dengan instansi pemerintah sendiri maupun dengan perusahaan perusahaan swasta yang memperoleh berbagai bentuk perizinan untuk menggunakan tanah ulayat masyarakat hukum adat dari institusi institusi pemerintah baik pusat maupun lokal. Contoh kasus yang sedang bergejolak sekarang ini yang sampai sekarang ini situasi belum kondusif yaitu kasus di pulau Rempang Riau.
Sesuai dengan tujuan pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam Pasal 76 Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan setelah mengadakan penataan kembali organisasi nya di tahun 2004. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia cq Sub Komisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah memasukkan Thema Perlindungan Masyarakat Hukum Adat ini ke dalam program kerja, dan untuk itu menugaskan seorang komisioner guna menangani dan menindaklanjuti nya..
Simpulan, bahwa secara normatif pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat secara konvensional sudah jelas adanya.
Masalahnya adalah untuk mengaplikasikan semua itu tentu banyak tergantung pada kemauan politik lembaga eksekutif dan legislatif guna merealisasikan dalam kebijakan yang melindungi hak hak masyarakat hukum adat.
Guna mencapai tujuan akhir dari suatu makna kemerdekaan Indonesia yang telah diperjuangkan oleh pendiri negara. Yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Makmur dalam berkeadilan. Yang dirasakan oleh semua warga negara dari Sabang sampai Merauke. Itulah buah perjuangan dari nenek moyang kita dahulu yang tetesan darahnya membasahi bumi ibu Pertiwi tercinta: guna mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengakuan Eksistensi Masyarakat Hukum Adat masih dalam tatanan normatif; Komnas HAM dalam dokumen memperingati Hari internasional masyarakat hukum adat sedunia telah menginvestasikan ada 3 penyebab utama yaitu;
1. Ketidak pengertian pemerintahan pusat tentang kemajemukan kultural masyarakat Indonesia serta implikasinya antara lain terlihat pada Undang Undang Nomor 5 tahun 1979.
2. Kebutuhan investor terhadap tanah sejak tahun 1967, khususnya bidang pertambangan, perkebunan, dan kehutanan, yang menyebabkan pemerintah bersama DPR RI mengeluarkan serangkaian undang undang yang secara in concrete malah menafikan hak hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayat.
3. Tumbuh kecendrungan sentralisasi pemerintahan yang sangat kuat, yang menyebabkan kemunduran studi hukum adat dan masyarakat hukum adat, antara lain oleh karena anggapan bahwa hukum adat dan masyarakat hukum adat ini inkom-patibel dengan semangat kebangsaan dan bahwa masyarakat hukum adat dan masyarakat hukum adat ini dipandang sebagai bagian dari masalah SARA
Menurut catatan hasil sensus tahun 2000 ini dengan memakai tolok ukur self-identification , telah mendapatkan adanya 1.072 buah etnik atau suku bangsa hukum adat.(Redaksi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar