BERITA TERKINI

Secara Singkat Tentang Fraksi Rakyat dalam Sejarah dan Perubahan Politik Indonesia

 


Penulis : Yudi Syamhudi Suyuti

Direktur Eksekutif JAKI 

Aktivis yang juga merupakan Pemerhati Politik



JAKARTA, Khatulistiwa News (19/02) - Selain memimpin Partai Politiknya PNI, Bung Karno bersama Prof.Soepomo dan Ki Hajar Dewantoro dalam rapat PPKI juga membentuk Fraksi Rakyat berwujud Utusan Golongan Karya dan di desain untuk menjadi saluran politik non Parpol bersama utusan Daerah di MPR. Belakangan, Utusan Golongan Karya terbagi menjadi 2, di Era Kekuasaan Soeharto, yang satu berwujud Parpol, satu lagi menjadi Utusan Golongan. Namun tetap berkedudukan di MPR.


Kembali lagi, mengisahkan tentang gagasan Soekarno, Prof Soepomo dan Ki Hajar Dewantoro saat itu, belum bisa diwujudkan. Gagasan tersebut sebelumnya direncanakan ditempatkan di Badan Permusyawaratan Rakyat lalu berubah ditempatkan di Komite Nasional Indonesia Pusat. Namun, rencana tersebut gagal total, karena pengesahan kemerdekaan dan penyerahan kedaulatan Republik Indonesia ditetapkan dengan Konstitusi RIS ( Republik Indonesia Serikat), yang di dalam parlemennya terdiri dari Dewan Konstituante dan Senat RIS (terdiri dari Perwakilan Negara-Negara Republik Indonesia Serikat).


Paska Konstitusi RIS, Repbulik Indonesia gunakan konstitusi sementara melalui UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara). Meskipun saluran rakyat non partai politik sudah ada di Parlemen, namun wujudnya adalah anggota-anggota konstituante yang dapat mencalonkan diri tanpa Partai Politik.


Saat itu rumusan untuk diwujudkannya MPR yang terdiri dari Partai-Partai Politik dan Utusan-Utusan Golongan Karya dan Utusan-Utusan Daerah sudah mulai ada dan telah melakukan Rapat-Rapat dalam Konstituante, namun konflik Partai-Partai Politik menjadi menyulitkan untuk membentuk MPR untuk mewujudkan Negara Republik Indonesia sesuai Proklamasi 1945.


Singkat cerita, akhirnya Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk mengembalikan Konstitusi ke UUD 45 hasil Revolusi / Proklamasi Indonesia yang ditetapkan 18 Agustus 1945. 


Dan melalui Penetapan Presiden Republik Indonesia No.2 Tahun 1959 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Penetapan Presiden ini menetapkan MPRS terdiri dari DPR Gotong Royong (DPR GR) dan Utusan-Utusan Golongan Karya dan Daerah. 


Penetapan Presiden tentang MPRS ini adalah untuk menyiapkan lahirnya Ketetapan MPRS Republik Indonesia No.I/ MPRS /1960 tentang Garis-garis Besar Pola 

Pembangunan Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969. Di dalam MPRS sejak ditetapkan melalui Penetapan Presiden, Utusan Golongan Karya dan Utusan Daerah mulai dibentuk. Dimana di dalam Utusan Golongan Karya tersebut terdiri dari Utusan-Utusan Golongan Rakyat yang mewakili seluruh kepentingan Rakyat seperti Buruh, Nelayan, Golongan-Golongan Agama dan lain-lain ditambah Golongan ABRI.


Kemudian, dalam perjalanan politik, pada 1964 terjadi perubahan situasi politik, dengan terbentuknya Front Nasional dalam Utusan Golongan Karya yang juga mewakili kelompok-kelompok Profesi. 


Setelah itu situasi politik semakin meruncing karena terjadi konflik politik besar, dimana PKI mulai dianggap musuh bersama. Sebagian kelompok Front Nasional akhirnya bergabung dengan kelompok Utusan Golongan Karya yang dipimpin Soehardiman (terdiri dari SOKSI, MKGR dan Kosgoro) dan membentuk Sekretariat Bersama Golkar (Sekber Golkar).


Setelah terjadinya Pembubaran PKI, kemudian didadakannya Sidang Umum MPRS yang ke 4 (selama MPRS sebelumnya telah menjalankan Sidang Umum sebanyak 3 kali) menghasilkan 24 Ketetapan MPR. Namun dalam proses Sidang Umum tersebut Presiden Soekarno diberhentikan dan sebelumnya, untuk memurnikan MPRS dari pengaruh PKI, DPR GR mengeluarkan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan Umum terbentuk.


DPR GR meminta Pemberhentian Presiden Soekarno kepada MPRS sekaligus meminta untuk mengangkat Pejabat Presiden Soeharto. Kemudian MPRS memberi mandat kepada Soeharto 1968.


Pada 1971 diadakan Pemilu Orde Baru yang kemudian hasilnya ditetapkannya susunan kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pada Pemilu 1971 ini Golongan Karya lebih menjalankan fungsi sebagai Partai Politik dengan ikut sebagai peserta Pemilu dan menduduki posisi pemenang Pemilu yang seluruhnya terdapat 10 Partai Politik mendapatkan kursi di DPR. Namun meskipun menjalankan fungsi partai politik, Golkar saat itu tidak menyebut dirinya sebagai partai politik. Gerakan Golkar yang menjalankan politik partai ini dikomandoi oleh Soeharto dan Suhardiman, Ketua SOKSI saat itu.


Pada politik 1971 diterbitkan Keputusan Presiden No.83 Tahun 1971 tentang Penetapan Jumlah Anggota Tambahan MPR  dari Utusan Daerah saat diadakannya Pemilu 1971. Dalam Keputusan Presiden tersebut ditetapkan saluran-saluran politik Utusan Daerah, Utusan Golongan Politik dan Utusan Golongan Karya dari selisih suara pemilu dan jumlah penduduk.


Pada 1973 terjadi fusi Partai-Partai yang kemudian ditetapkan 2 Partai Politik yaitu PDI dan PPP serta 1 Organisasi sebagai Wadah Kekaryaan untuk orang-orang yang dianggap tidak berpolitik dan lebih mengedepankan karya tergantung latar belakang individu tersebut, mulai dari sastrawan, petani, ABRI, dll.


Sedangkan sisa suara penduduk disalurkan melalui Utusan Daerah, Utusan Golongan ABRI dan Non ABRI.


Politik saat Orde Baru, Utusan Golongan Karya kemudian ditetapkan melalui berbagai Keputusan Presiden,  Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang Politik yang mengatur Utusan Golongan Karya ABRI dan Non ABRI beserta Utusan Daerah dati sisa selisih suara penduduk.


Pada 1997 situasi politik kembali meruncing dengan mulainya gelombang krisis ekonomi hingga puncaknya pada krisis ekonomi 1998 yang bersamaan dengan terjadinya krisis politik.


Pada peristiwa krisis politik 1998 ini bersamaan dengan bergelombangnya arus reformasi, demokratisasi dan tuntutan rakyat dan mahasiswa yang menuntut mundurnya Presiden Soeharto menghasilkan era reformasi 1998 dan mundurnya Soeharto sebagai Presiden.


Saat itu Presiden Soeharto digantikan oleh wakilnya yaitu BJ Habibie kemudiaan diangkat menjadi Presiden. Pengangkatan Habibie sebagai Presiden lebih pada situasi transisi politik.


Pada 1999 diadakannya Pemilu multi partai yang menghasilkan politik parlemen reformasi dengan dilakukannya amandemen konstitusi.


Dan dalam periode reformasi ini, awalnya Fraksi Utusan Daerah dikurangi kemudian disalurkan melalui Partai Politik pemenang Pemilu. Kemudian proses politik juga membubarkan Utusan Golongan dan Fraksi. Sedangkan Golonga Karya sendiri ditetapkan menjadi Partai Golongan Karya.


Seiring berjalannya waktu proses politik dan demokrasi serta ditetapkannya UU Otonomi Daerah, maka terjadilah usulan untuk dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah yang kemudian disahkan pada 9 November 2001 melalui Amandemen Konstitusi dengan syarat keterwakilannya dilakukan pemilihannya secara lagsung sehingga dipilih secara demokratis. Dan pada Pemilu 2004 DPD baru benar-benar memiliki perwakilannya di Parlemen.


Saat ini DPD sedang berusaha untuk memperkuat posisi politiknya dala memperjuangkan Daerah-Daerah yang diwakilinya, termasuk mengusulkan Hak Anggota DPD untuk dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai Presiden melalui proses Amandemen Konstitusi yang sedang dibahas oleh MPR saat ini.


Dalam proses politik rakyat, negara dan berkembangnya demokrasi tentu, kenyataannya saluran suara rakyat masih belum tersalurkan semuanya. Bahkan bukan saja tidak tersalurkan akan tetapi justru suara dan persoalan-persoalan rakyat semakin ditinggalkan oleh Negara.


Sejak berjalannya proses reformasi, justru semakin hari partisipasi rakyat semakin dijauhkan dalam politik Negara. 


Untuk itu, atas situasi tertinggalnya rakyat maka diperlukan sebuah Fraksi Rakyat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diwujudkan melalui pembentukan Badan Partisipasi Warga sebagai salah satu Lembaga Tinggi Negara dengan kedudukan yang sama dengan DPR dan DPD serta sebagai Badan yang menjadi Anggota MPR. Dimana dalam Badan Partisipasi Warga ini dapat menjadi alternatif pengganti atau reinkarnasi Utusan Golongan yang lebih demokratis, inklusif dan lebih partisipatif, dimana terdiri dari utusan-utusan golongan politik rakyat warga seperti Kelompok Masyarakat Sipil, Petani, Serikat Pekerja, Kelompok-Kelompok Agama, Masyarakat Adat, Nelayan, Mahasiswa, Guru, Profesi-Profesi, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, Kuli-Kuli dan lain-lain seluruh kelompok-kelompok masyarakat hingga individu. Untuk itu fungsi, kewenangan dan kekuasaannya lebih diperkuat. Yaitu dengan memberikan kekuasaan rakyat langsung melalui kekuataan rakyat yang diatur melalui mekanismen aturan yang disepakati seperti kekuasaan pemberian sanksi, resolusi dan keputusan-keputusan Rakyat dan Negara secara langsung yang disalurkan oleh rakyat warga langsung untuk ditetapkan di Badan Partisipasi Warga.


Tentu untuk mencapai ini diperlukan Amandeen Konstitusi atau Penyempurnaan Pasal 1 ayat 2 UUD 45 tentang Kedaulatan berada ditangan Rakyat juga Pasal 28 C ayat 2 UUD 45, Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.


Dan prosesnya tentu dapat melalui Pasal 3 UUD 45 tentang kewenangan MPR yaitu mengubah UUD 45, serta melalui Pasal 37 UUD 45 tentang mekanisme MPR dalam melakukan perubahan UUD.


Pasal 37 UUD menyebut pada pasal-pasal :

(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. (Dala konteks ini tidak disebut bahwa usul diusulkan oleh siapa dan darimana, artinya bisa dari luar namun diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari Anggota MPR).


(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.


(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.(Dalam konteks ini jika memang diperlukan untuk mendapatkan keseimbangan politik Rakyat Warga Negara dan Negara, MPR sesuai Pasal 1 ayat 2 UUD 45 dan Pasal 28 C Ayat 2, serta Pasal 3 UUD 45 dapat menetapkan secara secara sementara Fraksi Rakyat yang dimasukkan langsung melalui Ketetapan MPR). Sehinga proses demokratis benar-benar dapat terjadi dalam proses Amandemen Konstitusi dengan melibatkan Rakyat Warga secara langsung. Namun jika anggota MPR yang beranggotakan DPR dan DPD bisa memberikan kepercayaan pada Rakyat Warga untuk menetapkan Badan Partisipasi Warga sebagai Fraksi Rakyat, maka cukup MPR menetapkan Fraksi Rakyat tersebut.(Niko) 

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.