BERITA TERKINI

NEGARA MEWUJUDKAN CITA HUKUM

 

Oleh : 


H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Pembina Adat Sumsel ). 

Dan 


Marsal ( Penghulu KUA Kecamatan Muara Enim )


Muara Enim,Khatulistuwa News.com -(30/8) Relasi  Antara Hukum dan NegaraCita hukum adalah abstraksi dari pandangan masyarakat tentang hukum beserta konsep keadilan yang terkandung di dalamnya. 

Muatan dari seperangkat nilai itu, secara pokok adalah konsep ideal mengenai kehidupan bersama antar sejumlah manusia serta tujuan yang ingin diwujudkan. Dalam hal masyarakat Indonesia, seperangkat nilai itu adalah Pancasila. 

Nilai Pancasila itulah yang dianggap nya menjaga sekaligus memelihara dirinya selalu dalam keadaan bersatu. Lebih tajam lagi: terpelihara persatuan dalam masyarakat adalah berkat keberhasilan nya sendiri dalam menjabarkan nilai nilai Pancasila  yang menjadi berbagai perilaku yang mengikat yang niscaya diperlukannya untuk mengujudkan konsep ideal dalam rangka mencapai tujuannya. Melalui perjalanan waktu yang mengikat itu melembaga menjadi hukum dalam hal ini hukum adat. ( merujuk pada Pancasila yang dihayati dan diamalkan oleh masyarakat hukum adat sejak berabad abad lalu, sebelum dirumuskan BPUPKI dan ditetapkan secara resmi sebagai dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. (lihat Abdulkadir Besar, BPHN, 1995).

Hukum adat sebagai institusi memerlukan berbagai struktur penyelenggara. Hukum itu diselenggarakan melalui berbagai proses, dan proses tersebut mengarus melalui struktur. Dalam kaitan ini, masyarakat mengadakan pembagian tugas antar warganya dalam sejumlah kegiatan fungsional. Melalui perjalanan waktu menjadi lah dia tatahukum yang oleh masyarakat hukum adat diterima sebagai berlaku bagi kehidupan dirinya. 

Realita tersebut di atas, menunjukkan bahwa masyarakat sebagai organisme hidup mampu menciptakan harmonisasi nya sendiri. Dalam suatu organisme  tiap bagian berperan menyumbang sesuatu kepada totalitas yang bersangkutan. Kehidupan alam melaksanakan tugas ini secara spontan, sedangkan kehidupan masyarakat yang oleh kemajuan jaman telah menjadi makin komplek, membutuhkan suatu atasan untuk mengkoordinasi kerja sama harmonis pada tingkat yang lebih kompleks, yang dalam kehidupan alam pada tingkat yang lebih sederhana, terselenggara dengan sendirinya. 

Atasan itu oleh sejarah tertentukan sosoknya, yaitu NEGARA. 

Dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945,segenap masyarakat hukum adat yang ada di Nusantara mengorganisasikan diri dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Sebagai bentuk hukum yang diformulasi oleh negara niscaya sama dengan realitas rasa keadilan rakyat atau realitas cita cita rakyat yang ingin diwujudkan pada suatu masa tertentu. Dengan kata lain, negara tidak selayaknya menciptakan hukum yang isi materinya tidak berpadanan dengan rasa keadilan rakyat maupun yang tidak berpadanan dengan kehendak rakyat. 

Faham rakyat ini demikian mendasarnya sehingga tertransformasi  menjadi salah satu sifat dari Negara Republik Indonesia, seperti yang dinyatakan oleh Prof Soepomo dan mohammad Hatta pada waktu menyusun undang undang dasar yang sekarang mendapat sebutan UUD 1945.

Soepomo mengatakan : Negara harus bersifat badan penyelenggara, badan pencipta hukum yang tumbuh dari hati sanubari rakyat seluruh nya. 

Sifat negara sebagai badan penyelenggara itu oleh Soepomo diangkat dari realitas penyelenggraan yang asli di desa, seperti beliau jelaskan. Kepala desa, atau kepala rakyat berwajib menyelenggarakan keinsyafan keadilan rakyat, harus senantiasa memberi bentuk (getaltung) kepada rasa keadilan dan cita cita rakyat. (Syaafroedin Bahar dalam Abdulkadir Besar). 

Maksud yang sama, faham rakyat Indonesia mengenai hubungan antar hukum dan negara tersebut di atas, oleh M. Hatta dikemukakan secara serius dengan mengkategorikannya sama dengan Soepomo sebagai sifat dari Negara Republik Indonesia, dengan istilah " negara pengurus ": Hendaklah kita memperhatikan syarat syarat supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi Negara Kekuasaan. Kita  menghendaki negara pengurus, kita membangunkan masyarakat baru yang berdasarkan kepada gotong royong, usaha bersama : tujuan kita ialah memperbaharui masyarakat. (Ibidem). 

Faham rakyat Indonesia tentang relasi antar hukum dan negara yang melembaga sebagai sifat negara itu perlu kita angkat menjadi asas hukum nasional, demi terpeliharanya ciri demokratik dari Negara Republik Indonesia. 

Perwujudan dari asas hukum nasional tersebut akan berkaitan dengan sistem pemilu, susunan anggota Parlemen yang benar benar merupakan jelmaan seluruh rakyat, segenap fraksi di DPR dan MPR mendapatkan status politik yang utuh sebagai artikulator, aspirasi/kepentingan rakyat yang diwakilinya dan pengambilan putusan melalui proses musyawarah -mufakat.


Kodifikasi dan peranan Pancasila di dalamnya 

Pekerjaan mengkodifikasi mempertentangkan kebanyakan pendapat dan pertanyaan, apakah di samping undang undang masih ada sumber sumber hukum lainnya yang juga merupakan pernyataan dari keinginan bangsa. Kebiasaan menurut sementara pendapat merupakan kekuatan kekuatan dalam masyarakat apakah diberi tempat sebagai sumber hukum. Karena kebiasaan bukanlah hal yang diciptakan dengan akal yang sadar. Oleh karena nya mereka berpendapat bahwa undang undang satu satunya sumber hukum dan " kebiasaan " itu hanya dapat sebagai sumber kedua yang berasal dari undang undang, dan dalam hal hal yang diizinkan pula oleh undang undang. Undang Undang itu hanya dapat kehilangan kekuatan nya baik seluruh atau sebagian hanyalah oleh undang undang yang diadakan kemudian pula. Untuk mengamankan kedudukan monopoli dari undang undang sebagai sumber hukum perlu suatu fiksi bahwa setiap orang dianggap mengetahui undang undang. Sedangkan sebenarnya justru fiksi inilah mengandung suatu pengakuan bahwa undang undang tidak selalu diketahui dan dikenal rakyat ramai. 

Dengan dimonopolinya pembentukan hukum itu oleh pembentuk undang undang maka sekurang kurangnya dalam teori tidak ada lagi ruang gerak dan bekerja nya petugas hukum. Hakimpun dalam kemungkinan mentafsirkan undang undang itu seakan telah " diprogram".

Jika pandangan seperti ini diikuti, maka kodifikasi membikin kita menjadi ahli tentang undang undang, sedangkan sebenarnya yang diperlukan adalah ahli hukum. Ada mengatakan bahwa teori telah membuat kesalahan yang tidak serasi antara teori dengan praktek. Teori telah memberikan arti yang terlalu besar terhadap segi segi yang logis dari hikum. Ternyata ada kekurangan dalam pengetahuan yang bersifat non hukum, dan pengetahuan tentang hukum dari kehidupan bermasyarakat. Pandangan yang terakhir ini memprioritaskan kepada suatu pendekatan yang bersifat induktif dari hukum itu dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat deduktif. Hukum bukan lah sesuatu yang bersifat logis, melainkan sesuatu yang bersifat etis dan karena nya ilmu hukum adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat etis pula. 

Orang kembali mendengar keterangan dari mazhab sejarah  yang dipelopori oleh Von Savigny, walaupun tidak diikutkan sepenuhnya. Seperti diketahui dalam ajaran ini hanya ada satu sumber hukum yaitu yang disebut Volksgeist, kesadaran hukum dari rakyat. Undang Undang  hanya merupakan " organ des Volksrecht".

Molengraaf juga mengakui tidak sempurna nya kodifikasi itu. Sebagai mana dinyatakan nya: bahwa selain dari aturan aturan yang ditetapkan oleh undang undang, dalam tiap tiap masyarakat masih ada banyak sekali aturan aturan yang oleh setiap orang dalam hubungannya dengan anggota anggota masyarakat seharusnya diperhatikan, dan kini adalah aturan aturan yang pasti setiap waktu bergantungan kepada keadaan dari peradaban bangsa dan pertumbuhannya, tetapi disamping itu tetap dalam tiap tiap kejadian konkret akan ditunjuk secara baik pula. 

Molengraaf mengakui dalam pendapat nya itu banyak sekali diberi tempat kepada pendapat pendapat yang subjektif dari pelaksana hukum, antara lain hakim, tetapi dia tidak melihat sesuatu keberatan di dalam nya. Memang itu tidak seharusnya bahwa " sesuatu yang paling aneh dan termasuk di dalam tugas hakim itu adalah untuk merumuskan yang mana semuanya tergantung kepada apresiasi terhadap keadaan keadaan, dan justru di sinilah hakim itu akan bekerja dengan sangat berguna sekali, dan juga sangat tidak dapat kita tinggalkan, yaitu dimana keputusan yang bersifat tidak memihak dari orang ini sangat kita perlukan. Suatu perundang undangan yang tidak memberi ruang gerak kepada pelaksana hukum sebenarnya adalah tidak mungkin sama sekali. Ini hanya merupakan sesuatu yang mungkin pada formalisme yang mati. (Roeslan Saleh, dalam BPHN, 1995).

Dimana peranan Pancasila  jika kita hubungkan dengan mazhab sejarah (Von Savigny hukum adalah volksgeist).dan pendapat Molengraaf di atas: tentu ini kita harus kaitkan dengan CITA HUKUM dan Asas Asas Hukum Nasional. 

Istilah cita hukum sebagai terjemahan istilah Rechtsidee dipergunakan oleh Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi dalam Disertasi beliau berjudul Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara). 

Dengan pertimbangan adalah kata Cita mengandung pengertian, gagasan, rasa, cipta, pikiran. Bukan cita cita hukum, karena cita cita adalah keinginan, kehendaknya, harapan yang selalu dalam pikiran atau hati. 

Cita hukum yang kita maksudkan adalah cita hukum yang ada didalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yang menguasai hukum dasar negara baik yang tertulis maupun tidak tertulis. 

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa cita hukum bangsa Indonesia tidak lain adalah pandangan hidup, dasar negara, ideologi nasional bangsa Indonesia yaitu Pancasila sebagai mana termaktup dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945.

Memahami Pancasila sebagai cita hukum bangsa Indonesia tidak terpisah dengan jiwa dan semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia memproklamirkan lahirnya tertib hukum nasional, tertib hukum Indonesia yang bersumber pada Pancasila. 

Dengan kemerdekaan telah terjadi pertukaran sistem hukum kolonial ke hukum nasional. 

Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH Guru besar ilmu hukum Universitas Diponegoro Semarang, dalam bukunya Ilmu Hukum, dan dalam Disertasi beliau mengatakan bahwa Proklamasi telah menjadi kan revolusi hukum di Indonesia saat itu. Yaitu perpindahan dari hukum yang berjiwa kolonialisme ke jiwa nasionalisme.(redaksi)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.