BERITA TERKINI

BURUH PEREMPUAN TUNTUT PENGHENTIAN PEMBAHASAN OMNIBUSLAW DI TENGAH PANDEMI COVID19



JAKARTA,Khatulistiwanews.com
Menyikapi pandemic covid19 kian hari menelan banyak korban. Di satu sisi, Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan merespon dari tanggung jawab pemerintah situasi memprihatinkan ini. Di saat pemerintah berikan arahan pada rakyat untuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), demi memutus mata rantai penyebaran covid 19. Namun, seperti diketahui pemerintah dalam hal ini DPR masih melanjutkan pembahasan Omnibuslaw RUU Cipta Kerja. (21/4/2020)

Jumisih, selaku perwakilan FBLP Jakarta sampaikan bahwa kami buruh perempuan, yang juga merupakan generasi Kartini di era ini adalah bagian dari jutaan buruh perempuan yang kini menghadapi situasi darurat corona, menghadapi beban dan tekanan yang luar biasa.

Alasannya, menurut Jumisih bahwa Pertama  karena kami tetap harus bekerja dalam situasi ancaman tertular atau bahkan menjadi penular dari covid 19 ini. Cara kerja yang berdesakan dalam jumlah ratusan/ribuan dengan APD yang kurang memadai menjadikan posisi kami sangat rentan.

Lalu yang Kedua ; Kami juga mengalami beban ganda, selain kerja di pabrik juga menjadi pendamping atau guru bagi anak-anak kami yang juga sekolah secara online di rumah.

"Dalam situasi diatas, kami bekerja dan anak di rumah. Jelas ini ketidaknyamanan dan kekhawatiran dalam bekerja.karena hawatir anak tidak ada yang memantau di rumah. Berpotensi melanggar hak anak atas perlindungan dan keamanan," kemukanya.

Kemudian alasan yang Ketiga sebagain dari kami sudah di rumahkan tanpa di upah penuh dan di PHK sepihak tanpa mendapatkan pesangon. Kinerja pengawasan ketenagakerjaan sangat lambat dan nyaris tidak perduli dengan kondisi ini.

Dalam hal ini, menurutnya berdampak terhadap keberlangsungan isi perut kami dan keluarga. Karena 1 buruh perempuan terPHK, sementara kami adalah pencari nafkah utama ini akan berdampak terhadap asupan gizi yang diterima oleh anggota keluarga yang lain.

"Sementara distribusi sembako pemerintah tidak sampai kepada dengan alasan kami adalah pendatang. Menurut hemat kami seharusnya juga berhak menerima sembako dari pemerintah dengan jaminan keberlanjutan gizi yang baik dan demi tetap sehat di tengah wabah pandemic," tukasnya.

Disamping itu, alasan yang Keempat (4); secara ekonomi, pendapatan kami merosot, lebih besar pasak dari pada tiang. Kami terancam di usir dari kost-kostan karena tidak sanggup membayar uang sewa bulanan. Sementara oleh pemerintah kami dihimbau untuk tidak pulang kampung, tapi keberadaan kami di Jakarta tidak mendapat perlindungan yang baik.

Dalam situasi ketidakpastian dan keterancaman ini, ungkapnya bahwa kami buruh perempuan merasa semakin diabaikan oleh penguasa, ketika Omnibuslaw RUU Cipta kerja tetap dibahas oleh DPR melaui Badan Legislatif (Baleg), papar Perwakilan aktivis Buruh Perempuan FBLP Jakarta itu

Dan saat ini aspirasi kami sedang dilarang untuk diekspresikan, sedangkan penolakan sebelum-sebelumnya tidak digubris. Hal ini berakibat memancing kemarahan buruh dan rakyat untuk melakukan aksi protes, jika pembahasan oleh Baleg tidak dihentikan.

"Karena secara substansi draff RUU Cipta Kerja merugikan rakyat khususnya buruh perempuan. Bagi buruh perempuan, RUU Cipta kerja akan berdampak dan berpotensi tidak terpenuhinya hak-hak perempuan. Kenapa? Karena Pasal 93 dalam daraf RUU Cipta kerja hanya berisi pengaturan pembayaran upah karena buruh berhalangan/tidak masuk kerja. Artinya tidak diatur dengan jelas," jelasnya.

"Hingga tidak lagi disebutkan hak buruh menerima upah ketika mengalami sakit, menstruasi, menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, melahirkan atau keguguran kandungan," cetus Jumisih.

Senadanya dengan pernyataannya, Yuli selaku perwakilan SPEMI Kerawang menyampaikan bahwa selain itu, dari awal pemerintah tidak transparan dalam menyusun draff RUU Cipta Kerja ini. Ketidaktransparan pemerintah ini berdampak tidak partisipatif artinya keterlibatan para pihak menjadi sangat minimalis.

"Kami bukan pajangan yang hanya diundang untuk disosialisasi sebagai bahan legitimasi. Inilah yang kita sebut pemerintah menciderai ruang demokrasi. Padahal kita sama-sama tahu bahwa Negara kita adalah Negara demokratis. Hal ini bertentangan dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan serta Pasal 96 tentang partisipasi masyarakat," ujarnya.

Oleh karena itu, menurut perwakilan buruh Perempuan dalam rangka memperingati hari kartini, kami memaknai semangat perjuangan Kartini dalam melawan kolonialisme dengan terlibat dan mempelopori perjuangan pembebasan perempuan.

Oleh karena persoalan di atas itulah, perwakilan berbagai aktivis buruh perempuan lintas serikat dan lintas daerah sedari FBLP Jakarta, SP MEDISAFE Medan, SBTR Sulteng, dan SPEMI Kerawang memberikan pernyatakan sikap yaitu

-) Segera hentikan pembahasan Omnibuslaw RUU Cipta kerja, karena berpotensi merugikan buruh perempuan.  Fokuskan kinerja pemerintah untuk penanganan covid19, jangan biarkan korban terus berjatuhan.

-) Distribusikan sembako dan fasilitas kesehatan lain (masker, handsanitizer, vitamin) kepada seluruh warga tanpa membedakan ia penduduk asli atau pendatang.

-) Stop PHK dan Pemotongan upah pekerja dalam situasi covid 19 dan berikan layanan kesehatan secara berkala bagi buruh perempuan.

-) Berikan kemudahan bagi buruh perempuan untuk sosial distance dengan penerapan PSBB tanpa diskriminasi dengan jaminan upah penuh.
Maksimalkan kinerja  pengawas ketenagaerjaan atas situasi perburuhan saat ini, untuk memastikan hak pekerja di dapat, di saat buruh di rumahkan atau dikurangi jam kerjanya.(Nico Red)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.