BERITA TERKINI

SEORANG AYAH MEMPERKOSA ANAK KANDUNGNYA DI HUKUM MATI MENURUT HUKUM ISLAM.

 

Oleh 



Marsal ( Penghulu KUA Kecamatan Muara Enim )


Muara Enim, Khatulistiwa  news (24/04) Tahun lalu pernah terjadi Viralnya seorang ibu mengarap anak kandungnya sendiri, perbuatan terlarang tersebut dilakukan oleh seorang ibu berinisial IA (40) dengan anak kandungnya berinisial EP (19) tersebut.

Peristiwa itu terjadi selasa (17/3/2020 ) di Kecamatan Lubai Ulu, Kabupaten Muara Enim  Sumatera Selatan. (  Kompas.com 18/3/2020 ).


Sekarang Kembali terjadi viralnya  seorang ayah berinisial SY (37) menggarap anak gadis kandungnya sendiri Berinisial Bunga (18) warga Sumber Mulya Kecamatan Lubai Ulu selama 7 tahun, yang diterbitkan di media massa online tanggal 22 April 2022, berjudul Setubuhi anak kandung tanpa penyesalan selama 7 tahun, salah satu nya menurut berita tersebut adalah dampak negatif dari kehadiran tekhnologi informasi yang modern dalam hal ini adalah hand phone yang dapat mengakses internet yang berisi hal hal yang negatif misalnya content berisi video porno.


Banyak fenomena yang terjadi saat ini sangat memperihatinkan ditengah-tengah masyarakat. Yaitu seorang ayah memperkosa anak perempuannya sendiri, baik secara paksa maupun secara suka rela. Hal ini menunjukkan betapa bejatnya moral ayah tersebut jika ia melakukannya secara paksa. Dan betapa bejatnya moral ayah dan anaknya itu jika mereka berdua melakukannya secara sukarela.

Seharusnya hal itu tidak boleh terjadi. Seorang ayah yang normal dan mendidik rumah tangganya tidak akan bernafsu melihat anak perempuannya. Karena anak perempuannya adalah darah dagingnya sendiri. Seorang ayah wajibnya melindungi dan memelihara anak perempuannya. Namun, anak yang seharusnya dilindungi malah justru dirusak dan dihancurkan masa depannya oleh ayahnya sendiri.


Peribahasa mengatakan: “Pagar makan tanaman”.

Ini menunjukkan terjadinya kebejatan dan kerusakan moral yang parah di dalam masyarakat kita akhir-akhir ini. Tidak ada akal sehat atau agama atau adat istiadat yang menerima hal ini. Oleh karena itu, segala upaya harus dikerahkan oleh semua pihak baik para ulama, pemerintah, tokoh masyarakat. Dan bahkan seluruh lapisan masyarakat agar ke depan kejadian tersebut tidak terulang atau semakin meluas.


Dalam tinjauan Hukum Islam, Sebenarnya, Rasulullah saw. telah memberi peringatan dalam masalah ini, sebagaimana di dalam hadis berikut:


“Dari ‘Uqbah bin ‘Amir [diriwayatkan] bahwa Rasulullah saw. bersabda: Hindarilah berkhalwat (berdua-duaan) dengan perempuan, maka ada seorang laki-laki dari kalangan Anshar bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang kerabat suami? Beliau menjawab: Kerabat suami itu (menyebabkan) kematian” [HR. al-Bukhari dan Muslim].


Maksud hadis ini ialah, Rasulullah saw. melarang kaum laki-laki berdua-duaan dengan perempuan yang bukan mahramnya, karena hal itu pasti akan menjerumuskan keduanya ke dalam lembah kehinaan. Jadi yang dilarang disini adalah berdua-duaan dengan perempuan yang bukan mahram. Sementara berdua-duaan dengan mahram atau orang yang haram dinikahi itu tidak dilarang karena biasanya keduanya tidak akan dan tidak mau melakukan perbuatan keji.


Hanya orang yang tidak normal saja yang melakukan perbuatan keji dengan darah dagingnya sendiri. Menurut para ulama, seorang ayah yang melakukan perbuatan keji yaitu memperkosa atau berzina dengan anak perempuannya terkena hukuman ta’zir, dan ada mengatakan hukuman hudud zina. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang diserahkan kepada kebijksanaan hakim. Hakim diberi kewenangan oleh syariat Islam untuk menentukan hukuman apa yang layak bagi ayah tersebut.

Hukuman tersebut mulai dari yang teringan hingga yang terberat yaitu hukuman mati. Anak hasil perzinaan/perkosaan itu dinasabkan kepada ibunya saja. Hal ini karena nasab hanya bisa diperoleh dengan perkawinan yang sah saja. Ayah tersebut juga tidak menjadi wali dari anak yang dilahirkan anak perempuanya itu, namun ia tetap wajib memberinya nafkah.


seorang ayah yang berzina/memperkosa anak kandungnya berarti berzina dengan mahramnya, menurut ulama Fiqh sama dengan zina yang harus dihukum, akan tetapi ada perbedaan di antara mereka dalam hal sanksi hukum yang diberlakukan. Mahzab Maliki, Syafi’i, Hambali, al-Laits, Zahiri, Syi’ah Zaidi, dan lain-lain menghukumnya sama dengan hudud zina muhshan. Dalil yang digunakan antara lain hadis riwayat al-Turmudzi dan Ibnu Majah bersumber dari al-Bara’ ra., dan hadis Nabi riwayat Imam al-Turmudzi bersumber dari Abdullah bin Abbas ra. Kedudukan hak perwalian ayah yang memperkosa anak kandungnya; dalam tinjauan hukum Islam, seorang ayah yang berzina/memperkosa anak kandungnya berarti *berzina dengan mahramnya, dan sanksi hukumnya adalah hukuman mati dengan cara dirajam sebagaimana pelaku zina muhshan.* Oleh karena sanksi hukum rajam bagi pelaku zina dan pemerkosa tidak dapat diberlakukan di Indonesia, dan yang ada hanyalah sanksi hukum penjara sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum Positif, maka bagi pelaku zina dan pemerkosa diwajibkan untuk bertaubat kepada Allah SWT. Menurut pendapat ulama Hanabilah dan sebagian Ulama Syafi’iyah, jika seseorang yang berzina telah bertaubat sebelum ditegakkan hukuman Hudud kepadanya dan pemerintah belum mengetahui perbuatannya, maka hukuman tersebut menjadi gugur. Demikian juga pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bahwa seorang yang berzina dan memperkosa kemudian bertaubat, maka ia terbebas dari hukuman, karena perbuatan zina berhubungan dengan hak Allah. Kecuali jika penzina sendiri meminta diterapkan hukuman hudud kepadanya untuk membersihkan dirinya. Ketika seorang ayah melakukan tindak pidana memperkosa anak kandungnya berdasarkan ketentuan Pasal 285 dan Pasal 291KUHP, Pasal 8 dan Pasal 59 b Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT, dan Pasal 81Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan sanksi hukum dipenjara selama 12 tahun dan maksimal selama 15 tahun. Ketika ia secara sah terbukti memperkosa anak kandungnya, dan selama 12-15 tahun dipenjara sesuai putusan hakim pengadilan, maka dengan sendirinya ia tidak dapat bertindak sebagai wali dalam pernikahan anak kandungnya tersebut. Hal ini menjadi sebab berpindahnya hak perwalian dari ayah kandung sebagai wali nasab kepada urutan wali berikutnya baik dari nasab (aqrab) ke nasab (sederajat atau ab’ad), maupun dari nasab ke hakim. Status hukum pernikahan anak yang dinikahkan oleh ayah yang memperkosanya ; Dengan mengikuti pendapat jumhur ulama pernikahan tersebut dipandang sah. Alasannya, walaupun si ayah telah termasuk wali yang fasiq/tidak adil dengan berzina/memperkosa anak kandungnya tersebut, tetapi seorang wali yang fasiq kefasikan tidak menghalangi seseorang menjadi wali sebagaimana pendapat sebagian besar fuqaha yang membenarkan perwalian orang fasiq. Demikian menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas dan Imam al-Syafi’iy, di mana mereka berpendapat bahwa adil bukanlah merupakan syarat bagi seorang wali. Pendapat ini kemudian diikuti oleh Ibn Abd al-Salam dan al-Ghazali, ulama mutaakhirin, dan dipertegas oleh al-Allamah Alwy bin Ahmad al-Haddad dalam kitabnya Bughyah al-Mustarsyidin dan pendapat al-Allamah Zaynuddin al-Malibari dalam kitabnya Fath al-Mu’in.(Redaksi)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.