BERITA TERKINI

Koordinator JAKI : Pemidanaan Politik Yudi Suyuti, Ujian Demokrasi Di Indonesia



JAKARTA,Khatulistiwanews.com.
Nelly Siringo Ringo, selaku Koordinator Korban JAKI (Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional) mengemukakan opini yang setidaknya secara sedikit menggambarkan situasi sosial politik yang terjadi saat ini di Indonesia, sekaligus di latar belakangi atas kasus yang menimpa Aktivis Yudi Syamhudi Suyuti atas pemidanaan politik. Demikian pernyataan singkat tertulis nya dirilis pewarta, Jakarta. Jumat (29/5/2020)

Ungkap Nelly, bahwa selain itu juga dirinya mengulas secara umum, kenapa saya harus mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi atas Pasal 14 dan 15 UU No.1 Tahun 1946 dan pengajuan dalam pra peradilan atas kasus yang menimpa Yudi Suyuti, yang merupakan suaminya.

Sebelumnya, ditersangkakan atas perbuatan makar, lalu kemudian ditersangkakan atas pasal 14 ayat 1 UU No.1 Tahun 1946, tentang penyebaran kabar bohong dan perbuatan onar di tengah Rakyat, beber Nelly menyampaikan.

Kejadian yang terjadi pada Yudi ini dapat dikatakan menjadi ujian berat bagi kehidupan Demokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan hingga berdarah-darah oleh Mahasiswa dan Rakyat, ulasnya.

Selain itu, di era global saat ini, dimana perkembangan teknologi informasi menuntut kita untuk dapat berkomunikasi secara terbuka dan mampu menempatkan dimana posisi kita dalam menyerap pesan komunikasi atas tindakan politik atau kriminal, semakin penting untuk melahirkan sebuah kesadaran baru (New Consciousness) sebelum mempraktekkan New Normal.

"Pandemi Covid-19 seharusnya mengajarkan kita bagaimana menyadari pentingnya Demokrasi, dimana perlawanan terhadap virus global ini tidak dapat hanya diatasi secara linear. Melainkan membutuhkan perdebatan dan pandangan beragam (multi linear) dari segala sektor, namun tetap berangkat dari arus pendapat untuk kepentingan Rakyat," katanya.

Dan ini dituntut sehatnya Demokrasi di Indonesia yang merupakan cara untuk mewujudkan prinsip Kemanusiaan dan Keadilan yang bermartabat.




Sementara, lanjutnya menengarai kalau Yudi Syamhudi Suyuti yang dipenjara karena pernyataan sikap Negara Rakyat Nusantara bukan merupakan tindak pidana atau kriminal.

"Padahal, apa yang dilakukannya murni untuk kepentingan penelitian tentang Demokrasi dan Kemanusiaan sebagai cara untuk mencari Resolusi Kemanusiaan dan Keadilan mengatasi persoalan Bangsa dan Negara Indonesia," imbuhnya.

Akan tetapi, sehingga akan menjadi kecelakaan persepsi ketika kasus ini dibawa ke ranah pidana melalui criminal justice system (sistem peradilan kriminal). Ini begitu kontras dengan advokasi Yudi pada tahun 2019 yang begitu tajam mengadvokasi korban tindakan kriminal kejahatan Hak Asasi Manusia atas pembunuhan 21-23 Mei dan 27-30 September 2019 yang masih misterius hingga saat ini, timpal Nelly curiga.

Sementara, jika kita menguji pemidanaan Yudi dalam kasusnya yang merupakan kegiatannya di 2015, apa yang ditimpakan ke Yudi ini, adalah bentuk tindakan mengadili politik dalam meja pidana di Indonesia. Sehingga sebuah rezim harus memaksakan pendekatan keamanan (security approach) untuk memidanakan aktivitas politik bahkan intelektual. Ini preseden yang berbahaya untuk Kemanusiaan dan Keadilan jika terus menerus dilakukan pihak otoritas kekuasaan dan jaringan pelapornya.
Hal ini bisa mengindikasikan suatu tindakan kejahatan Kemanusiaan dan kejahatan agresi jika dilihat dari perspektif kejahatan internasional. Sementara dari kaca mata Hukum Indonesia, kejadian ini berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia dan Konstitusi. Oleh karena itu, kenapa saya menggugat pasal 14 dan 15 UU No.1 Tahun 1946 tersebut dan juga mengajukan pra peradilan ke Pengadilan Negeri. Ini semata-mata demi kepentingan Demokrasi, Kemanusiaan dan Keadilan.

"Persoalan politik dan penegakan hukum pidana adalah variabel yang berbeda. Jika ini dijadikan satu dalam hal penyelesaian masalah, hal ini bisa kita ibaratkan, seperti menjawab perdebatan dengan menggunakan penangkapan," paparnya.

Apa yang terjadi pada pemidanaan Yudi ini, selain mencederai Demokrasi, sekaligus juga dapat merusak Tatanan Hukum (law order) di Indonesia jika kita mengacu pada tegaknya Supremasi Keadilan.

Saat ini sebetulnya, beberapa Kementerian telah memiliki Instrumen Penyidikan seperti yang dimiliki Kementerian Keuangan atau Kementerian Lingkungan Hidup. Penyidik di Kementerian tersebut memiliki otoritas penyidikan sendiri dalam pemidanaan kasus-kasus pidana yang terkait pelanggaran keuangan atau lingkungan hidup tanpa harus menyerahkan penyidikan kasusnya ke Kepolisian. Meski kasus ini menjadi gambaran bahwa tidak semua masalah pidana diselesaikan oleh Kepolisian, namun menyangkut kasus politik tentu tidak bisa dipidanakan, meski penyidikannya dipaksakan melalui Direktorat Keamanan Negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia.

"Unsur pasal makar telah ditolak Kejaksaan Agung, lalu apakah pasal kebohongan dan perbuatan onar dapat digunakan untuk mengadili aktivitas penelitian dan politik Yudi, tentu tidak bisa. Karena apa yang disampaikan Yudi, baik tersurat maupun tersirat sama sekali atau nol potensi kebohongan dan perbuatan onarnya," kata Nelly.

"Kita berharap, semoga sistem peradilan pidana kembali pada tujuannya mencapai supremasi keadilan yang di dasari Ketuhanan Yang Maha Esa dengan praktek kemanusiaan sesuai Dasar Negara kita," imbuhnya berharap.

"Masalah politik praktis sudah jelas tempat untuk menanyakannya berada di pihak Parlemen. Atau jika masalah politik tersebut terkait Demokrasi dan Kemanusiaan yang lebih dalam, Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) dapat menanyakan untuk konfirmasi. Bukan dengan pemidanaan," ujarnya.

"Jangan sampai kasus pemidanaan politik Yudi Syamhudi Suyuti ini justru melahirkan Direktorat Tindak Pidana Politik. Semoga Kemanusiaan dan Keadilan tegak di Indonesia. Freedom !," Tutupnya memungkas (Nico).

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.