BERITA TERKINI

TEORI IBLIS " KOMEN PROF HAZAIRIN


Oleh : H. Albar S Subari, SH. SU. ( Ketua Pembina Adat Sumatra Selatan )


Marsal ( Penghulu Kecamatan MuaraEnim  / Pemerhati Hukum Adat )

Dengan menunjuk pada ketetapan Majelis Permusyawarahan Rakyat Sementara 1960/II yang mengatakan bahwa dalam menyempurnakan undang undang perkawinan dan waris supaya diperhatikan adanya faktor faktor agama dll.

Hazairin menunjukkan bukti bahwa teori resepsi telah tidak berlaku lagi. Beliau mengatakan pula di tahun 1973 bahwa IS sebagai Konstitusi Hindia Belanda yang menjadi landasan legal teori resepsi itu dengan sendirinya tidak berlaku lagi karena terhapus oleh UUD 1945 (.Hazairin, 1981:91).

Pendapat Hazairin nengenai teori resepsi yang mula mula beliau kemukakan dalam Konperensi Kementerian Kehakiman di Salatiga ( 1950)du atas dan dikembangkan dalam tulisan, ceramah dan kuliah kuliah beliau di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, bergema pula dalam simposium masalah masalah hukum di Indonesia yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1976).

Dalam kesimpulan yang  disepakati pada simposium tersebut dinyatakan bahwa teori resepsi tidak dapat lagi dipergunakan untuk melihat kenyataan dan masalah masalah dasar hukum di Indonesia. Pernyataan ini dikemukakan setelah mempelajari isi undang undang perkawinan (1974).
Dalam tulisan beliau Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesian setelah Perang Dunia II.

Prof. Mahadi, mantan Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, pengajar ilmu hukum di Universitas Sumatera Utara dan ketua team Pengkajian Hukum Adat Badan Pembinaan Hukum Nasional berkata: penelitian terhadap undang undang perkawinan membawa kami kepada pendapat bahwa sejak berlakunya undang undang ini sampai lah ajal teori " resepsi",seperti yang telah diajarkan di zaman Hindia Belanda. Apabila dahulu direorikan, bahwa hukum islam baru berlaku di Indonesia untuk penganut agama Islam apabila sesuatu hukum islam telah nyata nyata diserepsi oleh dan dalem hukum adat.

Dalam undang undang perkawinan itu disebutkan bahwa pengadilan bagi orang beragama islam ialah Pengadilan Agama. Dengan demikian kata beliau, dapat diambil sebagai  titik tolak bahwa pengadilan agama akan menggunakan hukum islam, sekurang kurangnya asas asas hukum islam dapat menyelesaikan satu sengketa. Meskipun dapat didalilkan bahwa melalui pasal 37 penjelasan nya. Pengadilan Agama ada masanya menggunakan hukum adat, namun yang dipergunakan tentulah bukan hukum adat yang bertentangan dengan hukum islam ( contra legem), tetapi terbatas pada hukum adat yang serasi dengan asas asas hukum islam.

Dalam hubungan ini Prif. Mahadi lebih lanjut menyebut pula keputusan Mahkamah Agung tanggal 13 Pebruari 1975 no.  172 K/Sip/1974 jo keputusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 25 Juni 1973 no.  12/1971 yang mengatakan berdasarkan keterangan saksi saksi yang  didengar tentang hukum kebiasaan yang  berlaku, maka apabila seorang pewaris meninggal dunia di kampung Hinako Kabupaten Nias, untuk menentukan cara pembagian harta warisan nya, hukum warisan yang dipakai adalah bertitik tolak kepada agama yang dianut oleh si pewaris yang meninggal dunia, yakni apabila si pewaris yang meninggal dunia beragama islam maka pembagian hartanya dilakukan menurut hukum islam dan apabila si pewaris beragama kristen berlaku hukum adat. Demikian pula selanjutnya dalam kegiatan kegiatan ilmiah dilaksanakan di empat belas perguruan tinggi se indonesia dengan kerja sama dengan BPHN tahun 1978-1979 bersimpul yg berlaku adalah hukum islam bagi pemeluknya.

Dari uraian diatas dapat lah disimpulkan bahwa kini di Indonesia hukum islam dapat berlaku langsung tanpa harus melalui hukum adat. Kedudukan Hukum islam dalam sistem hukum Indonesia adalah sama dan sederajat dengan hukum adat dan hukum barat, karena itu hukum islam menjadikan sumber pembentukan hukum nasional yang akan datang tumbuh dan berkembang sesuai perkembangan negara kesatuan Republik Indonesia.(Redaksi)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.