BERITA TERKINI

Pasal 18 B Ayat 2 UUD 1945 Menuntut Perda Kabupaten

 


Oleh :


H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Jejaring Panca Mandala Sriwijaya ).

Dan 



Marsal ( Penghulu KUA Kecamatan Muara Enim )



Muara Enim,Khatulistiwa news.com (11/7)
Pasal 18 B Undang Undang Dasar 1945 hasil amendemen, pada ayat 2 mengatakan Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisional nya:
a. Sepanjang masih hidup
b.Sesuai dengan perkembangan masyarakat
c. Prinsip NKRI
d. Diatur dalam undang undang.
Di atur dalam undang undang ini telah diturunkan dalam UU 32 tahun 2004 dan UU Desa Nomor 6 tahun 2016 serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 72 tahun 2005 tentang Desa.
Pasal 216 Undang Undang Nomor 32 tentang Pemerintah Daerah mengatur bahwa untuk pengakuan adanya masyarakat hukum adat harus ada Peraturan Daerah Kabupaten -kota.

Khusus kita di Sumatera Selatan untuk pengakuan masyarakat hukum adat sudah ada yaitu Peraturan Daerah Provinsi Sumatra Selatan Nomor 12 tahun 1988 yang disebut Rapat Adat (istilah Perda tsb dan Lembaga Adat istilah dalam Surat Keputusan Gubernur Sumatra Selatan Nomor 142 /KPTS/III/1983 tanggal 24 Maret 1983).

Sebagai contoh kongkrit adalah Peraturan Daerah Kabupaten Banyuasin Nomor 9 tahun2012 tentang Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan Kompilasi Adat Istiadat Kabupaten Banyuasin.
Perda ini memuat dua ketentuan hukum yaitu : Pengakuan Adanya Masyarakat adat sebagai wadah formal dan kompilasi hukum adat sebagai nilai nilai yang mengatur masyarakat adat.

Jadi Perda 12/88 tersebut merupakan payung hukum untuk membuat Perda Kabupaten - Kota.
Dimana Perda Kabupaten Kota itu merupakan rincian khusus ditiap tiap kabupaten kota di Sumatera Selatan (17 Kabupaten/Kota.)
Sebagai hukum dasar dan tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, UUD 1945 telah mengalami perubahan pada tahun 1999 hingga 2002.

Perubahan konstitusi tersebut telah mengubah paradigma kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengubah pula corak dan format kelembagaan negara yang ada. Selain itu, perubahan UUD 1945 telah menghasilkan rumusan Undang Undang Dasar yang jauh lebih kokoh menjamin hak konstitusional warga negara (Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH - Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,  Jakarta, 9 Januari 2007).

Dusun dan Marga adalah kesatuan masyarakat adat yang terikat garis keturunan (geneologis) sebelum mendapat intervensi dari luar baik dari dalam maupun bangsa sendiri).

Terakhir setelah keluarnya Inlandsche Gemeentre Ordonantie  (stbld 1906 No. 83 jo Inlandsche Gemeentre Ordonantie Buitengewesten (Stbld 1938 No. 490 jis No. 681) dusun dan marga dijadikan bentuk pemerintahan di masyarakat adat berdasarkan teritorial. (Arlan Ismail, 2004)

Dengan berlaku Undang Undang Nomor 5 tahun 1979 Marga dalam arti Pemerintahan dihapuskan. Namun tetap mengakui adanya kesatuan masyarakat termasuk di dalam nya kesatuan masyarakat hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan kebiasaan yang masih hidup sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan ketahanan nasional (lihat penjelasan umum ayat 6 UU No. 1979)

Hal ini mengingatkan kita pada laporan Muntinge tanggal 14 Juli 1914 kepada Gubernur Jendral Raffles sama saat berlakunya IGO dan IGOB dimana kedua aturan tersebut semata mata melaksanakan prinsip " biarlah rakyat yang memerintah diri sendiri (sistem hukum adat asli:penulis).

Dan ini sejalan dengan Surat Keputusan Gubernur Sumatra Selatan No. 142 /KPTS/III/1983, tanggal 24 Maret 1983 .Dimana SK tersebut merupakan tindak lanjut dari Pasal 35 UU 5/79 yo Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 1980 angka Rumawi -II butir 4.
Dimana terhitung 4 April 1983 menghapuskan Pemerintahan Marga, DPR Marga, Perangkat Marga lainnya. (butir pertama).

Namun pada bagian ketiga. Sambil menunggu petunjuk lebih lanjut dari Pemerintah Pusat, mengakui Marga Marga sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan sebutan LEMBAGA ADAT sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan dan ketahanan nasional.

Kembali kepada persoalan judul diatas bagaimana kedudukan Dusun dan Marga Pasca Amendemen maka uraian nya sebagai berikut :
Setelah kita membaca buku Panduan Pemasyarakatan yang dikeluarkan oleh Sekretariat Jenderal MPRI 2017 pada bagian Pasal 18 B ayat 2 sbb

" Satuan pemerintah di tingkat desa seperti gambong (di NAD),  nagari (di Sumatera Barat),dukuh (di Jawa), desa dan banjar (di Bali) serta berbagai kelompok masyarakat di berbagai daerah hidup berdasarkan adat dengan hak haknya seperti hak ulayat, tetapi dengan satu syarat bahwa kelompok masyarakat hukum adat itu benar benar ada dan hidup, bukan dipaksa paksa ada:bukan dihidup hidupkan.

Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, kelompok itu harus diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah yang ditetapkan oleh DPRD. Selain itu, penetapan itu tentu saja dengan suatu pembatasan, yaitu tidak boleh bertentangan dengan prinsip prinsip negara kesatuan  (lihat Pasal 18 ayat 1 dan 7 UU 32 / 2004 diubah UU 12 / 2008).
Jadi dengan penjelasan di atas cukup sudah untuk kita pelajari bahwa akhir simpul tulisan ini adalah:

1. Pemerintah Kolonial, Orde Baru dan Orde Reformasi tetap mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dari sisi sebagai Lembaga Adat, bukan pemerintahan formal buatan kolonial.

2. Tugas kita bersama baik eksekutif, legislatif maupun Pembina Adat di seluruh Indonesia khususnya Sumatera Selatan berfikir dan bekerja secepatnya membuat PERDA Pengakuan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana diamanatkan konstitusi kita dan peraturan turunan nya.

3. Pembina Adat Sumsel sudah menyusun dalam proposal kerjanya priode 2019-2024 bahwa program pertama dan utama adalah pengesahan Peraturan Daerah dimaksud untuk segera dipikirkan oleh instansi terkait, dengan diawali sosialisasi peraturan perundang undangan diatas.

Namun sayang masih mendapat gangguan yang sebenarnya tidak prinsipnya adanya.
Program tersebut merupakan amanat bapak H. Herman Deru Gubernur Sumsel saat melantik pengurus Pembina Adat Sumsel periode 2019-2024.(redaksi)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.