BERITA TERKINI

Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah.

 


Oleh : 


 H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Pembina Adat Sumsel ). 

Dan 


Marsal ( Penghulu KUA Kecamatan Muara Enim )



Muara Enim,Khatulistiwanews.com.(8/9)  Secara historis falsafah adat bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah adalah merupakan puncak dari proses pertemuan, persentuhan antara adat yang telah ada sebelumnya di daerah Melayu umumnya dan Minangkabau khusus dengan agama Islam yang datang kemudian.

Semboyan tersebut juga dipandang sebagai kebulatan tekad dari pemuka adat dan pemuka agama yang mewakili seluruh Pemuka masyarakat adat untuk secara filosofis dan empiris memilih dan memutuskan arah dan warna pembentukan masyarakat Melayu.

Seperti yang telah dinyatakan, dua hal yang dicatatkan berdasarkan ungkapan di atas, yakni masalah keistimewaan dan masalah substansi serta daya jangkau atau daya berlaku nya;


1, Dari aspek keistimewaan, falsafah di atas jelas merupakan proses akulturasi pada masa lalu, semboyan ini mewakili zamannya yakni era pasca gerakan dan perjuangan kalau di Minangkabau adalah saat perang Paderi; satu kesepakatan antara pemuka adat dan pemuka agama Islam yang menyadari kerugian akibat konflik sesama masyarakat dan diperburuk oleh adu domba kolonialisme.

2. Dari aspek substansi dan berlaku nya, semboyan di atas merupakan kesepakatan dan tekat bulat masyarakat adat Melayu-Minangkabau untuk kehidupan sosial masyarakat dan sosial keagamaan akan menyadarkan diri pada adat dan agama (Islam) secara paralel dan integral.

Oleh karena demikian,daya jangkau dan daya berlaku terbatas hanya untuk masyarakat adat yang beragama Islam.

Sehubungan itu, falsafah yang dahulunya hanya berlaku terlaku terbatas. 

Sebagai suatu norma,maka adat bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah merupakan suatu kesepakatan bersama yang mengikat dan bersanksi bila dilanggar.

Sebab suatu filsafah, maka adat bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah berfungsi sebagai landasan yang mendasari seluruh pola fikir, sikap dan perilaku masyarakat Melayu umumnya dan khususnya masyarakat Minangkabau yang menentukan arah, bentuk, sekaligus tujuan dan warna kehidupan masyarakat.

Secara sosiologis, norma, falsafah dan pedoman hidup tersebut masih berada pada tatap ideal, abstrak dan memerlukan perangkat lain untuk mengimplementasikannya, memerlukan ketentuan lain untuk memindahkan nya dari tataran filosofis ke tataran empiris.

Peringkat dan susunan tersebut antara lain melalui kebijakan politik para penyelenggara negara khususnya di tingkat kabupaten,melalu Peraturan Daerah.(redaksi)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.