BERITA TERKINI

Pengamat AEPI Salut Dirut PLN Buka Bukaan Gagal Bayar, Lalu BUMN Lain Kapan ?



JAKARTA Khatulistiwanews-
Salamuddin Daeng, selaku pengamat ekonomi politik yang juga merupakan perwakilan AEPI menyatakan apresiasi atas langkah berani serta ibaratnya angkat topi buat Direktur Utama (Dirut) Perusahaan Listrik Negara (PLN), tanpa beban akhirnya mengakui bahwa PLN gagal bayar utang tahun ini dan meminta kepada bank agar pembayaran utang tahun 2020 dilakukan tahun depan.

Pasalnya, menurut Daeng dengan mengakui gagal bayar bukan hal mudah bagi sebuah perusahaan, ini akan menjadi reputasi bagi PLN dimata pemberi pinjaman dan investor di masa mendatang."Gagal bayar berarti jatuh peringkat utang perusahaan, jatuh kepercayaan banker pada perusahaan. Namun kenyataan harus dikatakan apa adanya," ujarnya menegaskan.

Seperti diketahui, bahwa pada tahun ini PLN memotong target pendapatan. Perusahaan listrik PLN memotong target pendapatan hampir 15%, disebabkan penurunan penjualan listrik akibat pelemahan konsumsi terutama kelompok industry, cafee, restoran dan lain sebagainya sebagai dampak covid 19.

Lanjut Daeng, mengemukakan bahwa pada saat yang sama PLN dituntut menjalankan aksi kemanusiaan dengan mengratiskan listrik untuk pelanggan 450 VA dan memberikan discount 50% untuk 900 VA."Ini langkah tepat, tentu publik berterimakasih. Meskipun hal ini memberi konsekuensi. Dirut PLN kepada media menyatakan pendapatannya akan turun menjadi Rp 257 triliun ($16,7 miliar) tahun ini, atau turun 14,6% dari perkiraan sebelumnya sebesar Rp 301 triliun. Setiap penurunan 1% dalam permintaan listrik memotong pendapatan PLN sebesar Rp 2,8 triliun," jelasnya.

Memang, ungkap pengamat Ekonomi Politik itu menilai bahwa PLN kehilangan kesempatan untuk memotong biaya produksi  dikarenakan kontrak dalam pembelian listrik swasta, kontrak dalam pembelian energy primer, batubara dan gas.

"Semua kontrak tak bisa diubah. Sementara pemerintah sendiri tidak menghendaki adanya revisi penurunan harga bahan bakar ditengah jatuhnya harga minyak dan batubara secara global ke posisi paling rendah sepanjang sejarah. Pemerintah bahkan menolak merevisi rumus harga BBM bagi konsumen dalam negeri saat ini. Hasilnya harga BBM tidak berubah karena banyak pajak dan pungutan," kemukanya.

Padahal, memang secara alami konsumsi listrik Indonesia mengalami penurunan seiring dengan pelemahan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir, yang disebabkan oleh bangkrutnya Industri dan melemahnya daya beli masyarakat dalam lima tahun terakhir dan sekarang penurunan oleh karena kebijakan pemerintah dalam menghadapi covid 19.

Akan tetapi, sambungnya menyampaikan bahwa seperti kita ketahui pada saat yang sama lima tahun terakhir, PLN telah terikat tugas dari pemerintah untuk mensukseskan project listrik 35 ribu MW, pembangunan jaringan, kewajiban membeli listrik swasta dengan skema Take Or Pay, sementara produksi listrik Indonesia telah berlebih di Jawa Bali sejak tahun 2014 lalu.

"Hingga wajar Perusahaan listrik milik negara ini meminta kepada bank, apakah pembayaran utang yang jatuh tempo tahun ini dapat ditunda sampai tahun depan 2021. Data PLN menunjukkan bahwa perusahaan memiliki sekitar 161 triliun rupiah kewajiban jangka pendek pada akhir Juni lalu, termasuk pinjaman bank jangka pendek. PLN dan Pertamina adalah dua BUMN dengan utang paling besar, terutama valuta asing," Jelas Daeng kembali.

Lalu, yang menjadi pertanyaan selanjutnya, Bagaimana BUMN lain ? Apakah secara kesatria akan mengakui gagal bayar tahun ini ? Sebagaimana diketahui bahwa beberapa BUMN mengalami masalah.

Sebutlah saja, Seperti misalnya Krakatau Steel mengatakan pada bulan Januari akan merestrukturisasi utang $ 2 miliar karena terhuyung-huyung di ambang kebangkrutan."Lalu, Dua perusahaan asuransi negara, PT Jiwasraya dan PT Asabri, telah mengalami default. Masalah Jiwasraya terungkap sepenuhnya bulan lalu, pihak berwenang mengumumkan total kerugian negara lebih dari Rp 16 triliun," beber Daeng.

Selain itu, kedua dari BUMN yang merupakan kunci yang ditopang dengan utang dalam membangun infrastruktur dalam beberapa tahun terakhir yakni PT Waskita Karya, yang membangun jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, dan bangunan - termasuk kantor pusat Bank Indonesia di Jakarta. Ungkap Daeng menyampaikan bahwa utangnya melambung lebih dari 10 kali menjadi Rp 82,8 triliun pada September, dari Rp 7,7 triliun pada 2015.

"Utang di PT Wijaya Karya, yang membangun apartemen komersial dan residensial serta sistem transportasi kereta api dan jembatan, melonjak menjadi Rp 21,7 triliun dari Rp 3,5 triliun pada periode sama," tukasnya.

Sementara, Presiden Joko Widodo lalu dan menunjuk Erik Thohir untuk memimpin BUMN. Mantan ketua Tim Sukses yang mengantarkanya sebagai presiden untuk periode kedua ini telah benyak membuat gebrakan dengan mengganti para pejabat tinggi BUMN. Lanjut Daeng bahwa mantan pemilik tim sepak bola Inter Milan Italia, telah berjanji melalui berbagai media untuk melikuidasi perusahaan yang gagal gagal bayar kewajibanya, jelasnya.

"Selama lima tahun terakhir BUMN juga telah menimbun utang luar negeri dalam mendukung program pemerintah, sehingga meningkatkan biaya pendanaan mereka saat dolar melonjak. Risiko-risiko tersebut tercermin di pasar keuangan, misalnya obligasi PT Garuda Indonesia, yang menghadapi kemerosotan. Sekitar $ 500 juta yang jatuh tempo 3 Juni menurut kerangan yang dilansir Bloomberg. Kasus lainnya berupa manipulasi laporan keuangan yang telah menjadi peristiwa yang menghebohkan," ungkap Daeng

Perhatian utama tertuju kepada Pertamina, BUMN non financial dengan asset terbesar kedua di Tanah air setelah PLN, adalah perusahaan yang menimbun utang cukup besar. utang Pertamina 508,4 triliun sampai dengan tahun 2018, dan sepanjang 2019-2020 menambah global bond sebesar 3 miliar dolar, atau Rp 46 triliun belum termasuk utang bentuk lainnya. total utang dalam Global bond sampai awal tahun 2020 mencapai USD 12,5 miliar atau sekitar Rp. 193 triliun pada tingkat kurs saat ini.

"Meskpun gagal dalam membangun kilang kilang minyak. Akusisi perusahaan asing yang habis masa kontrak dengan biaya mahal, sekarang harus berhadapan dengan harga minyak mentah paling buruk sepanjang sejarah migas. Sementara 70% usaha pertamina dahulu," kata Daeng.

Kilang kilang yang dibaiayai mahalpun harus ditutup karena lebih menguntungkan melakukan impor BBM. Padahal Pertamina baru saja membeli TPPI sebuah kilang migas yang telah bangkrut akibat korupsi miliaran dolar, tampaknya akan mangkrak.

Sementara, bagaimanakah terkait Privatisasi atau akankah Ditalangi Pemerintah ? Dimana sebelumnya, Menurut Direktur pelaksana Penida Capital Advisors Ltd. Edward Gustely, di Jakarta, kepada salah satu media internasional mengatakan pemerintah harus membuang perusahaan yang berkinerja terburuk - yang non-strategis dan tidak menguntungkan, caranya tidak lain yakni melalui privatisasi, alias Jual. Namun pertanyaan siapa yang akan beli ? atau memang para pembelinya sudah mengantre ?

Maka itulah, ungkap Daeng bahwa cara lain adalah pemerintah menalangi utang seluruh BUMN tersebut, darimana uangnya ? Dengan menggunakan dana stimulus yang sekarang tengah digolkan melalui Perpu No 1 Tahun 2020 dan perpres nomor 54 tahun 2020 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan belanja Negara Perubahan (APBNP).

"Sebagaimana diketahui bahwa Pemerintah telah menargetkan utang baru senilai Rp. 1006 Triliun dan sebanyak Rp 420 triliun akan dialokasikan sebagai stumulus menghadapi covid 19," paparnya.

Di satu sisi, pihak Kepala departemen keuangan kementerian keuangan kepada media mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk mendukung PLN dan rencana pemerintah untuk mengumpulkan Rp 150 triliun untuk membantu perusahaan pulih dari dampak ekonomi dari wabah koronavirus, namun rinciannya belum jelas.

"Sementara buat Pertamina belum jelas berapa bantuan dari pemerintah untuk mengatasi penurunan penjualan saat ini," timpal direktur AEPI tersebut.

Apabila semua berjalan lancar yakni target pembiayaan (utang) sebesar Rp. 1006 triliun tahun 2020 tercapai maka mudahlah bagi pemerintah untuk membailout BUMN yang bangkrut."Namun sebaliknya jika tidak tercapai maka kemungkinan besar akan nada privatisasi. Ini adalah pilihan yang buruk bagi rakyat dan para pekerja BUMN, akan tetapi tampaknya ini akan cukup menyenangkan hati pemerintah yang tengah butuh uang banyak membayar utang," imbuhnya.

"Sementara saat ini utang pemerintah dan BUMN berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI) general government debt mencapai Rp. 11.250 trilun. Utang ini telah terakumulasi dengan cepat seiring dengan berbagai proyek ambisus pemerintah mulai dari proyek infrstruktur listrik, kilang minyak, jalan tol, pelabuhan dan bandara yang sebagian besar sekarang telah menjadi beban karena tidak memberikan cashflow yang baik. Apalagi infrastruktur yang dibangun untuk mudik lebaran, telah kehilangan momentum untuk menyedot daya beli masyarakat, sesuai perintah larangan mudik bukan pulang kampong sekarang ini," tandas Daeng (Nico Red)

Khatulistiwa News Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.