BERITA TERKINI

Bhinneka Tunggal Ika

 

Oleh :


 H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Forum Panca Mandala Sriwijaya ). 

Dan 

Marsal ( Penghulu KUA Kec Muara Enim )


Muara Enim,Khatulistiwa news.com -(23/6) Dilihat dari sejarah  kata Bhinneka Tunggal Ika dapat ditemukan dalam Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad ke XIV di masa Kerajaan Majapahit. 

Dalam bahasa Jawa kuno secara harfiah mengandung arti " bhinneka " (beragam), "tunggal ' (satu)  ,' ika"(itu) yaitu Beragam satu itu. 

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 66 tahun 1951 tentang Lambang Negara, semboyan tersebut ditulis dalam bahasa Jawa kuno yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika” dengan arti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.


Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, mulai menjadi pembicaraan terbatas antara Muhammad Yamin, Bung Karno, I Gusti Sugriwa dalam sidang BPUPK sekitar dua setengah bulan sebelum Proklamasi (RM. AB Kusuma, 2004).

Pada saat merancang Lambang Negara Republik Indonesia dalam bentuk Garuda Pancasila, Semboyan Bhinneka Tunggal Ika kemudian dimasukkan ke dalam Garuda Pancasila. Dilansir dari Ditjen Kebudayaan Republik Indonesia, lambang negara dirancang oleh Sultan Hamid II atau Syarif Abdul Hamid Alkadrie dan diumumkan ke publik pada tanggal 15 febuari 1950.

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika dianggap mewakili pandangan negara Indonesia dan dapat memperteguh kedaulatan bangsa. Menyatukan masyarakat Indonesia yang berbeda-beda menjadi satu kedaulatan negara Indonesia tanpa adanya diskriminasi


Secara resmi lambang tersebut dipakai dalam Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat yang dipimpin Bung Hatta pada tanggal 11 Pebruari 1950 berdasarkan rancangan yang dibuat oleh Sultan Hamid II. 

Dalam sidang tersebut muncul beberapa usulan rancangan lambang negara, kemudian yang dipilih adalah usulan yang dibuat Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin, dan rancangan dari Sultan Hamid yang kemudian ditetapkan (Yasni, Z, 1979).

Terkait dengan semboyan yang ditulis Mpu Tantular, dapat diketahui bahwa wawasan pemikiran pujangga besar yang hidup di zaman  kekayaan Majapahit, terbukti telah bernuansa ke depan. Nyatanya, semboyan tersebut hingga sekarang masih relevan terhadap perkembangan bangsa, negara. 

Dalam proses perumusan konstitusi Indonesia Muhammad Yamin yang mengusulkan kepada Bung Karno agar Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan Lambang negara  Muhammad Yamin sebagai tokoh budaya sangat dan sudah lama bersentuhan dengan kebesaran Majapahit. (Prabaswara, I Made, 2003).


Para pendiri bangsa sebagian besar beragama islam tampaknya cukup toleransi menerima warisan Mpu Tantular tersebut. Sikap toleransi ini merupakan watak dasar suku suku bangsa Indonesia yang telah mengenal beragam agama, berlapis kepercayaan dan tradisi, jauh sebelum Islam datang ke nusantara (A. Syafii Ma'arif, 2011-- Dalam kitab terbitan Sekretariat Jenderal MPR RI, 2017).


Negara Indonesia memiliki lambang negara berupa burung Garuda dengan perisai yang berisikan Pancasila.

Di bawah lambang tertulis semboyan negara di atas pita putih yang dicengkram oleh cakar burung Garuda.


Frasa Bhinneka Tunggal Ika dimuat dalam tulisan berjudul Verspreide Geschriften yang dtulis oleh seorang orientalis ahli bahasa Belanda bernama Johan Hendrik Casper Kern.

Tulisan Hendrik Kern tersebut dibaca oleh Mohammad Yamin sekitar tujuh abad setelah kakawin Sutasoma dibuat. Moh Yamin kemudian membawa frasa tersebut pada sidang BPUPKI pertama (29 Mei hingga 1 Juni 1945).

Dilansir dari situs resmi Republik Indonesia, Moh Yamin menyebut frasa Bhinneka Tunggal Ika, lalu I Gusti Bagus Sugriwa sontak meneruskan frasa tersebut dengan “Tan hana dharma mangrwa” yang berarti tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Menurut Mohammad Hatta, semboyan Bhinneka Tunggal Ika juga diusulkan oleh Soekarno saat perancangan simbol negara Garuda Pancasila.(redaksi)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.