BERITA TERKINI

Politik Kolonial Membentuk Marga Sebagai Kesatuan Masyarakat Adat Asli

 


Oleh : 

H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Pembina Adat Sum Sel )   Dan

Marsal ( Penghulu KUA Kecamatan Muara Enim )

Muara Enim,Khatulistiwa News.com- (28/3/21)
Pemerintah Kolonial Belanda sejak tahun 1851 mengalami dilema memilih dusun atau serikat dusun untuk dijadikan bawahan pemerintahan Hindia Belanda (dusun saat itu sebelum ada pengaruh kesultanan dan kolonial masih bersifat asli yang dipimpin oleh tua tua adat atau jurai tua mereka masing masing dengan ikatan bersifat keturunan (geneologis).

Sesuai catatan C.Van Vollenhoven bahwa tahun 1910 dusun menjadi pusat pemerintahan dan tahun 1919 yang menjadi kesatuan masyarakat adat (bentukan Belanda) adalah serikat dusun (baca : marga).
Perubahan itu menurut Van Royen berdasarlan pengalaman dusun dijadikan kesatuan masyarakat adat kepentingan kolonial tidak lancar maksudnya tidak sesuai politik hukum mereka untuk menguasai masyarakat adat yang asli .
Dengan alasan:

1. Pelayanan pimpinan adat dusun terlalu berat  dengan pembiayaan yang terlalu besar,sedang kalau serikat dusun (marga) hanya membiayai satu orang : pasirah,depati,pangeran dan lain . Termasuk atribut kebesarannya sehingga biar kelihatan gagah dan berwibawa yang kesemuanya itu bermotif keuntungan Belanda.

Dengan pengalaman di atas maka peranan Pasirah kepala pemerintahan marga tidak dapat diabaikan . Sebab pegawai pegawai /Amtenar Belanda terbatas jumlah dan pemahaman adat istiadat sedangkan mereka harus berurusan dari 6 orang pasirah,tiba tiba harus berusuran dengan puluhan dan ratusan kepala dusun.

Secara kejiwaan  seorang kepala dusun (pimpinan asli) menganggap tugas dan jabatan yang diberikan kolonial sebagai beban dari pada sebagau penghormatan. Sedangkan. Pasirah Depati, Pangeran sebagai kepala marga sebaliknya mereka suka dengan kehormatan,kedudukan dan asussorie yang diberikan kolonial termasuk fasitas sehingga diharapkan tujuan politik Belanda tercapai untuk mengambil keutungan sepihak.

Dengan pertimbangan pertimbangan diatas maka sejak tahun 1919 yang dijadikan kesatuan pemerintahan dan kesatuan masyarakat hukum adat di Sumatera Selatan adalah serikat dusun (marga) bukan Dusun.

Tahun 1938 dibuatkan dasar hukumnya oleh kolonial dengan mengeluarkan Inlandse Gemeente Ordonnantie Buitengewesten Stbl 1938 Nomor 490 yang berlaku 1 Januari jo Stbld 1938 nomor 681.
IGO dan IGOB ini tetap berlaku sampai dihapuskannya oleh Undang Undang Nomor 5 tahin 1974 jo. Undang Undang Nomor 5 tahun 1979 khusus di Sumatera Selatan jis Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 142/KPTS/111/1983 efektif berlaku 1 April 1983 menghapuskan kesatuan pemerintahan marga beserta perangkatnya dan tetap mengakui kesatuan masyarakat adat (baca butir tiga SK dimaksud) yang secara yuridis diperkuat dengan Peraturan Daerah nomor 12 tahun 1988 yang sebelumnya sebagai jabaran peraturan menteri dalam negeri., yang selanjutnya disebut Lembaga Adat.

Apa itu lembaga adat yang berkedudukan di dalam masyarakat afat/dusun/desa adalah yang disebut dengan Rapat Adat (lihat pasal 4 perda 12/88). Dengan perkembangan baru istilah bapak Gubernur adalah Pasirah Adat. Tentu ini perlu pemahaman teori hukum yang baik menggunakan methoda interpretasi (theologis,sistimatis,historis,gramatikal dan argumentum contrario,) Menurut Prof.Dr.R.Sudikno Mertokusumo,SH Guru Besar Hikum Acara Perdata Fh UGM yg terakhir ini bukan interpretasi,tapi cara berpikir terbalik.

Sehingga jelas dari simpul terakhir dari tulisan ini dapat diambil manfaat oleh pembaca konsep MARGA mana yang perlu dikembangkan kembali kepada tingkat pemahaman masing masing.(Redaksi)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.