BERITA TERKINI

Perkawinan Beda Agama Suatu Kekosongan Hukum.

 

Oleh :


 H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Pembina Adat Sumsel ). 

Dan 


Marsal ( Pemerhati Hukum Adat Indonesia )






Muara Enim, Khatulistiwa News (23/03) Apabila kita perhatikan, maka ketentuan ketentuan yang terdapat di dalam Undang-undang Perkawinan selain meletakkan asas asas hukum perkawinan nasional, juga memberikan landasan hukum dan menampung prinsip prinsip hukum perkawinan yang sebelumnya telah berlaku. Karena itulah kiranya Prof. Dr. Hazairin dalam bukunya Tinjauan mengenai Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 dinamakan Undang Undang itu sebagai suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan.

Dalam artikel ini kita mencoba melihat satu keunikan dimaksudkan oleh beliau tadi yakni masalah perkawinan beda agama. Penulis yakin dan percaya sudah banyak orang menulis masalah ini karena masalah nya klasik . Dikatakan klasik karena sudah hampir 15 abad yang lalu hal itu sudah diatur secara tegas dalam Al Quran.

Apabila diteliti pasal demi pasal di dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 maupun dalam peraturan pelaksanaan nya, tidak kita temui ketentuan yang mengatur secara tegas masalah perkawinan beda agama.

Dengan demikian timbul pertanyaan apakah UU nomor 1 tahun 1974 membolehkan atau melarang perkawinan beda agama itu.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada dua pasal yang dapat dijadikan pedoman,yaitu Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 8   butir f UU No. 1 tahun 1974.

Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing masing agama nya dan kepercayaannya itu. Hal ini berarti undang undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara dan syarat pelaksanaan perkawinan tersebut, di samping cara dan syarat yang sudah ditentukan oleh negara. Jadi apabila suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat syarat atau belum, di samping tergantung kepada ketentuan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang, juga ditentukan oleh hukum agama nya masing-masing.

Pasal 8 butir f UU no 1 tahun 1974 menyatakan perkawinan dilarang dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agama nya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Dari ketentuan pasal ini bahwa di samping ada larangan di dalam undang-undang dan peraturan lain nya, juga ada larangan larangan yang bersumber pada hukum masing masing agamanya.

Oleh karena di dalam UU no 1 tahun 1974  dan peraturan lain nya tidak terdapat adanya larangan perkawinan beda agama ( catatan penulis di sinilah adanya Kekosongan Hukum, yang seharusnya segera dibuat aturan yang tegas oleh negara, bahwa perkawinan beda agama dilarang oleh negara, jangan sampai terjadi praktek penyelundupan hukum seperti sekarang ini).

Menurut pengamatan penulis di sinilah letak persoalan nya , yang disebut oleh Prof. Dr. Hazairin SH bahwa UU  nomor 1 tahun 1974 unifikasi yang unik.

Belum lagi beberapa pasal lainnya yang tidak mempunyai kepastian hukum yang jelas.Misalnya pada Pasal 37 berbunyi Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukum nya masing-masing.

Sehingga dengan demikian untuk mengakhiri persoalan hukum tersebut hendaknya dilakukan revisi kembali terhadap pasal pasal nya menimbulkan kekosongan hukum , dan akibat nya menimbulkan penafsiran penafsiran yang tentunya secara manusiawi akan menguntungkan pihak pihak yang terlibat.Dan persoalan nya berlarut larut contoh masalah perkawinan beda agama ini. Dan tentu mengusik ketenangan hidup berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 .

Jadi akan jauh dari negara yang Madani  dan di redhoi Allah SWT.(Redaksi) 

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.