BERITA TERKINI

Koordinator ALASKA : Iuran BPJS Naik Lagi, Sri Mulyani Gagal Faham




JAKARTA,Khatulistiwanews.com.
Kembali, kedua kalinya kenaikan BPJS dalam tahun 2020 ini. Peristiwa itu, ditandai belum lama ini Perubahan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan pasal 34. Meski, sempat dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui putusan MA Nomor 7P/HUM/2020, namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Dalam pasal itu, kenaikan iuran terjadi pada Kelas I dan Kelas II mandiri. Hal itu akan dimulai pada Juli 2020.

Sontak, Aliansi Lembaga Analisis Kebijakan dan Anggaran atau disingkat ALASKA diwakili Adri Zulpianto angkat bicara serta memberikan komentar akan kali kali kedua kenaikan BPJS dalam tahun 2020 ini, Pemerintah gagal memahami kondisi dan masalah-masalah yang terjadi dalam tata kelola BPJS. Demikian, pernyataan singkatnya dirilis kembali pewarta. Jakarta, Minggu (17/5/2020)

"Ini merupakan sebuah pengkhianatan pemerintah terhadap hukum dan juga masyarakat. Karena, kenaikan BPJS bukanlah sebuah solusi dari persoalan-persoalan yang terjadi dalam tata kelola keuangan BPJS, tapi sistem manajemen BPJS yang mengakibatkan kerugian begitu besar harusnya mendapat perhatian lebih dari pemerintah," jelasnya menekankan.

Padahal, menurut hematnya bahwa Defisit BPJS selalu terjadi dari tahun ke tahun dan mengalami peningkatan yang begitu signifikan di setiap tahunnya, defisit BPJS tahun 2017 sebesar Rp 1,6 triliun, tahun 2018 defisit meningkat menjadi Rp 9,1 triliun, dan tahun 2019 lonjakan defisit begitu tajam menjadi Rp 15,5 triliun, meski demikian pembenahan pengelolaan keuangan BPJS ibaratnya seperti terabaikan."Yang selalu diandalkan adalah menaikkan biaya iuran dari peserta BPJS," ulasnya.

Di samping itu, menurut Adri Zulpianto ada pula yang aneh, pada tahun 2020 ketika iuran BPJS di naikkan dua kali lipat dari harga sebelumnya, meski dibatalkan oleh Mahkamah Agung malah Sri Mulyani, selaku Menteri Keuangan justru selalu menyarankan ditengah usulan kenaikan iuran tersebut untuk seluruh masyarakat yang berada di faskes kelas I dan II jika keberatan atas kenaikan tersebut untuk pindah kelas ke kelas III.

"Saya khawatir, Sri Mulyani tidak memahami masalah secara utuh jika mengusulkan semua orang pindah kelas ke kelas III," celetuknya menimpali.

Perlu diketahui, ungkap Koordinator ALASKA itu mengatakan bahwa dalam BPJS selama ini, yang bermasalah itu ada di kelas III, kelas yang secara fakta lebih banyak di isi oleh 'kaum papa' (red: duafa), notabene mayoritas masyarakat pra sejahtera, acap kali mereka tidak mendapatkan pelayanan faskes BPJS secara optimal oleh karena beberapa kendala, seperti misalnya ;
1. Antrian harian yang terlalu banyak menumpuk di RS, sehingga pelayanan tidak dapat di rasakan oleh peserta BPJS, apalagi sakit yang tidak bisa di undur untuk datang kembali keesokan harinya;

2. Rawat inap faskes III seringkali di bilang penuh oleh pihak RS, sehingga peserta BPJS kelas III seringkali kebingungan, dan ujung2nya malah di minta bayaran normal;

"Nah, sedari kedua masalah tersebut diatas, maka itulah bisa menjadi akar masalah mengapa pada tahun 2019 lonjakan defisit begitu tajam, disebabkan karena masyarakat jengah dengan polah tingkah laku ketidakjelasan sistem BPJS di RS," jelas Adri.

"Akan tetapi, di saat masalah itu menjadi fakta, bahwa pengelolaan BPJS selama ini bermasalah, kemduian diusulkan kepada semua kalangan untuk pindah ke kelas III ? Ini justru akan menimbulkan masalah baru," paparnya.

"Lalu, jika semua masyarakat di usulkan mengambil kelas yang paling murah, mengapa tidak dihapus saja klasifikasi faskes di rumah sakit itu. Agar semua masyarakat merasakan keadilan, dan tidak mengelompokkan masyarakat ke dalam kasta-kasta," cetusnya.

Adri pun mengemukakan,"Rasa-rasanya, menyamakan semua masyarakat ke dalam kelas yang sama. Sepertinya BPJS tidak akan lagi mengalami defisit yang sama dari tahun ke tahun."

"Jadi keliru, bila masalah kenaikan BPJS dijadikan sebagai bahan konflik yang terjebak dalam komoditi politik. Ini bukan masalah si kaya keberatan naik kelas, atau si miskin yang keberatan atas mahalnya biaya hidup bulanan. Namun, kebijakan menaikkan BPJS itu memang salah total," sindir Koordinator ALASKA itu mencermati

Lantaran itulah, lanjut Adri Zulpianto menilai sepertinya Sri Mulyani gagal memahami inti masalah pengelolaan keuangan BPJS. Ditambah, Jokowi gagal memahami masalah masyakarat dalam BPJS, timpalnya lagi.

"Ibaratnya jenaikan BPJS  merupakan kado Idul Fitri dari pemerintah untuk rakyat pra sejahtera. Sedang di sisi lain, malah pejabat pejabat pemerintahan telah menikmati THR menggunakan uang rakyat," kata Koordinator ALASKA.(Nico  jazzi)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.