BERITA TERKINI

Ketua FBLP,: Pemerintah Jangan ‘cuci tangan’ Terkait Hak Buruh. Pastikan THR dibayarkan pengusaha



JAKARTA,Khatulistiwanews.com.
 Hampir kurang lebih sepekan pasca 'MayDay' jatuh pada 1 Mei dikenal hari buruh Internasional, Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) sampaikan bahwa di tengah buruknya situasi kehidupan buruh akibat Covid-19, Menaker Ida Fauziah malahan berikan kelonggaran perusahaan dalam pembayaran THR kepada buruh.

Bahkan, di samping itu Menaker sudah menerbitkan Surat Edaran (SE) No. M/6/HI.00.01/V/2020 berkaitan dengan hal ini. Dari pernyataannya di berbagai media, Dalam hal ini, ungkapnya menengarai maksud daripada Menaker berkehendak supaya perusahaan-perusahaan yang tidak mampu membayarkan THR bagi buruh, melakukan perundingan dengan buruh mengenai besaran serta teknis pembayarannya. Demikian kata Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) itu memberikan perspektif singkatnya. Jakarta (7/5/2020)

Namun dalam hal ini, menurut aktivis Buruh Perempuan itu menilai sikap Menaker merupakan bentuk rendahnya kapabilitas sebagai representasi negara yang ditugasi untuk melindungi hak-hak buruh. Alih-alih menekan perusahaan, Menaker seolah ingin tampil agung sebagai 'penengah' antara buruh dan pengusaha.

"Padahal, yang dilakukannya merupakan politik cuci tangan yang dikemas dengan alasan pembenar yaitu kedaruratan Covid-19," tudingnya.

Sambung Jumisih menyampaikan, mestinya di tengah kedaruratan ini, buruh sebagai pihak yang tidak menguasai sumber daya ekonomi-lah yang harus menjadi prioritas. Karenanya, Menaker Ida Fauziyah hanya tengah mengajak kementrian yang dipimpinnya menjadi lembaga yang malas di tengah kedaruratan ini.

Dalam hal ini, ungkapnya menduga salah satu kegagalan SE Menaker Nomor M/3/HK/04/III/2020 yang pada intinya menghimbau perusahaan untuk mengadakan perundingan sebelum merumahkan buruh, tidak dijadikan pemerintah sebagai pembelajaran.

"SE ini terbukti tidak efektif, karena begitu banyak perusahaan yang melakukan PHK atau merumahkan pekerja tanpa perundingan mengenai pembayaran upah. Namun, tetap saja, Menaker begitu enggan dalam melihat kenyataan bahwa kepemilikan sumber daya ekonomi tidak bisa diimbangi dengan himbauan-himbauan tanpa ketegasan," cetus Jumisih menimpali.

Lanjutnya mengatakan,"Perusahaan terus saja berdalih terkendala cash flow dalam pembayaran hak-hak buruh, sementara negara duduk manis tanpa mendesak pembuktian. Tentu sangat tidak logis jika perusahaan yang sudah meraup untung bertahun-tahun dari keringat buruh serta merta kehilangan kemampuan finansialnya karena berhenti berproduksi hanya selama satu bulan lebih," paparnya.

"Selayaknya Negara tidak melakukan diskriminasi kepada buruh. Apalagi buruh perempuan yang sudah banyak menjadi korban dari dirumahkan selama pandemi tanpa perlindungan upah," kata Jumisih.

Di samping itu, kemukanya buruknya penyaluran bantuan sosial karena data yang semrawut juga tampak tidak membuat Menaker bergeming."Padahal, karena negara yang selalu menganak-emaskan perusahaan, jutaan buruh telah kehilangan penghasilannya yang pas-pasan. Sekarang, ancaman buruh untuk tidak mendapat hak atas THR sudah di depan mata dengan adanya SE No. M/6/HI.00.01/V/2020," tandas Dia

Meskipun, imbuh Jumisih mengatakan bahwa SE ini berusaha menyeimbangkan situasi perusahaan yang sedang sulit, tetapi kurang mempertimbangkan situasi sulit buruh dan posisi tawar buruh. Karena Surat Edaran ini mengeneralisir semua perusahaan seolah kemampuannya sama padahal situasi covid ini juga tidak bisa serta merta disebuat force majeur atau keadaan memaksa (overmacht) karena harus dilihat kasus perkasus atas kemampuan dan kondisi setiap perusahaan.

"Kami secara organisasional menolak SE No. M/6/HI.00.01/V/2020 tersebut, karena SE tersebut justeru memberi celah kepada pengusaha untuk menunda atau tidak membayar THR kepada buruh," ungkapnya menegaskan.

Menurutnya mengemukakan SE ini juga bertentangan dengan PP 78/2015 Pasal 7, yakni :
(1)Tunjangan hari raya keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) wajib diberikan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh.
(2)Tunjangan hari raya keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibayarkan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan. Artinya THR harus dibayar sekaligus.

"Selain itu juga melanggar Permenaker 6/2016 Ps. 5 (4) “THR Keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dibayarkan oleh Pengusaha paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan".," tandasnya.(Nico)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.