BERITA TERKINI

Hakim dan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat

 

Oleh :


 H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Pembina Adat Sumsel ). 

Dan 


Marsal ( Pemerhati Sosial dan Hukum Adat Indonesia )





Muara Enim, Khatulistiwa news (31/10) Hubungan erat antara Hakim dan masyarakat terdapat tugas pokok dari Hakim untuk mengadili perkara, yaitu kalau diingat bahwa dalam mengadili perkara ini Hakim diwajibkan melaksanakan Hukum yang hidup dalam masyarakat.

Apakah yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam masyarakat ini?

Seperti kita ketahui, hukum yang berlaku di Indonesia ini, sebagian termuat dalam peraturan perundang-undangan, sebagian tidak. Bagian yang tidak termuat dalam undang undang ini, adalah hukum adat.

Hukum adat ini sebagian besar terdiri dari aturan aturan hukum yang bersumber pada adat kebiasaan masyarakat. Bagian lain meliputi keadaan perhubungan hukum tertentu, dalam mana belum dikatakan terbentuk suatu adat kebiasaan. Justru dalam zaman pancaroba sekarang ini, dimana bangsa dan rakyat Indonesia mengalami macam macam peralihan dari suasana kolonial ke suasana merdeka, perubahan cara pola berfikir dari kolektivisme ke individualisme.

Pada para anggota masyarakat ini terdapat seribu satu kepentingan kepentingan yang bersimpang siur menuntut pemenuhan nya dan harus ditimbang satu sama lain, agar terdapat dalam masyarakat suatu peraturan hukum, agar terdapat dalam masyarakat suatu pertimbangan, yang oleh masyarakat dirasakan sebagai suatu keadilan.

Maka rasa keadilan inilah tugas pokok untuk mengukur sampai dimana suatu putusan tepat dikatakan sebagai suatu yang dikatakan sebagai peraturan atau pususan yang diidamkan masyarakat.

Lebih lebih kalau ini mengenai peraturan peninggalan kolonial dan dianggap masih berlaku.

Dalam hal ini hakim harus menjauhkan diri dari sikap melihat semata mata pada arti kata kata yang digunakan dalam undang undang itu. Oleh hakim harus dicari dengan saksama makna dari peraturan itu.

Kalau makna ini berhubungan dengan keadaan khusus pada zaman kolonial, yang sekarang sudah berubah sama sekali, maka hakim harus berani mengatakan bahwa peraturan itu tidak dapat diberlakukan lagi.

Memang dalam kondisi sekarang ini ada beberapa kesulitan dalam memaknai arti suatu istilah atau bahasa undang undang peninggalan kolonial, misalnya saja dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana/ Perdata, yang keduanya merupakan terjemahan pribadi dari yang menterjemahkan tentu menimbulkan persoalan hukum. Karena pertanyaan adalah apakah kitab berupa terjemahan yang dimaksud di atas adalah merupakan undang-undang (wet) atau bukan. Karena maksud wet di zaman kolonial dan sampai sekarang adalah WvS dan BW.

Ini menambah satu persoalan lain. Karena menurut pendapat Prof . Dr.M.Koesnoe, SH, telah terjadi gradasi pemahaman terhadap hukum kolonial (asli), akibat beberapa kendala. Beliau membagi ke dalam beberapa phase pemahaman tersebut.

Pertama generasi yang memahami philosofi dan bahasa asing (Belanda);

Kedua generasi yang paham dan mengerti bahasa Belanda

Ketiga generasi yang sama sekali tidak paham philosofi dan bahasa asing (Belanda), hanya menggunakan kitab dalam bentuk terjemahan saja.

Di satu sisi hukum adat yang disebut hukum yang hidup dalam masyarakat sudah tidak dipahami lagi.

Akhirnya menurut Guru Besar di atas disebut sebagai hukum yang sudah dibonsai.+Redaksi) 

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.