BERITA TERKINI

KOBAR - QOMAT Gelar Diskusi Bertajuk Indonesia Dalam Cengkraman Kuasa Taipan

 



JAKARTA,Khatulistiwa News.com  (26/09) - Martimus Amin,  QOMAT (Qomando Masyarakat Tertindas) menceritakan kalau pembangunan Pantai Indah Kapuk maupun Sentul, Ini masalah kesenjangan sosial. Dimana dalam negara membutuhkan swasta untuk menunjang sektor perekonomian. Akan tetapi, menurutnya semestinya tidak menyalahkan hukum dan seterusnya. Dengan kata lain, lebih pro dengan rakyat dan lingkungan hidup. Demikian ucapnya kala memberikan pembukaan di sesi diskusi bertajuk 'Indonesia Dalam Cengkraman Kuasa Taipan' digelar Komando Barisan Rakyar (KOBAR) bekerjasama QOMAT (Qomando Masyarakat Tertindas) di bilangan Salemba, Jakarta Pusat. Jakarta, Sabtu (25/09)


Ibaratnya, menurut Amin situasinya lantaran gejala seperti abrasi air laut, Indonesia bahkan telah di prediksi dikarenakan air penyangga, baik rawa rawa ke depannya pada tahun 2030 Jakarta bakalan tenggelam, kata moderator yang juga merupakan Aktivis, kelahiran Palembang, dan besar di Jambi itu menerangkan.


Tak pelak, di kawasan PIK ini selain ada dugaan penyalahgunaan lahan konservasi, juga rawan dengan kriminal (penyelundupan narkoba), ungkap Amin.


Senada dengan ungkapan Martimus Amin perwakilan QOMAT (Qomando Masyarakat Tertindas), di lokasi diskusi pun Brigjen (purn) Amin, ketua GBN (Gerakan Bela Negara) DKI Jakarta menyampaikan jikalau membahas perihal pembuatan tata ruang, daerah mesti berimbang. Barang tentu, tolak ukur mengacu pada UUD tahun 2006, yang mana tata ruang berlaku dua puluh (20) tahun.


Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya, ungkap Brigjen (purn) Amin mengutarakan,"Apakah saat ini masih mengacu pada UU tahun 2006 ? ini masih tanda tanya, dimana pemukiman malahan dibangun pabrik," timpal tokoh Gerakan Bela Negara, yang pernah juga menjabat Ketua 1 di Menkoekuin itu.


Mencermati perihal hasil reklamasi, menurutnya mesti menjadi kekayaan negara. Bukan milik pribadi atau pengembang."Silahkan reklamasi. Ini ada aturan mainnya, dimana reklamasi dikembalikan ke negara dulu. Namun, reklamasi kok malahan jadi milik pengembang ? Pelaksana reklamasi dengan yang pernah saya jalankan, jelas jauh berbeda," tukas pria yang menceritakan pernah melaksanakan reklamasi pulau Nipah berbatasan dengan Singapura, yang pada awalnya seluas 400 meter persegi kemudian menjadi 60 ha saat ini.


"Silahkan, reklamasi tidak dilarang. Reklamasi, dikembalikan dahulu ke negara. Lalu dikerjakan oleh PU. Maka itulah kita mesti kembali ke UUD'45. Soalnya , kalo belum kembali, kita akan di kerangkeng oleh UU tahun 2001 ini," tukasnya mengingatkan.


Kemudian, seperti halnya Sentul, ungkapnya menjelaskan kalau awalnya P.T Buana Estate, lalu tahun 2011 P.T itu menyerahkan kembali ke Kemenhan RI. "Lalu, masyarakat dengan dasar ini menggarap lahan. Memang, dahulu pernah bersidang, kalah masyarakat. Hal itu, lantaran BPN sendiri ga berani mengeluarkan surat," jelasnya menerangkan.


"Anehnya, Di sentul, ada bangunan 2 miliar dibongkar. Yang bongkar, bukan P.T buana Estate, namun Sentul. Sementara lahan itu sudah pernah diserahkan kembali ke Menhan," celetuknya seraya menceritakan termasuk mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, lahannya dihancurkan.


"Yang jelas tata ruang kita masih amburadul. Saya urus sertifikat aja, butuh waktu. Dari negara ke negara saja membutuhkan tiga (3) tahun. Dari HPL, belum lagi ke penggunaan lain," Kemuka Mantan eks asisten deputi tata ruang kementerian keuangan 2009 - 2011 itu


"Tahun 2010 - 2011 , mengurus BPN mengenai pulau Reklmasi dimana itu keputusan negara, bukan pengembang dan lain lain. Seperti di Pulau Nipah, Kebetulan Negara memiliki lahan 60 ha lalu keluar 15 ha untuk kementrian 45 ha kementerian kelautan. Ini pun satu tahun sertifikat turun," ujarnya.


Sementara, Muslim Arbie, aktivis yang juga merupakan perwakilan MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) menjelaskan terkait persoalan tanah ini, dimana kita sudah merdeka semenjak tahun 1908 dimana kita bersumpah tentang tanah bersatu. Tanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia dan satu bahasa.


Muslim Arbie memaparkan setidaknya bagaimana secara birokrasi, 0,2 % (persen) penduduk yang WNI berjuta juta hanya menguasai 7.2 % (persen) lahan. Ini bukan hoax atau mengada ngada.


"Nah, pada saat pilpres 2014. BTP atau dikenal Ahok saja sempat katakan jika tanpa pengembang, Jokowi tidak akan jadi Presiden. Ini lah yang membuka persoalan - persoalan ini," tukas Muslim Arbie


Lalu, menurutnya mengenai pertambangan, reklamasi. Memang ada 17 pulau di gagalkan, namun mereka (pengembang) tidak ambil pusing tetap dijalankan."Dianggap, pejabat ini bisa diatur gampang disogok. Ini persoalan bersama," ujarnya.


Tengok sajalah, ungkap Muslim Arbie bahwa persoalan Sentul, dimana Presiden Direktur PT Sentul City, Kwee Cahyadi Kumala yang dikenal dengan nama Sui Teng, yang mantan residivis, namun bisa melakukan apa saja (bahkan menggusur lahan milik mantan menteri)


"Untuk merusak negeri ini, dengan amandemen UUD45 dengan UU tahun 2001. Saya mengutip apa yang sempat dikatakan oleh RR, dimana kata kan demokrasi di negeri ini demokrasi kriminal," paparnya.


Muslim Arbie mengakui kalau ini buah politik demokrasi kriminal, yang mana uang ada di depan. Dibeli putus, ini lah yang menjadi persoalan."Ga ada urusan, tanah sekian juta ha di kuasai, tambang dikuasai, UU gampang dibeli, konservasi dirusak," kata Dia.


Sebagai contoh saja Ombudsman, dimana sebanyak ada 20 undang undang diterabas muncul satu UU, Cilaka (Cipta Lapangan Kerja)."Pihak Pemerintah, menjawab kalau mau gugat silahkan ke MK, saat ajukan malahan gugatan akan ditolak," ujarnya.


Untuk itulah, menurut Muslim Arbie yang mesti dibangun ialah bagaimana tanah, air dan kebangsaan yang sesuai dengan Marwah 1908 tadi kembali lagi. Sebagaimana halnya sudah dilakukan oleh Rijal kobar yang sudah berani kobarkan bendera Merah Putih ini, sudah tunjukan jiwa ke Indonesia-an.


"Maka itulah saya mengajak untuk kita mengkritisi, dimana hutan mangrove awalnya itu reklamasi. Soalnya Tanah dikuasai, aparat di kuasai, bahkan UU juga dirubah. Ketika terjadi kebakaran hutan, kerugian negara ada 21 triliun rupiah, dimana lahan kebakaran. Dan oknum nya itu itu saja," pungkasnya.(Niko)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.